Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Zidan mengeringkan rambutnya dengan handuk, tatapan matanya tertuju pada kalender di dinding. Tanggal 15 Oktober dilingkari tinta merah, mengingatkannya pada hari ulang tahun adik perempuannya—hari itu selalu membuatnya gelisah bukannya senang.
Senyum getir tersungging saat ia mengingat kenangan-kenangan bersama adiknya.
“Tinggal menghitung hari sampai tanggal 15 ya..."
"Oh iya... Lana juga ulang tahun tanggal itu,” pikirnya pelan. Tanpa sadar, tangannya bergerak menulis "ulang tahun Alana" di samping tanggal 15.
Ironisnya, ia tak pernah merasa perlu mengingat ulang tahun sahabat lamanya, tapi untuk Alana, yang baru ia kenal beberapa hari, tiba-tiba ia merasa perlu mengingatnya.
*
*
Keesokan paginya Alana sudah siap dengan seragam sekolahnya, berdiri termangu di halaman depan mansion menunggu Zayn.
Wush...! Angin berhembus lembut, menerbangkan daun-daun belimbing yang sudah menguning berguguran dari pohon di dekatnya.
"Wah, indahnya!" seru Alana dengan gembira, menadahi dedaunan yang jatuh di tangannya, menikmati momen kecil itu dengan senyum cerah di wajahnya.
Ceklek...
"Zayn Kita telat nih, ayo cepat berang..." Alana terkejut saat menoleh kebelakang yang keluar Zidan.
Eh?! Om, mau ke mana dengan pakaian serapi itu?"
"Hehe... Aku sudah dapat pekerjaan." jawab Zidan senang, senyum manisnya tak pernah luntur dari wajah tampanya, sambil mengangkat kedua tangannya mengajak Alana tos.
"Serius?? Wah, hebat! Selamat ya, Om!" sahut Alana yang ikut senang, langsung bertos ria dengan Zidan.
"Aku sekarang bukan pengangguran lagi, hehehe..."
"Gimana penampilanku, udah kayak pegawai belum?" tanya Zidan sambil tersenyum dan memutar tubuh, memperlihatkan penampilannya pada Alana.
"Om kayak anak kecil yang baru masuk sekolah," gumam Alana sambil tersenyum konyol.
Wush...
Angin kembali berhembus dan daun belimbing berjatuhan lagi.
"Oh iya, kenapa kamu berangkat sekolah cepet sekali?" tanya Zidan, tapi Alana malah bengong menatapnya.
"Ehm, ada daun di rambut, Om," ujar Alana.
Zidan segera mengusap-usap rambutnya, berusaha menjatuhkan daun yang menempel. "Udah hilang?" tanyanya.
Alana menggeleng. "Belum, masih ada."
"Masih...?" tanya Zidan sambil melangkah mendekati Alana. "Coba kamu ambilin," ucapnya sambil menunduk, sangat dekat dengan Alana, hingga tercium wangi sampo Zidan.
Deg...
Wajah Alana memerah. Dengan cepat ia meraih daun itu, tapi jantungnya masih terus berdebar semakin kencang.
Deg...deg...deg...deg...
Aduh, kenapa jantungku jadi begini? Setidaknya ngomong sesuatu, jangan diem aja kayak orang bodoh. Ayok, ngomong! Tapi ngomong apa ya... ah, terserah, yang penting ngomong,” gumam Alana dalam hati.
"Ehm... Kalo sudah dapat gaji pertama, apa yang paling ingin Om lakukan?" tanya Alana cepat, mencoba mengalihkan perhatian.
Zidan yang masih dalam posisi menunduk menatap Alana dengan seringai dan berkata, "Ehm... rahasia, haha..."
“Dia... sangat dekat,” batin Alana, jantungnya masih berdebar kencang karena malu.
Zayn berlari menuruni tangga dengan cepat, sorot matanya tidak lepas dari Alana dan Zidan yang tengah bercanda di depan pintu. Perasaan tak nyaman perlahan mengusik hatinya, namun ia memilih untuk menyimpannya dalam diam.
Zayn segera membuka pintu. "Ayo berangkat" ujarnya.
"Oh iya," sahut Alana yang berjalan sambil menengok ke arah Zidan di belakang.
Dengan langkah lebar, Zayn melewati Zidan tanpa banyak kata.
Zidan melambaikan tangan ke arah Alana sambil tersenyum. "Sampai jumpa nanti ya, Alana~"
"Daah...Zayn juga," teriaknya lagi.
Zayn terdiam sejenak, pandangannya berbalik ke arah Zidan. Tanpa sadar, ia ikut melambaikan tangan. Sesaat kemudian ia tersadar dan cepat-cepat menghentikan lambaian tangannya. "Eh, kenapa aku ikut melambai? Dasar sok akrab," pikirnya, lalu melangkah pergi dengan perasaan jengkel yang tak sepenuhnya ia pahami.
*
*
Di kelasnya, Alana masih terbengong memikirkan kejadian mengambil daun di kepala Zidan tadi. Ia bahkan masih merasakan sentuhan lembut rambut Zidan di tangannya. "Apa rambut seseorang memang selembut itu?" ia segera menggelengkan kepalanya, berusaha menyadarkan diri dari pikirannya.
Ia melihat Zayn yang sedang tertidur di meja dengan sangat nyenyak? lalu timbul rasa penasarannya untuk mengusap rambutnya.
Lana berjalan ke meja Zayn dan mengusap rambutnya hingga acak-acakan. "Rambut Zayn juga lembut sih, tapi... rasanya berbeda, dia seperti anak kucing," gumamnya dalam hati. Ia segera berlari setelah merasa Zayn mulai terbangun.
Zayn meraba rambutnya yang sudah berantakan ulah Alana, " aneh, kenapa dia kayak gitu?" batin Zayn tapi ia tetap tak perduli dan lanjut tidur.
Tak terasa, waktu istirahat pun tiba. Anak-anak segera berlari ke kantin sekolah, tak terkecuali Alana. Ia segera menerobos kerumunan siswa. Dilihatnya Airin sedang berdiri di depan kasir.
"Saya ingin membayar," seru Airin pada penjaga kantin, sambil menyerahkan satu botol minuman jeruk.
"Totalnya 8.000 rupiah." sahut penjaga kantin.
Saat sedang mencari bangku kosong di kantin yang ramai, Airin dikejutkan oleh seseorang yang meraba rambutnya. Ia segera menoleh. Ternyata Alana sedang meraba rambutnya dengan tatapan berbinar.
"Kamu ngapain, Lana? Kenapa pegang-pegang rambutku?" tanya Airin sambil mengernyitkan kening.
"Ah... kamu pakai perawatan apa untuk rambutmu?"
"Apa? Aku nggak pakai apa-apa," jawab Airin yang segera pergi meninggalkan Alana.
"Bohong!" teriak Alana, masih tak percaya.
"Kenapa dia hari ini terobsesi dengan rambut?" batin Zayn yang memperhatikan kelakuan aneh Alana dari belakang.
Bahkan sampai waktu masuk kelas, Alana masih memperhatikan rambut guru Bahasa Inggris yang sedang mengajar. Ia masih tenggelam dalam pikirannya. "Seharian ini aku hanya memikirkan rambut? Apa aku sudah gila?"
"Anak-anak, Ibu akan memulai pelajaran. Tolong perhatikan dan jangan terlalu berisik."
Wajah Alana tampak tegang, ia melotot ke arah Zayn. "Astagaa...! Mati aku! Sekarang waktunya Bahasa Inggris! Kamu sudah menyelesaikan soalnya?" Dia mendekat dengan tergopoh-gopoh seolah tidak sabar.
Iya udah nih bisik Zayn dan menyerahkan buku tugasnya pada Alana yang masih panik. Lalu zayn merebahkan tubuhnya lagi di meja.
"Kalian kan tahu, Ibu akan cuti mulai besok... jadi, mulai minggu ini ada guru baru yang akan mengajari kalian yang sudah putus asa dengan Bahasa Inggris." jelas Bu Lina. Di sebelahnya berdiri laki-laki tampan.
"Dia lebih pandai mengajar Bahasa Inggris daripada Ibu, jadi tolong dihormati, ya. Sudah gitu, dia sangat tampan, kan?"
Lana masih menunduk, sibuk menulis tugas bahasa inggris.
"Oh iya, apa Anda bisa bicara sepatah dua patah kata, Pak Zidan Mahendra?" tanya Bu Lina pada Zidan yang berada di sebelahnya.
"Tolong kerja sama ke depannya, ya, anak-anak," seru Zidan senyumnya memancarkan kehangatan yang mampu membius sebagian siswi di kelas itu. Beberapa dari mereka saling bertukar pandang, wajahnya bersemu merah, terpesona oleh kharisma Zidan. Suasana kelas seakan berubah menjadi lebih ceria, semangat belajar semakin menggebu di tengah tatapan penuh harapan kepada guru tampan mereka.
"Wahh... Tampannya..."
"Iya guru barunya ganteng pool."
"Kalau kayak gini mah aku mau belajar bahasa inggris tiap hari."
Bisikan teman-temanya membuat Alana yang tengah sibuk menyalin PR Zayn merasa terganggu.
"Berisik banget, sih?! Aku jadi nggak bisa konsentrasi. Kapan aku bisa nyelesain soal ini?" gerutunya. Ia masih belum menyadari keberadaan Zidan di kelas.
"Pak Zidan, Anda bisa mengamati kelas ini terlebih dahulu," saran Bu Lina.
"Baik, Bu." sahut Zidan.
Samar samar Alana mendengar suara yang dikenalnya.
"Ehm... suara ini kok tampak familier ya?"
Alana langsung menghentikan gerakan tangannya, pena di genggamannya terhenti, dan matanya menatap lurus ke depan. Tatapannya tertuju pada Zidan. Zidan, yang menyadari pandangan itu, segera tersenyum kecil. Dengan gerakan mulut tanpa suara, dia mengucapkan "hai".
"Ehh?!" Lana buru-buru menutup mulutnya, berusaha menahan agar suaranya tidak terdengar. Jantungnya berdegup kencang, perasaan kaget bercampur senang menyelubunginya. Apalagi dengan sapaan dan senyum hangat dari Zidan, yang terasa seolah hanya untuknya. Semburat merah mulai tampak di pipi mulusnya, tak mampu menutupi rasa malu dan gembira yang tiba-tiba muncul.
Zayn yang bangun dari tidurnya pun ikut terkejut. "Loh?!"