Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 24 ~
Entah benar atau tidak yang Gesya katakan mengenai aku dan mas Bima masih tidur terpisah, tapi sepertinya bukan cara mas Bima menceritakan privasinya ke orang lain apalagi ke Gesya. Jelas mas Bima akan berfikir dua kali jika ingin membagi kisah hidupnya mengingat Gesya adalah adik mbak Hana. Aku yakin mas Bima nggak mau nasibnya di ketahui oleh mantan istrinya.
Pria dingin itu pasti akan jaga image di depan saudari mbak Hana.
Tapi bagaimana bisa wanita itu tahu kalau mas Bima tak akan membuka hatinya untukku?
Mengisi oksigen ke paru-paru lebih banyak dari normalnya, pikiranku seakan di buat berputar-putar menyusuri labirin. Menerka dan menebak dengan penuh tanda tanya mengelilingi kepalaku.
Semenjak kepulangan Gesya, pikiranku terus saja terusik oleh sikapnya yang seakan meremehkan dan merendahkanku saat dia di sini. Aku bahkan sempat menangis teringat semua ucapan wanita itu. Sebagian dari pikiranku mempercayainya, andai benar mas Bima menceritakan kondisi rumah tangga kami, itu artinya dia memang tak ingin aku ada dalam hidupnya, namun semakin kesini aku justru menyangkalnya dan Gesya hanya mengada-ada.
Mas Bima menikahi gadis seperti Gesya?
Kepalaku reflek menggeleng.
Sepertinya nggak mungkin.
Jika mas Bima ingin menceraikanku dan menikah lagi, aku tahu betul standar wanita yang ingin di jadikan istri oleh mas Bima. Minimal seperti mami atau mbak Za, bukan wanita pengumbar aurat seperti Gesya.
"Bunda!" Aku tersentak dengan teriakan Lala. "Ayah telfon"
Aku yang belum selesai mencuci piring bekas makan malam di dapur, sementara Lala duduk di ruang makan sambil melihat kartun di ponselku, membuat kami bicara dengan suara agak tinggi.
"Di angkat, nak"
"Yang hijau kan bun, sama kaya telfonnya ayah"
"Iya sayang"
Meskipun dapur dan ruang makan masih menyatu, tapi jarak meja makan ke westafle lumayan jauh.
"Assalamu'alaikum ayah"
"Wa'alaikumsalam"
Aku memperlambat gerakan tanganku dan mematikan kran air demi bisa menguping pembicaraan Lala dengan ayahnya.
"Anak ayah lagi ngapain?"
"Lala lagi maem buah sambil lihat kartun di hpnya bunda"
"Sudah makan?"
"Sudah, yah"
"Bunda lagi ngapain?"
"Masih cuci piring ya bun?"
Bukannya menjawab pertanyaan ayahnya, Lala malah bertanya padaku.
"Iya, sayang"
"Masih cuci piring yah" Ulang Lala merujuk ke sang ayah.
"Hari minggu ngapain aja sama bunda?"
"Di rumah bantu-bantu bunda bersih-bersih rumah sama siram-siram bunga"
"Nggak keluar jalan-jalan?"
"Enggak, kan onty Gesya datang"
"Oh ya? Lama, main-main sama onty?"
"Lama yah, dari pagi sampe sore"
Karena aku sudah selesai mencuci piring, dan aku malas bicara dengan mas Bima sebab masih kesal dengan ucapan Gesya, aku beralasan pergi ke ruang tamu untuk menutup korden.
Saat melewati Lala, aku sempat melirik mas Bima di layar ponsel. Wajahnya tampak kuyu, sementara matanya menyorot lelah.
Sejujurnya aku merasa kasihan melihat mas Bima dengan raut demikian, tapi setelah ku pikir-pikir, dia saja tak mengasihaniku lantas buat apa aku kasihan padanya.
Mengabaikannya, aku terus berjalan keluar dari area ruang makan.
Namun, langkahku terhenti di ruang tengah ketika Lala mengatakan sesuatu dengan suara rendahnya.
"Tadi Lala lihat bunda nangis, yah"
Persekian detik aku berbalik, kemudian bersembunyi agar Lala tak melihatku, tetapi tetap supaya aku bisa mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Bunda nangis kenapa?" Tanya mas Bima.
"Ssttt,, jangan keras-keras nanti bunda dengar"
"Memangnya bunda lagi di mana sekarang?"
"Bunda lagi ke ruang tamu, mau nutup korden dulu katanya"
"Bunda nangis kenapa?" Ulang pria dari balik panggilan telfon.
"Lala nggak tahu, Lala mau tanya ke bunda tapi takut. Soalnya bunda nangisnya sambil duduk di lantai kamarnya bunda, pas bunda selesai sholat yang sore-sore"
"Ya sudah nanti ayah yang tanya ke bunda"
"Tapi ayah jangan marahin bunda ya"
"Enggak, nak" Jawab mas Bima menangkis kekhawatiran Lala. "Nanti kalau bunda sudah selesai nutup korden telfonnya kasihkan bunda ya!"
"Iya"
"Tadi onty ada ngobrol sama bunda?" Tanyanya merubah topik pembicaraan.
"Enggak ada yah, bunda juga nggak di bolehin main sama onty Gesya. Kata onty, bunda kan udah sering main-main sama Lala, jadinya nggak boleh ganggu mainnya Lala sama onty"
"Terus bunda kemana pas Lala main sama onty?"
"Bunda setrika bajunya Lala sama sisa bajunya ayah yang belum sempat bunda setrika"
"Bilang ke bunda bajunya ayah langsung di taruh lemari ya, ayah nggak kunci lemarinya"
"Iya nanti Lala bilang ke bunda"
"Anak pintar" Puji mas Bima yang nggak ku tahu seperti apa ekspresinya. Mendengar ucapan mas Bima barusan, aku sedikit heran. Dia yang pernah memberikan peraturan agar aku tak membuka lemarinya, dan cukup meletakkan baju-baju yang sudah ku setrika di atas kasur, tiba-tiba memintaku untuk memasukkannya ke dalam lemari.
Nggak mungkin mas Bima lupa dengan peraturan yang dia buat sendiri.
Apa dia memang sudah mulai melihatku?
Ah, kenapa aku merasa seperti di permainkan olehnya? Mas Bima masih belum mengatakannya secara gamblang. Aku tidak boleh terlalu percaya diri dulu. Iya kan?
"Bunda kok lama nutup kordennya, La?" Aku kembali menguping obrolan mereka.
"Lala lihat ya, yah"
"Iya.. Pelan-pelan turunnya"
Maksud mas Bima turun dari kursi makan, sementara aku langsung melangkah ke arah sofa, pura-pura sibuk menata bantal di sofa yang agak sedikit berantakan.
"Bunda sudah selesai nutup korden?" Lala bertanya saat sudah menyusulku ke ruang tv.
"Bunda belum menutupnya?"
"Dari tadi belum di tutup?" Selidik Lala. Anak itu memang sangat cerdas, sama seperti ayahnya. Pintar sekali mengintimidasi lawannya baik dengan tatapan matanya, maupun cara bertanyanya.
"Tadi bunda beres-beres bantal sofa dulu, kenapa?"
"Ayah mau ngomong sama bunda"
"Bilang bunda masih sibuk" Aku nggak mau bicara dengannya. Tapi by the way, bukannya tidak mau, cuma masih belum siap jika mas Bima mempertanyakan perihal apa yang Lala adukan tadi.
"Bunda masih sibuk, yah" Lala kembali mengarahkan ponsel ke wajahnya.
"Kasihkan saja ke bunda ponselnya"
Nah kan, mas Bima pasti memaksa, dia memang tak pernah bisa ku hindari.
Aku mendesah pelan, belum apa-apa jantungku sudah berontak dengan sangat kurang ajar di dalam sana.
"Ayah mau ngomong bun"
Mau tak mau, akupun menerima uluran ponsel dari tangan Lala.
Aku berjalan ke ruang tamu, dengan ponsel sudah berada di tangan kiriku, tapi tak berani memperlihatkan wajahku pada kamera.
"Masih lama sibuknya?" Tanya mas Bima dengan nada datar.
"Sebentar lagi" Jawabku asal.
Kemudian hening.
"Lala ada dimana?" Pertanyaan mas Bima bersamaan dengan bunyi korden yang ku tarik menggunakan tangan kananku.
"Di ruang tengah"
"Kamu di situ saja sampai aku selesai ngomong"
Ujian pertama, aku harus bisa menyelesaikannya.
Sampai semua korden sudah ku tutup, aku duduk di sofa ruang tamu, mengarahkan kamera ke langit-langit ruangan.
"Masih di ruang tamu?"
"Masih"
"Ini aku di suruh ngomong sama siapa?" Sindir mas Bima. "Arahkan kamera ke wajahmu !"
Aku tak langsung menuruti perintahnya, hingga beberapa detik berlalu, mas Bima kembali berucap.
"Cepat Bi! Aku nggak ada waktu!"
Pelan aku mengarahkan kamera ke wajahku, namun aku tak berani mempertemukan netra kami.
"Lihat aku!" Pintanya.
Butuh beberapa detik untuk aku membalas kilat matanya.
"Kamu nangis kenapa?" Tanyanya dingin.
"Nggak kenapa-kenapa?"
"Kamu makin berani bohong ya Bi"
"Aku nggak bohong"
"Aku tanya sekali lagi, kamu nangis kenapa?" Masih dengan raut datar tanpa ekspresi.
"Apa Gesya bikin ulah?"
Aku menggeleng.
"Dia mengatakan sesuatu?" Sorot mas Bima bagaikan hakim yang menanyai terdakwa.
"Dia ngomong apa?" Tanyanya lagi.
"Nggak ada"
Mas Bima mendesah seraya melempar pandangan ke samping kiri.. "Huuff kenapa kamu suka membuatku bingung?"
Kurasakan hembusan napas kasar keluar dari rongga hidung mas Bima.
"Ngomong Arimbi! jangan di pendam sendiri!"
Kembali hening...
"Takut?"
"Lalu bagaimana kalau ada seseorang yang menyakiti Lala, apa kamu akan diam saja?" Nada mas Bima yang terselipkan amarah, membuatku teringat akan ucapan Gesya. Tanpa sadar buliran bening meluncur dari kelopak mataku.
"Apa Gesya yang sudah membuatmu menangis?"
Aku merespon dengan anggukan kepala.
"Kamu di apain sama dia? Atau dia ngomong sesuatu ke kamu?"
"Dia tahu seperti apa hubungan kita, bahkan juga tahu kalau kita tidur di kamar yang berbeda" Aku menjeda kalimatku sejenak sebelum kembali bersuara. "Dia bilang, mas yang sudah menceritakan kondisi rumah tangga kita" Lirihku tanpa berani menatapnya. Aku sibuk menormalkan ekspresiku, berusaha menahan laju air agar tak meluncur kian deras.
Tak hanya mata, aku pun kewalahan mengatur cairan yang memaksa keluar dari rongga hidung.
"Dia bilang begitu?"
Aku mengangguk.
"Mentalmu sekuat apa? Di bilang gitu aja sampai nangis, harusnya kamu bisa membantahnya, Arimbi. Aku percayakan Lala sama kamu supaya kamu bisa menjaganya, tapi bagaimana kalau ketakutanmu lebih besar dari pada keberanianmu?"
"Kamu takut sama ontynya Lala? Takut sama suamimu sendiri? Aku ini bukan guru matematikamu, Bi" Tambah mas Bima secara lantang.
Kami yang sama-sama jebolan dari pondoknya kakek abi, meskipun beda generasi, tapi sama-sama merasakan bagaimana galaknya pak Zainal.
Mungkin itu sebabnya mas Bima bawa-bawa guru matematika kami. Mas Bima yang preman, bahkan tak berani berkutik jika pak Zain sedang mengajar.
"Kamu pintar beretorika di luar sana, di hadapan Lala, dan juga rekan kerjamu, tapi saat berhadapan dengan suamimu, kenapa kamampuanmu nol besar? Lala bahkan lebih berani menantangku di banding kamu"
Akhir-akhir ini mas Bima memang sering menyebut dirinya sebagai suamiku.
"Kita bicarakan saat aku pulang nanti. Assalamu'alaikum" Ucapnya dengan nada kesal.
"Wa'alaikumsalam" Setelah ku jawab salamnya, dia langsung mematikan sambungannya.
Aku di buat membatu, masih bertahan duduk di tempat semula dengan tatapan kosong.
Bersambung.
Semangat berkarya