Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama Keguguran
Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari ketika Nero tiba di rumah sakit, membawa Raina yang masih dalam keadaan pingsan. Entah angin apa yang mendorongnya melakukan hal itu. Padahal, bisa saja dia menyuruh Norman dan ART lain, tanpa perlu turun tangan sendiri. Bukankah tidur di rumah lebih nyaman dibanding duduk kedinginan di depan pintu IGD?
Nero sendiri tidak paham. Mengapa tadi langsung bergerak cepat ketika melihat Raina pingsan. Ahh, tidak. Bahkan dia tidak paham mengapa begitu betah menatap layar yang menampilkan rekaman CCTV di kamarnya. Apa video Raina yang menangis itu cukup menarik baginya?
"Tentu saja aku betah melihatnya karena dia sedang bersedih. Itu kan yang kuharapkan, melihat dia sedih dan hancur sepanjang waktu," batin Nero, memberikan alasan masuk akal untuk dirinya sendiri.
Namun, itu belum bisa membuatnya tenang. Bayangan wajah pucat Raina ketika pingsan tadi, juga wajah sembap yang masih basah karena air mata, dengan tidak tahu malu terus berputar-putar dalam ingatan Nero. Sialnya lagi, kepingan gambaran tentang dirinya yang memberikan obat penunda menstruasi juga turut memenuhi otaknya. Seolah sengaja menyudutkan bahwa semua itu karena dirinya.
"Kalaupun ada apa-apa dengan dirinya, apa urusanku? Biarkan saja. Semakin terluka semakin bagus, agar Raksa mengerti dengan siapa dia berhadapan." Nero membatin sambil mendengkus kesal. Lantas, ia bangkit dan berjalan menuju halaman, guna menyulut rokok supaya perasaannya bisa lebih tenang.
"Tuan Nero!" panggil dokter yang menangani Raina.
Dengan sedikit terpaksa Nero membuang rokoknya yang masih tersisa setengah. Lantas, menyahut panggilan dokter tersebut sambil tersenyum ramah.
"Bisa kita bicara sebentar?"
Nero mengangguk. "Baik, Dokter."
Kemudian, Nero mengikuti langkah dokter menyusuri koridor rumah sakit. Lalu, keduanya memasuki ruangan milik dokter itu.
"Istri saya kenapa, Dokter?" tanya Nero berbasa-basi.
"Nyonya Raina mengalami nyeri haid dan pendarahan yang berlebihan. Sepertinya bulan-bulan sebelumnya siklus haid pasien tidak lancar. Apakah benar begitu?" Dokter balik bertanya.
Meski bisa menjawab 'tidak', tetapi Nero memilih mengangguk dan mengatakan jujur bahwa sebelumnya Raina mengomsumsi obat penunda menstruasi.
Mendengar penjelasan Nero, dokter menarik napas panjang. Lantas menatap Nero dengan serius.
"Saya paham, sebagai pengantin baru mungkin hal 'itu' adalah prioritas utama. Tapi maaf, Tuan, sebaiknya yang seperti ini juga dihindari. Ini berbahaya untuk istri Anda. Haid yang tidak keluar bisa menjadi akar masalah kesehatan yang serius. Di dalam tubuh darah bisa menggumpal, dan ini bisa mengakibatkan penyakit-penyakit berbahaya, seperti kanker dan tumor."
Walau diam, tetapi Nero merutuk dalam hati. Sangat menyebalkan. Bisa-bisanya dokter mengira bahwa obat itu digunakan untuk mendukung waktu bercinta—tanpa terganggu menstruasi. Padahal, sekali saja dia belum pernah meniduri Raina. Ya ... meski pernah melihat seluruh tubuhnya tanpa sehelai benang. Namun, itu pun hanya satu kali, singkat pula.
"Sangat beruntung hari ini Nyonya bisa haid. Meski sakit dan sampai pingsan, tapi setidaknya darah kotor itu bisa keluar dari tubuh beliau," sambung dokter.
Nero hanya mengangguk-angguk.
"Pesan saya, tolong jangan diulangi ya, Tuan. Ini demi Nyonya. Dan ... dalam waktu dekat ini, jangan biarkan Nyonya kelelahan. Baik secara fisik maupun pikiran. Nyonya harus tenang dan banyak istirahat agar kesehatannya lekas pulih."
"Baik, Dokter," jawab Nero. Namun, entah akan dipatuhi atau tidak saran itu. Membiarkan Raina tenang, untuk saat ini sepertinya sangat sulit bagi Nero.
_______
Sekitar dua jam setelah Raina dirawat di rumah sakit, Raksa datang dengan wajah paniknya. Bagaimana tidak, belum lama tadi dia dihubungi Norman, dikatakan bahwa Raina masuk rumah sakit karena keguguran.
Siapa lagi yang membuat perintah kalau bukan Nero.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa adikku sampai keguguran?" cecar Raksa ketika tiba di depan IGD dan berhadapan dengan Nero.
"Kamu tidak tahu ini rumah sakit? Tidak bisa tenang sedikit?" sindir Nero.
"Jawab aku! Apa yang kau lakukan?" Suara Raksa makin meninggi.
Namun, Nero tetap tenang.
"Kamu pikir aku bodoh, jadi mencelakai anakku sendiri?" ucapnya.
"Lalu kenapa dia bisa keguguran?" Pernyataan Raksa masih berapi-api, dampak dari rasa panik yang menyergapnya sejak tadi.
"Jatuh di kamar mandi."
"Kenapa dia sampai jatuh? Memangnya kamu di mana? Apa tidak bisa mengantar dia sebentar?" sahut Raksa dengan cepat.
"Aku tidur dan dia ke kamar mandi sendiri tanpa membangunkan aku. Apa itu masih aku yang salah?" Jawaban Nero tetap tenang meski mengandung sindiran. Tak sedikit pun terlihat gugup. Jadi, sulit pula untuk dicurigai.
Kendati begitu, Raksa belum sepenuhnya percaya. Dia masih merasa bahwa kejadian itu karena kesengajaan Nero.
"Kamu bisa menanyai adikmu jika tidak percaya padaku," ucap Nero sesaat kemudian.
Raksa tak menyahut lagi. Dia justru melangkah pergi dan melihat Raina yang sudah siuman.
Nero pun tidak menahan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena sebelumnya dia sudah menjenguk Raina dan bicara banyak dengannya. Sekarang, istrinya itu pasti sudah paham apa yang harus dikatakan pada Raksa.
Bersambung...