Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emosi
George dan Deren turun dari mobil perlahan, mengamati pemandangan di halaman rumah Norman dan Wendy yang dipenuhi karangan bunga duka. Bunga-bunga itu tampak mewakili penghormatan terakhir dari teman-teman bisnis Norman.
“Mereka benar-benar dihormati, ya,” gumam George sambil menutup pintu mobil, mengamati bunga-bunga dengan tatapan penuh pikiran.
“Iya, Bang. Banyak yang merasa kehilangan,” sahut Deren. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah yang kini sepi, di mana beberapa anak buah Norman sudah mulai membereskan barang-barang dan memindahkannya ke truk yang terparkir tak jauh dari rumah.
Beberapa jam kemudian, rumah itu sudah tertata rapi. George dan Deren duduk lesehan di ruang tamu yang kosong. Para pekerja sudah pulang, meninggalkan keheningan yang hanya ditemani suara angin dari luar.
George membuka kaleng bir dan meneguknya perlahan. “Der,” panggilnya, menatap Deren dengan tatapan serius.
Deren, yang sedang meminum kaleng soda dingin, menoleh dengan alis terangkat. “Iya bang, kenapa?”
“Kok bisa sih, Kian tiba-tiba mau nikah?” George menyuarakan pertanyaannya, nada suaranya jelas mengisyaratkan kebingungan.
Deren mendesah pelan, meletakkan kaleng sodanya. “Lu mau denger ceritanya?”
George mengangguk, penasaran.
“Jadi gini,” kata Deren, memulai cerita yang telah lama ia simpan.
Flashback On
Kian duduk di rooftop rumah sakit, mengisap rokoknya dalam-dalam. Kepalanya terasa berat, bukan karena asap rokok, tetapi karena keputusan besar yang harus ia hadapi. Setelah menolak permintaan Norman, ia tak tahu apakah keputusannya benar atau tidak.
Disuatu sisi ia merasa bersalah pada Norman, disisi lain Kian tak mau dipaksakan.
“Hei,” sebuah suara terdengar di belakangnya. Kian menoleh dan mendapati Devin, kakeknya, sudah berdiri di sana. “Sebatang dong,” pinta Devin sambil tersenyum tipis.
Tanpa berkata banyak, Kian mengambil sebungkus rokok dan mengulurkannya kepada kakeknya. Devin menyalakan rokoknya dan menghembuskan asap ke udara malam yang tenang.
“Kek,” Kian memecah keheningan, “kenapa aku harus nikah sama Keira? Aku bisa jagain dia tanpa harus menikah, kan?” Ada kekhawatiran dalam suaranya, seolah-olah pernikahan adalah sesuatu yang terlalu besar untuk ia hadapi.
Devin menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menjawab. “Nikahin lu sama Keira itu bukan sekedar keinginan Norman, tapi juga harapan gua,” ucapnya pelan, namun tegas.
Kian terkejut. Ia menatap kakeknya yang sudah berumur 70 tahun itu dengan lebih serius. “Kenapa?”
Devin menatap langit malam, seolah mencari jawaban dari bintang-bintang. “Karena gua tahu, hanya Keira yang bener-bener cocok buat lu.”
“Cocok? Maksud kakek?” Kian mengerutkan kening, merasa bingung. “Aku bahkan nggak cinta sama dia.”
Devin menggeleng pelan. “Mungkin sekarang lu ngerasa nggak cinta. Mungkin lu ada trust issue sama cewek karena udah beberapa kali disakitin. Tapi percayalah sama gua, Keira itu beda. Dia cewek yang tulus, sopan, dan nggak peduli sama harta atau nama besar keluarga kita.”
Kian hanya diam, mencoba mencerna kata-kata kakeknya.
“Satu hal yang gua pengen sebelum gua mati, Ian,” lanjut Devin, “gua pengen lu nikah sama Keira. Cuman itu permintaan gua.”
“Gimana caranya aku nikah sama orang yang aku nggak cinta?” Kian bertanya lirih, mencoba memahami logika di balik keinginan kakeknya.
Devin tersenyum tipis, penuh kebijaksanaan. “Lu tahu pepatah Jawa? Witing tresno jalaran soko kulino, cinta datang karena terbiasa. Mungkin sekarang lu nggak ngerasa apa-apa, tapi dengan waktu, siapa tahu?”
Kian menghela napas panjang. “Tapi gimana kalau setelah menikah, aku beneran gak bisa cinta sama dia?”
Devin menatap Kian dengan serius kali ini. “Kalau begitu, kasih waktu tiga bulan. Kalo dalam tiga bulan lu masih nggak cinta sama dia, gua nggak akan maksa lagi. Cerai.”
Kian mengangguk pelan, tanpa pikir panjang. “Oke. Deal.”
Flashback Off
“Jadi itu alasan kenapa Kian akhirnya setuju,” Deren menyelesaikan ceritanya, meminum sisa soda di kalengnya. George, yang sedari tadi mendengarkan dengan seksama, hanya bisa terdiam.
“Semoga aja Kian udah sadar sama perasaannya selama tiga bulan itu,” ucap George, menghela napas berat.
Deren mengangguk. “Iya. Semoga selama tiga bulan ini Kian sadar sama perasaannya.”
.....................
Keira duduk di tepi tempat tidur, tatapannya kosong. Tangan lembutnya perlahan mengeringkan rambutnya yang basah setelah mandi. Suara gemericik air dari kamar mandi masih terdengar samar, menandakan Kian, suaminya, sedang berada di dalam.
Segalanya masih terasa seperti mimpi. Keira tak pernah membayangkan bahwa ia akan menikah, apalagi dengan Kiandra Darmansyah, dan kini, mereka berada di ruangan yang sama, berbagi tempat tidur yang sama. Hatinya dipenuhi rasa campur aduk—antara tidak percaya, gugup, dan perasaan tak menentu yang sulit ia definisikan.
Saat pikirannya terbang jauh, pintu kamar mandi terbuka. Kian melangkah keluar dengan rambut basah yang masih meneteskan air. Hanya sehelai handuk putih melilit di pinggangnya, menutupi tubuh bagian bawahnya. Otot-otot di dadanya tampak tegas, berkilauan karena sisa air yang menetes di kulitnya.
Keira tertegun. Mata indahnya membulat seketika saat melihat Kian dengan penampilan seperti itu. Ia tak pernah menyangka akan berada dalam situasi seintim ini. Dadanya berdegup lebih cepat, sementara tangannya yang masih memegang handuk rambut berhenti bergerak. Napasnya terasa sedikit tertahan, dan ia mencoba mengalihkan pandangan, namun sulit.
Kian menyadari tatapan Keira, namun ia tak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan tenang menuju lemari, membuka pintu lemari untuk mengambil pakaian. Keheningan yang terjadi di antara mereka terasa begitu nyata, seperti ada dinding tak terlihat yang membentang.
Keira mencoba menenangkan dirinya, mengingat bahwa ini bukanlah momen yang harus ia buat canggung. Bagaimanapun, mereka kini sudah sah menjadi suami istri. Namun, tetap saja, perasaan canggung itu begitu kuat. Setiap gerakan Kian seolah menyadarkannya betapa dekat mereka kini, baik secara fisik maupun dalam status.
“Sayang,” sebuah suara lembut memecah lamunan Keira. Ia segera menoleh ke arah pintu. Ternyata itu Grace, yang tersenyum kecil melihat Keira yang tampak masih canggung.
“Bang, Kak, kalau udah selesai, langsung turun ya. Nenek tunggu di meja makan,” ucap Grace seraya melayangkan tatapan penuh arti ke arah Kian dan Keira.
“Iya, Nek,” jawab Kian dan Keira hampir bersamaan, suara mereka berbaur di tengah atmosfer yang masih sedikit kaku.
Grace mengangguk pelan sebelum menutup pintu kamar dengan tenang. Ruangan itu kini kembali sunyi, dengan hanya Kian dan Keira yang tinggal. Tak ingin berlama-lama hanya berduaan di kamar yang terasa penuh ketegangan, Keira segera bangkit dari tempat tidur, bergegas mengikuti langkah Grace menuju lantai bawah.
Ketika sampai di ruang makan, Keira mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih tak menentu. Di sana, Devin sudah duduk dengan tenang, tersenyum hangat ke arah Keira saat ia menghampiri. Namun, tatapan berbeda datang dari Tasya, yang terlihat jelas tak senang dengan kehadiran kakak iparnya. Mata Tasya menyiratkan penolakan, dan Keira langsung merasa tidak nyaman, instingnya seakan memintanya untuk berbalik dan pergi.
Keira mencoba melarikan diri dari suasana yang menekan itu. “Aku… di kamar aja, Nek. Aku nggak lapar,” ucapnya dengan nada rendah, sambil sedikit menunduk.
Namun, Grace dengan lembut meraih tangan Keira, menahannya sebelum ia sempat berbalik. “Sayang, kamu belum makan seharian. Ayo, duduk dan makan dulu, ya? Jangan terlalu mikirin yang nggak perlu,” ucap Grace dengan senyum penuh pengertian. Meski Keira ingin menolak, ada ketulusan di suara Grace yang membuatnya tak bisa berkata tidak. Akhirnya, ia menurut dan duduk di meja makan.
Suasana masih terasa canggung ketika Kian menyusul tak lama kemudian, mengenakan pakaian santainya. Ia duduk di samping Keira, namun sama seperti sebelumnya, tak ada percakapan di antara mereka yang mencairkan suasana.
Namun, ketegangan yang awalnya hanya diam-diam, tiba-tiba pecah saat Tasya membuka mulut dengan nada dingin. “Ngapain dia ikut makan di sini, Nek?” tanyanya, tanpa memalingkan tatapan dari piringnya.
Grace dan Devin langsung terdiam, namun Devin sudah bisa merasakan amarahnya mulai naik. “Emangnya kenapa kalo Keira makan di sini? Dia kan udah jadi bagian dari keluarga kita sekarang,” ucap Devin, suaranya terdengar lebih keras daripada yang diinginkannya.
Tasya mendengus. “Dia udah gede, Kek. Kenapa nggak makan di luar aja? Toh, dia bukan siapa-siapa di rumah ini,” sahut Tasya dengan nada meremehkan yang membuat suasana semakin memanas.
Grace mencoba menengahi. “Tasya, Kak Keira itu keluarga kita. Mau gimana pun, dia sudah menikah sama abangmu,” ucapnya lembut, tapi jelas.
Namun, Tasya tak berhenti di situ. Dengan nada yang lebih tajam, ia berkata, “Kakek sama Nenek kok selalu belain dia, sih? Apa karena dia gak punya orang tua dan temannya Kakek?”
Prang!
Suara kaca pecah mendadak memecah keheningan. Gelas di tangan Devin hancur dalam genggamannya, pecahannya melukai telapak tangan sang kakek. Darah mulai mengalir, tapi wajah Devin dipenuhi kemarahan yang jauh lebih nyata dibandingkan luka fisiknya.
Dengan suara yang penuh dengan amarah yang ditahan, Devin menatap tajam cucunya. “JAGA BICARAMU, TASYA DARMANSYAH!”