"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENOLAK BANTUAN,MERANGKUL SEPI
Tak ada pilihan lain,Pak Falah terpaksa mengikuti pilihan Zilfi yang ingin kembali ke pesantren...ia pun langsung mengantarkan nya kembali ke pesantren...
Zilfi berjalan sendirian di sepanjang koridor pesantren yang sunyi. Udara pagi masih dingin, dan embun tipis menempel di dedaunan di sekitar halaman. Dia baru saja kembali, setelah menghabiskan beberapa hari di rumah bersama ayahnya. Namun, meski fisiknya telah kembali ke tempat yang akrab ini, pikirannya masih terisi oleh percakapan yang ia tinggalkan di rumah.
Ayahnya ingin membawa ke psikologi, sebuah gagasan yang membuat dada Zilfi sesak. Bukan karena dia meremehkan niat baik ayahnya, tapi karena dia tidak bisa membayangkan dirinya duduk di hadapan seseorang yang asing, mengungkapkan semua rasa sakit yang bahkan sulit dia pahami sendiri.
Dan sekarang, setelah diterima menolak, dia kembali ke tempat yang selama ini menjadi pengungsinya pesantren. Di sini, di balik tembok-tembok tinggi dan dalam kedamaian lantunan ayat-ayat Al-Quran, Zilfi merasa bisa lebih tenang dibandingkan harus tinggal bersama ibu tiri nya .
Namun, dibalik semua itu, ada sepi yang terus berlanjut, menekan setiap sudut hati Zilfi Sepi yang dia rangkul, seolah-olah dengan cara itu dia bisa melarikan diri dari semua masalahnya di rumah.
Malam itu, Zilfi berbaring di kasurnya. Di luar, suara jangkrik bercampur dengan suara angin yang berdesir lembut. Kamar asrama yang ia tinggali tampak sunyi, meski ada beberapa santri lain yang sudah terlelap di ranjang mereka. Zilfi memandang langit-langit kamar, pikirannya berkecamuk.
Dia teringat kembali saat-saat ketika ayahnya berusaha membujuknya untuk berdiskusi dengan psikolog. Bagaimana ayahnya berbicara dengan lembut namun tegas, meminta Zilfi untuk mau menerima bantuan.
Tapi Zilfi tidak ingin mendengarnya. Bagi dia, meminta bantuan terasa seperti mengakui bahwa ada yang salah dengan dirinya, sesuatu yang belum siap dia terima. Lagi pula, apa yang bisa dilakukan seorang psikolog? Mengorek lebih dalam luka-luka yang selama ini ia sembunyikan dari orang tua nya?
Dia lebih memilih diam. Di pesantren, di tengah kesibukan menghafal Al-Quran, sholat berjamaah, dan belajar, dia bisa membakar dirinya dalam rutinitas yang membuatnya lupaatau setidaknya berpura-pura lupa tentang apa yang sebenarnya dia rasakan.
Waktu terus berjalan, namun rasa tenang yang Zilfi harapkan tidak juga datang. Setiap hari di pesantren hanya terasa seperti keriting. Zilfi semakin merasa terasing, bahkan dari teman-temannya. Meskipun dia berusaha keras merangkul sepi, sepi itu justru membuat tembok yang memisahkan dia dari dunia luar. Dia semakin sulit untuk benar-benar terhubung dengan siapa pun.
Suatu malam, ketika seluruh pesantren terlelap, Zilfi duduk sendirian di tepi jendela asramanya, menatap bulan yang tinggi di langit. Untuk pertama kalinya, dia merasa lelah dengan semua ini.lelah dengan pengungsinya, lelah dengan pura-pura baik-baik saja, lelah dengan sepi yang selama ini dia peluk erat.
Dia berpikir bahwa dia tidak bisa terus menutup dirinya. Mungkin, mencari bantuan tidak akan membuatnya lemah, tapi justru bisa membantu menemukan kembali dirinya yang hilang.
Dengan napas berat, Zilfi menutup matanya. Mungkin sudah waktunya dia berhenti melarikan diri. Mungkin sudah waktunya dia mulai mendengarkan, bukan hanya pada orang-orang di sekitarnya, tapi juga pada dirinya sendiri.