Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Penyambutan Reyhan
Pagi hari.
Amira terbangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan matanya perlahan sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Di dalam selimut putih yang membalut sekujur tubuhnya dia tidak mengenakan apa pun.
Begitu berbalik ke samping, Tristan dengan bertelanjang dada sedang memperhatikannya bulat-bulat. Kulitnya yang eksotis tampak mengkilap karena cahaya matahari menembus masuk dari jendela.
"K-kamu sudah bangun?" tanya Amira gelagapan dengan rona di wajah.
Amira terkejut Tristan sedang memperhatikannya. Dia pun berbalik memunggungi Tristan karena posenya membuat iman kembali terguncang.
"Semalam siapa yang menantang kekuatan saya? Lalu siapa yang bilang tidak kuat?" tanya Tristan sambil memperhatikan punggung Amira.
"Ahehe, anu ... aku tidak seharusnya meragukan sisi priamu. Maaf, ya." Amira terduduk sambil menghindari tatapan Tristan. Dia menarik selimut dan membalut sekujur tubuhnya.
"Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu belum mandi?" tanya Amira basa-basi sambil beranjak dari ranjang.
Namun, dengan cepat Tristan menariknya dan membantingnya ke atas ranjang.
"Tan!"
"Saya mau lagi," pinta Tristan sambil menekan Amira.
"Lagi? Astaga, aku sudah tidak sanggup. Sungguh!" tolak Amira sambil membekap mulutnya sendiri. "Sekarang sepertinya sudah hampir jam 7. Kita siap-siap ke Sekolah."
"Saya sudah hubungi Kepala Sekolah untuk menunda jam masuk."
"Mana bisa begitu?"
"Bisa dong. Saya yang paling berkuasa di Sekolah." Tristan tersenyum sombong sambil masuk ke dalam selimut.
Tiba-tiba saja terdengar suara dering ponsel. Amira mengambil kesempatan itu untuk mengalihkan Tristan.
"Ponsel! Ponselmu bunyi!" katanya sambil mendorong Tristan.
"Biarkan saja."
Amira melepaskan diri dan mengambil ponsel tersebut dari atas nakas. "Kak Rosma. Kak Rosma yang menelepon," ujarnya memberitahu sambil memperlihatkan layar ponsel pada Tristan.
Tristan menekan tombol merah dan telepon pun mati.
"Hey! Kamu -"
Amira kelimpungan. Tristan bukannya menjawab malah mematikan teleponnya. Tahu begitu dia langsung angkat saja barusan.
Tidak lama kemudian, ponsel Tristan kembali berdering. Lagi-lagi Rosmalinda (Kakak ipar Tristan) yang menelepon.
Tanpa perhitungan, Amira langsung menjawabnya. "Halo, Kak?"
Tristan tidak sempat menghentikan. Dia menahan emosi dan mengurungkan niatnya.
"Ah, Tristan? Ada Kak, ada." Amira memberikan ponsel tersebut pada Tristan. "Kak Rosma ingin bicara denganmu," bisiknya.
Tristan mengambil ponselnya sambil menatap Amira dengan tatapan menusuk. Amira buru-buru melarikan diri ke kamar mandi.
"Hm, ada apa, Kak?"
"Tan, kamu sudah bertemu dengan Reyhan di Sekolah?"
"Ya, sudah."
"Hah, anak itu memang benar-benar. Susah payah aku didik sampai ke luar negeri untuk mengelola bisnis malah jadi Guru Olahraga. Nanti kamu tolong bujuk dia untuk berhenti, ya?"
Tristan hanya diam tak menanggapi.
"Oh iya, Tan, Kakak mengadakan acara pesta kecil-kecilan kepulangan Reyhan. Kali ini kamu harus datang membawa Amira, ya. Bilang padanya, jangan sungkan pada kami. Dalam setahun ini kami hanya bertemu 3-4 kali saja."
"Aku menikahinya bukan untuk ditunjukkan pada kalian," ujar Tristan dingin.
"Ah, emm ... i-iya, Kakak tahu. Setidaknya kamu sudah menikah lama dengannya, kami sebagai keluarga tidak mungkin mengabaikannya," jelas Rosma sedikit gelagapan karena nada bicara Tristan membuatnya gugup.
"Memangnya Rey sudah tahu tentang pernikahanku?" tanya Tristan sambil menatap pintu kamar mandi. Terdengar suara Amira sedang mandi sambil bersenandung.
"Belum, baru saja akan Kakak katakan hari ini."
Tristan terduduk sambil mengusap jambang tipisnya. Dia tampak memendam sesuatu. "Baiklah, aku akan datang membawanya."
Tristan mematikan telepon tersebut dan bersiap-siap mandi bersama dengan Amira.
Namun, baru saja pintu kamar mandi akan diketuk, terdengar suara 'Brugh' dan rintihan Amira dari dalam.
"Akh!"
"Amirah?" teriak Tristan cemas sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan lengan beruratnya.
Brak, brak, brak!
"Amirah! Amirah! Kamu baik-baik saja?!"
"Tan, sakit, huhu ...."
"Buka pintunya!" Tristan seperti orang yang kehilangan akal. Dia kelimpungan panik.
"Tidak bisa. Kakiku sakit!" rengek Amira semakin menjadi.
Tristan dengan tubuh besarnya terpaksa mendobrak pintu kamar mandi. Bukan terbuka lagi itu pintu kamar mandi, melainkan hancur berkeping-keping. Amira yang terduduk di lantai dengan keadaan basah kuyup sampai tersentak kaget setengah mati.
"K-kamu merusak pintunya?" Amira tak percaya.
"Bukan waktunya membahas itu. Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" tanya Tristan sambil memeriksa sekujur tubuh Amira.
"Itu, kaki! Kakiku terkilir," rintihnya sambil menunjuk pergelangan kaki kiri.
"Bagaimana caramu melangkah? Sudah besar juga bisa-bisanya terkilir, ceroboh sekali. Seperti anak kecil saja," gerutu Tristan dengan raut wajah kesal.
Tristan menggendong Amira, tapi kakinya yang sakit menabrak kloset hingga membuatnya lagi-lagi merintih kesakitan.
"Tan, sakit!" geramnya.
"Maaf, maaf. Saya akan lebih hati-hati. Pakai baju dulu, kita pergi ke rumah sakit." Tristan membawa Amira keluar.
Tristan dudukkan Amira di tepi ranjang dengan membalutkannya handuk. Dia sibuk mencari pakaian Amira di dalam lemari.
"Tidak perlu sampai ke rumah sakit. Hanya terkilir biasa saja. Sekarang sudah lewat jam 7, aku sudah kesiangan," kata Amira.
Tristan tidak mendengarkan dan tidak mengatakan sepatah katapun. Dia memakaikan Amira satu setel baju lengkap beserta dalamannya dan menggendongnya keluar.
Di dalam mobil.
Tristan menghubungi asisten keluarga yang biasa membantu mengurus permasalahan keluarganya.
"Pak Muh, Amira kecelakaan. Hubungi dokter ortopedi terbaik," celetuknya.
"Kecelakaan? Amit-amit, kamu doain aku kecelakaan?" protes Amira.
"Kalau bukan kecelakaan, lalu apa namanya? Kakimu kalau dibiarkan bisa membengkak," balas Tristan sambil menginjak pedal gas dan mobilnya semakin cepat melaju.
°°°
Di rumah sakit.
Ruang Ortopedi.
Setelah melakukan pemeriksaan X-Ray, Dokter memperhatikan hasilnya secara seksama. Tidak ada masalah yang serius, seperti tulang yang patah misalnya. Namun, dia melihat Tristan sejak tadi gelisah tidak tenang karena begitu mengkhawatirkan Amira.
Pak Muh berada di sana mendampingi mereka. Usianya di atas 45 tahun.
"Dilihat dari hasil X-Ray, tidak ada kondisi yang serius," ucap Dokter sambil menyentuh kacamatanya.
Tristan langsung menghela napas lega. "Sungguh tidak ada yang serius, Dok?"
"Iya. Hanya terkilir biasa saja."
"Hah, syukurlah." Tristan mengusap dadanya sambil memeluk erat Amira.
"Aku bilang juga apa, cuma terkilir. Lagipula sekarang juga sudah tidak berasa sakitnya," kata Amira sambil mencoba berdiri dengan satu kaki.
Pak Muh yang ada di sana memperhatikan merasa ikut senang melihat Amira tidak apa-apa.
"Iya, iya, saya terlalu berlebih, maaf. Kalau begitu, kita bisa pergi ke rumah Kak Arslan besok malam."
"Eh, ke rumah Kak Arslan? Ada apa?" tanya Amira penasaran.
"Kak Rosma ingin mengadakan pesta kecil-kecilan karena Reyhan sudah kembali. Kita diundang. Awalnya saya menolak, tapi dia memaksa."
Deg!
Sekujur tubuh Amira menegang. Wajahnya mulai pucat dengan telapak tangan basah. Pesta di rumah orang tua Reyhan, artinya Reyhan pun akan ada di sana.
"Sekalian saja saya perkenalkan kamu sebagai istri saya. Biarkan dia tahu kalau ternyata dia sudah memiliki Bibi."
Deg!
Lagi-lagi Amirah tersentak mendengar ucapan Tristan. Kedua matanya berkedut memerah panas. Pikirannya kacau berantakan. Itu tidak boleh terjadi!
"Akh! Aaaaa, kakiku ... kakiku sakit lagi, kenapa ini? Kok, tiba-tiba sakit? Padahal tadi sudah tidak sakit," ucap Amira sambil menjatuhkan diri ke lantai.
"Amirah!" Tristan, Dokter dan Pak Muh kembali cemas.
Tristan menggendong Amira dan mendudukkannya di samping.
"Dok, tolong periksa ulang hasil X-Ray nya. Pasti ada kesalahan. Ugh, sakitnya tidak tertahan! Seperti ditusuk-tusuk," bual Amira sambil diam-diam mengedipkan sebelah matanya pada dokter, mengajak Dokter untuk membantunya berakting.
Dokter yang berada di situasi sulit menjadi gugup dan berkeringat dingin. Haruskah dia membantu Amira? Jika dia membantu Amira sama saja dengan membohongi Tristan. Akibatnya akan fatal. Apalagi di sana ada Pak Muh sebagai saksi.
Amira menatap Dokter penuh harap sampai pupilnya membesar dan berkaca-kaca. Tatapan matanya minta dikasihani seperti anak kucing.
"Dok, tolong periksa ulang," pinta Tristan.
Dokter mengambil hasil X-Ray dan memeriksa ulang. Dia tampak serius memeriksa hasil X-Ray di tangan. Keningnya sampai berkerut.
"Ah, te-ternyata setelah diperiksa dengan seksama memang ada kesalahan. Tulang ... tulang lunaknya terluka sangat parah hingga menyangkut nyawa."
"Apa!" Tristan tersentak kaget. "Sampai menyangkut nyawa?"
"Huhu, pantas saja sakitnya tak tertahan. Tan, sepertinya kita tidak bisa pergi ke pesta Kak Rosma. Kamu segera hubungi mereka dan katakan kalau kita tidak bisa datang," bujuk Amira sambil merengek manja di pelukan Tristan.
Diam-diam dia mengacungkan jempol pada Dokter. Dokter ogah menanggapi, karirnya bisa terancam kalau tahu membohongi Tristan.
...
BERSAMBUNG!!
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor