Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Cinta
Beberapa bulan setelah pesta rumah, kehidupan Keisha dan Raka tampak berjalan mulus. Namun, ketika musim panas tiba, tantangan baru muncul, menguji hubungan mereka.
Suatu malam, Keisha duduk di sofa sambil mengerjakan proyek seni di laptopnya. Raka baru saja pulang dari kantor dan terlihat kelelahan. Dia mendekat dan mencium pipi Keisha.
“Lagi sibuk apa, sayang?” tanya Raka sambil melihat layar laptop.
“Aku sedang merancang poster untuk acara seni lokal. Harapannya, ini bisa jadi peluang bagus untuk kita,” jawab Keisha, senyum semangat.
“Itu hebat! Tapi jangan lupa istirahat, ya. Aku tidak mau kamu terlalu kelelahan,” Raka berkata, mengusap punggung Keisha.
Tiba-tiba, pesan masuk dari teman lama Keisha, Andi, yang membuatnya terkejut.
“Raka, Andi baru menghubungiku. Dia ingin bertemu dan membahas beberapa proyek seni,” Keisha memberitahu dengan nada antusias. “Dia sangat berbakat!”
Raka mengernyitkan dahi. “Andi? Teman kuliahmu yang sering kamu ceritakan itu?”
“Iya, dia juga mengerjakan proyek seni yang sama. Aku rasa kita bisa saling membantu,” jawab Keisha, merasakan ketegangan di udara.
“Baiklah, tapi jangan sampai terlambat. Kita sudah sepakat untuk menghabiskan malam bersama, kan?” Raka mengingatkan, nada suaranya terdengar cemas.
“Tenang saja, aku akan pulang sebelum malam,” Keisha berusaha meyakinkan.
Setelah beberapa jam, Keisha pergi bertemu Andi di kafe. Andi menunggu dengan senyum lebar dan buku sketsa di tangannya.
“Keisha! Senang melihatmu lagi!” seru Andi, memeluknya dengan hangat. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja! Ini Raka, suamiku,” Keisha memperkenalkan Raka, yang duduk di sebelahnya dengan senyum tegang.
“Ah, jadi ini suami si seniman terkenal,” ujar Andi, tertawa. “Kamu pasti bangga bisa menikahi orang sepertinya.”
“Ya, kami saling mendukung,” Raka menjawab, berusaha menjaga ketenangan.
Malam itu, Keisha dan Andi membahas berbagai ide untuk proyek seni, sedangkan Raka terjebak dalam keraguan dan kecemasan. Dia merasa Andi terlalu akrab dan bisa saja menimbulkan masalah.
Setelah beberapa jam, Keisha mengirim pesan kepada Raka.
Keisha: Aku masih di kafe, Andi sangat membantu!
Raka: Oke. Tapi jangan lupa, kita punya rencana malam ini.
Keisha tidak menjawab segera. Dia terus bercengkerama dengan Andi hingga larut malam.
Di rumah, Raka menunggu dengan perasaan gelisah. Saat Keisha akhirnya pulang, Raka sudah siap mengungkapkan kekhawatirannya.
“Keisha, kau terlambat! Aku sudah menunggu!” Raka berkata dengan nada tegas, tetapi tetap lembut.
“Aku minta maaf! Andi sangat menarik dan kami berbicara tentang banyak hal,” Keisha menjelaskan sambil merapikan rambutnya.
“Tapi, apakah kau tidak mengingat janji kita untuk malam ini?” Raka merasa frustrasi.
“Raka, aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Ini hanya proyek seni,” Keisha menjawab, terlihat bingung.
“Proyek seni? Atau pertemanan lama yang kembali lagi?” Raka bertanya, suaranya mulai meninggi.
Keisha terkejut. “Apa maksudmu? Andi adalah teman! Tidak lebih dari itu!”
“Tapi aku tidak suka bagaimana dia memperlakukanmu. Sepertinya dia berusaha mendekatimu,” Raka menanggapi, menunjukkan ketidakpuasan.
“Raka, jangan berlebihan! Dia sudah menikah dan aku tidak tertarik padanya!” Keisha menjelaskan, merasa jengkel.
Raka berusaha menahan emosinya. “Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Aku mengerti, tetapi kita harus saling percaya. Jika kita mulai mencurigai satu sama lain, di mana itu akan membawa kita?” Keisha berusaha meredakan ketegangan.
Raka terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Keisha. “Kau benar. Aku hanya... aku hanya tidak ingin ada yang merusak hubungan kita.”
“Kita harus membicarakan ini, Raka. Kita tidak bisa membiarkan keraguan menggerogoti cinta kita,” Keisha menekankan, mengambil tangan Raka dengan lembut.
“Baiklah. Mari kita bicarakan lagi besok,” Raka setuju, suara mereka lebih tenang, tetapi ketegangan masih terasa.
Keesokan harinya, Raka memutuskan untuk memberi Keisha ruang untuk bekerja di proyeknya. Dia merasa cemas tentang hubungan mereka, tetapi tahu bahwa dia perlu mempercayai Keisha.
Ketika Keisha kembali dari pertemuan dengan Andi, Raka menunggu dengan cemas.
“Keisha, bisa kita bicara?” Raka memulai, menatap matanya.
“Tentu, ada apa?” Keisha menjawab, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
“Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya percaya padamu, tetapi saya juga ingin berbagi ketakutanku. Andi tampaknya masih sangat tertarik padamu,” Raka mengungkapkan.
“Dia memang teman baik. Tetapi, jika ini membuatmu tidak nyaman, aku akan membatasi interaksi kami,” Keisha berjanji.
“Terima kasih. Itu sangat berarti bagiku. Aku tidak ingin kita terjebak dalam drama yang tidak perlu,” Raka mengakui, senyumnya mulai kembali.
“Jadi, kita bisa membuat kesepakatan. Kita saling terbuka dan jujur tentang perasaan kita, ya?” Keisha mengusulkan.
“Setuju! Dan kita akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama untuk menguatkan hubungan kita,” Raka menambahkan, senang dengan ide itu.
Malam itu, mereka duduk bersama dan merencanakan kegiatan yang akan dilakukan.
“Bagaimana kalau kita mencoba kursus memasak akhir pekan ini? Itu bisa jadi pengalaman baru bagi kita!” usul Keisha, tersenyum lebar.
“Bagus sekali! Siapa tahu, mungkin kita bisa memasak makanan enak untuk teman-teman kita,” Raka menjawab, antusias.
Seiring berjalannya waktu, Keisha dan Raka belajar untuk saling percaya dan mengatasi rasa cemburu yang mengganggu. Mereka menyadari bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan yang menghadang, dan setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh lebih dekat satu sama lain.
Beberapa minggu berlalu, dan Keisha dan Raka terus berusaha menguatkan hubungan mereka. Namun, Andi masih menjadi topik yang tidak pernah jauh dari pikiran Raka. Suatu malam, ketika mereka berdua duduk di sofa, Raka menerima pesan dari seorang teman lama yang ingin mengadakan reuni.
“Sayang, ada reuni kecil-kecilan di kampus minggu depan. Kau mau ikut?” tanya Raka, sambil melihat Keisha yang sibuk dengan laptopnya.
“Tentu saja! Ini kesempatan bagus untuk bertemu teman-teman,” jawab Keisha dengan antusias, tetapi tatapannya sedikit cemas saat menyebutkan nama Andi.
“Tapi Andi juga akan datang, kan?” Raka bertanya, mencoba mengatur nada suaranya agar tetap tenang.
Keisha mengangguk, wajahnya menunjukkan ketidakpastian. “Ya, dia bilang ingin datang. Tapi, aku rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita akan ada bersama-sama.”
Raka menghela napas, merasa jantungnya berdebar. “Baiklah, tetapi aku harap kita bisa menjaga batasan. Aku tidak ingin merasa terjebak dalam keraguan lagi.”
“Aku mengerti, Raka. Aku akan berusaha menjaga agar tidak ada yang aneh di sana,” Keisha menjawab, mencoba menenangkan suasana.
Hari reuni tiba, dan suasana di kafe kampus sangat meriah. Teman-teman lama berkumpul, mengingat kembali kenangan indah yang telah berlalu. Keisha dan Raka tiba dan disambut hangat oleh teman-teman mereka.
“Keisha! Raka! Senang melihat kalian!” seru Mita, teman kuliah mereka, dengan pelukan hangat. “Kalian berdua semakin terlihat serasi!”
“Terima kasih, Mita! Kami juga senang bisa berkumpul lagi,” Raka menjawab, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan yang ada di pikirannya.
Setelah beberapa saat, Andi muncul dengan senyum lebar. “Hey, kalian! Senang bisa bertemu lagi!”
“Hi, Andi! Kita baru saja mulai bersenang-senang,” Keisha menjawab, sedikit berusaha agar suaranya terdengar natural.
Raka memperhatikan Andi dengan cermat. “Jadi, Andi, apa kabar? Masih aktif di dunia seni?” tanyanya dengan nada tegas.
“Ya, masih. Aku baru saja menyelesaikan pameran seni. Mungkin suatu saat aku bisa memperlihatkan karyaku padamu,” Andi menjawab, seolah tidak merasakan ketegangan di antara mereka.
“Pameran? Keren! Aku ingin melihatnya,” Keisha menimpali, wajahnya ceria.
Raka mengerutkan dahi. “Tentu, tapi kita punya rencana juga,” ujarnya, merasa perlu menegaskan posisi mereka.
“Ah, benar. Kita bisa mengatur waktu. Bagaimana dengan akhir pekan ini?” Andi menawarkan.
Keisha memandang Raka, ragu. “Itu mungkin bisa,” katanya, tetapi Raka sudah bersiap menjawab.
“Sebisa mungkin, kita ingin fokus satu sama lain akhir pekan ini,” Raka menyela. “Kita sudah menyepakati waktu untuk bersama.”
Keisha bisa merasakan ketegangan meningkat. “Raka, kita tidak bisa membatasi teman-teman kita,” katanya, berusaha mempertahankan suasana damai.
“Keisha, aku hanya ingin menjaga hubungan kita. Aku tidak ingin merasa cemburu,” Raka menegaskan, tidak ingin terlihat lemah di depan Andi.
Andi melihat pertengkaran kecil itu dan mencoba mencairkan suasana. “Tenang saja, Raka. Kita semua di sini untuk bersenang-senang. Bagaimana kalau kita bermain permainan? Itu pasti akan membantu!”
Keisha dan Raka saling berpandangan, lalu tersenyum. “Baiklah, permainan apa?” Keisha bertanya, berusaha mengalihkan perhatian.
Malam itu, permainan membawa kembali kenangan dan tawa, tetapi bayang-bayang ketidakpastian tetap ada. Raka berusaha keras untuk mengontrol perasaannya, tetapi Andi tampak terlalu nyaman di sekitar Keisha.
Saat permainan berlanjut, Keisha mulai merasa sedikit cemas. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Raka. “Raka, bisa kita berbicara sebentar?”
“Sure. Di luar?” Raka menjawab, berusaha menahan emosinya.
Di luar kafe, suasana terasa lebih tenang. “Aku merasa kamu terlalu cemburu. Kita tidak bisa hidup dalam ketakutan seperti ini,” Keisha menyatakan.
“Aku hanya ingin melindungimu, Keisha! Andi terlalu dekat, dan aku tidak ingin kehilanganmu,” Raka menjawab, suaranya sedikit meninggi.
“Tapi, Raka, aku sudah berjanji untuk menjaga batasan. Jangan biarkan keraguan menghancurkan apa yang kita miliki,” Keisha menegaskan.
Raka mendengus, tetapi kali ini lebih lembut. “Kau benar. Maafkan aku. Mungkin aku terlalu berlebihan,” dia mengakui.
Keisha mengangguk, merasa lega. “Ayo kita kembali. Teman-teman menunggu,” katanya sambil tersenyum.
Kembali ke dalam, suasana terasa lebih ceria. Mereka melanjutkan permainan, dan tawa pun menghiasi malam itu. Namun, saat Andi kembali mendekat, Raka merasakan kembali rasa cemburunya.
Andi berbisik kepada Keisha, “Kamu melakukan pekerjaan hebat dengan proyek seni itu. Aku terkesan dengan dedikasimu.”
“Terima kasih, Andi! Aku sangat bersemangat tentang hal itu,” Keisha menjawab dengan senyum, sementara Raka merasa hatinya tercekik.
Sebelum malam berakhir, Raka menarik Keisha ke samping. “Kita harus pergi sekarang. Aku tidak ingin berlama-lama di sini,” katanya dengan nada cemas.
“Tunggu, Raka. Mari kita ucapkan selamat tinggal terlebih dahulu,” Keisha membalas, merasa tidak nyaman dengan sikap Raka.
Mereka mendekati teman-teman mereka, dan sebelum pulang, Keisha meminta untuk berbicara dengan Andi sebentar.
“Hey, Andi. Terima kasih sudah datang malam ini. Aku benar-benar menghargai dukunganmu,” katanya, berusaha menunjukkan kesan baik.
“Selalu. Jika butuh bantuan, jangan ragu untuk menghubungiku,” Andi menjawab, senyumnya lebar.
Raka menatap Keisha, merasa campur aduk. Saat mereka keluar dari kafe, Keisha menyadari sesuatu.
“Raka, aku tidak ingin kita terus menerus bertengkar. Kita harus saling percaya, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu,” Keisha menekankan, berusaha menenangkan suasana.
“Aku mencintaimu juga, Keisha. Aku akan berusaha untuk lebih percaya padamu. Kita bisa melewati ini bersama,” Raka menjawab, mengambil tangan Keisha dengan lembut.
Tetapi di sudut hati Raka, rasa cemburu masih membayangi. Dia tahu mereka perlu melewati tantangan ini, dan tidak ada jaminan bahwa Andi akan tetap berada di belakang. Bagaimana mereka bisa menghadapi masa depan jika bayang-bayang masa lalu terus menghantui? Pertanyaan ini terus terngiang di pikiran Raka, membuatnya ragu akan keputusan yang telah diambil.