Hubungan asmaranya tak seindah kehidupannya. Hatinya sudah mati rasa karena selalu dipermainkan oleh para pria. Namun, seorang pria yang baru pertama kali ia jumpai malah membuat hatinya berdebar. Akankah Violet membuka hatinya kembali?
Sayangnya pria yang membuat hatinya berdebar itu ternyata adalah pria yang menyebalkan dan kurang ajar. Gelar 'berwibawa' tidaklah mencerminkan kepribadian si pria ketika bersamanya.
"Kau hanyalah gadis manja, jangan coba-coba untuk membuatku kesal atau kau akan tau akibatnya." — Atlas Brixton Forrester.
****
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
...Sebelum membaca wajib LIKE! ☺️...
...***...
Violet termenung di dalam ruangannya. Hanya terdengar suara ricuh para pelanggan di luar sana. Entahlah, hari ini ia terasa malas melakukan sesuatu.
"Sepertinya aku akan datang bulan," gumamnya sambil memegang perutnya yang terasa sedikit nyeri.
Pantas saja moodnya berubah-ubah. Violet melirik tanggalan yang ada di atas mejanya dengan malas.
"Hah, ternyata benar," lanjutnya.
Gadis dengan rambut terurai itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dia memejamkan matanya sejenak sebelum bunyi dering telepon mengagetkan nya.
Tanpa melihat nama si penelpon, Violet menjawab panggilan tersebut.
"Hm?" gumamnya menyapa.
"Nanti malam ikut aku ke pesta ulang tahun. Persiapkan dirimu."
Tut!
Violet masih mencerna apa yang dikatakan Atlas, tapi pria itu malah langsung mematikannya.
"Dia suka sekali membuatku kesal, huh!" geram Violet.
"Pesta ulang tahun? Mendadak sekali!" kesalnya lagi.
****
"Kenapa pulang?" Rachel menatap punggung Violet yang berdiri di depan lemari.
"Aku ingin mengambil gaun. Atlas mengajakku ke pesta ulang tahun temannya nanti malam," jawab Violet tanpa berbalik badan.
Rachel pun berjalan menghampiri anaknya.
"Gaun yang mana?" tanya wanita itu.
"Yang warna hitam, Mom."
Rachel mendengus mendengarnya. "Yang mana? Hampir semua gaun mu berwarna hitam!"
Violet menyengir. "Yang biasa aku pakai, Mom. Biasanya aku letakkan di sini, kenapa tidak ada ya?" Violet kembali mengobrak-abrik lemarinya.
Rachel berdecak melihat kelakuan anaknya itu. "Minggir! Biar Mommy yang carikan!" Dia menggeser tubuh Violet agar sedikit menyingkir dari sana.
Violet melihat apa yang mommy nya lakukan. Dia berharap Rachel tak menemukan gaun yang dia maksud, kalau sampai ketemu, bisa-bisa —
"Ini apa?! Makanya kalau mencari sesuatu itu pelan-pelan, jangan tergesa-gesa!" Rachel membuka lebar gaun yang dimaksud Violet ke depan mata putrinya, agar gadis itu bisa melihatnya dengan jelas.
Lihat, jurus seorang ibu adalah menemukan apa yang tidak anaknya temukan. Violet menyengir, dia mengambil gaun tersebut lalu mencium pipi mommy nya.
"Terimakasih mommy ku sayang..."
Rachel mendengus. "Memangnya, di mana pesta itu dilakukan?" tanyanya.
"Tidak tau. Atlas tidak memberitahu lokasinya," jawab Violet.
Rachel mengangguk. "Ya sudah, tak apa. Mommy percaya Atlas tidak menyakiti mu," katanya sambil menepuk pundak anaknya.
Bibir Violet mencebik. Tidak mommy tidak temannya, semuanya sangat percaya dengan Atlas!
"Aku pulang sekarang." Violet mengambil tote bag mahalnya untuk menyimpan gaun tadi.
"Pulang ke mana? Rumahmu di mana memangnya?!" sindir Rachel.
"Dimana-mana hatiku senang~" Violet melangkah keluar sambil bersenandung.
"Kurang ajar!" desis Rachel.
Ya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
****
Atlas menatap datar seseorang yang diikat di kursi di depannya.
Di belakang Atlas ada asisten sekaligus orang yang dia percayai. Magma namanya.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Atlas. Suaranya begitu pelan namun terkesan mengintimidasi.
"Jawab!" seru Magma mewakili Atlas.
"Sampai mati pun, aku tidak akan memberitahunya!" jawab si pria yang diikat di sebuah kursi. Dia adalah penguntit yang mencelakai Violet kemarin. Tentu saja Atlas tidak akan membiarkan orang itu lari. Alih-alih membawanya ke rumah sakit, Atlas malah menyuruh Magma untuk membawa pria itu ke ruang bawah tanah.
Magma sudah emosi. Ingin sekali dia menembak mati pria biadab itu. Berbeda dengan Magma, Atlas terlihat lebih santai. Menghadapi lawan yang licik bukanlah dengan kekerasan atau emosi.
"Bos mu membayar mu berapa? Jaminan hidup dan keamanan keluarga?" Atlas mengangkat sebelah alisnya.
Mendengar hal itu, si penguntit jelas marah. Dia tak menyangka kalau tebakan Atlas benar.
"Jangan sakiti keluargaku!"
"Kalau begitu, katakan siapa bos mu!" Magma balas berteriak. Dia tak segan karena Atlas menyuruhnya bersikap biasa saja. Itulah yang membuat Magma betah bekerja dengan Atlas. Bos nya berbeda dengan orang lain. Atlas memandangnya seperti teman, bukan bawahan.
Hening beberapa detik. Atlas dan Magma menatap pria di depan mereka, menunggu dia menjawab.
"Kau memilih keluargamu hancur, ya?" sinis Magma.
"Jika aku mengatakannya, apa kalian akan melindungi keluargaku dari orang itu?"
Mencoba bernegosiasi tidak ada salahnya juga kan?
"Bedebah sialan! Besar juga nyali mu," ujar Magma.
"Katakan," titah Atlas.
"Berjanjilah padaku bahwa kalian akan melindungi keluargaku, maka aku akan mengatakan semuanya!"
"Baiklah. Siapa yang menyuruhmu?" Atlas bertanya lagi. Raut wajahnya tetap terlihat datar.
"Mr. Lonan—"
Dor!
Atlas meniup ujung pistolnya setelah berhasil menembakkan peluru tepat di dada si penguntit.
Informasi apapun, jika Atlas yang menyelidiki, pasti akan terbongkar semuanya. Dia hanya menggertak lawannya agar jujur, tapi penguntit itu memilih tetap mengabdi dengan bosnya. Tentu Mr. Lonan bukanlah dalangnya, Atlas tau itu.
Andai si penguntit jujur, maka Atlas benar-benar membebaskannya dan melindungi keluarganya. Tapi, pria itu malah memilih jalan lain menuju neraka.
"Urus mayatnya." Atlas beranjak dari sana setelah berucap pada Magma.
"Baik!"
Atlas Brixton Forrester bukanlah pria yang baik seperti apa yang orang-orang katakan. Dia juga bisa berubah menjadi monster yang mengerikan dan ditakuti oleh semua orang.
****
"Lama tidak bertemu, kau makin seksi saja."
"Astaga! Apakah dia benar-benar Atlas?!"
"Jangan keras-keras, dia bisa ilfeel nanti."
"Ah, aku baru menyadari kalau yang memiliki pesta ini adalah teman Atlas Forrester!"
"Tampan sekali! Sangat cocok denganku!"
"Bermimpi lah setinggi mungkin! Atlas sudah bertunangan dengan gadis yang lebih cantik darimu. Lihatlah gadis yang berjalan di sampingnya."
"Aku hampir lupa! Ternyata mereka sangat serasi, ya."
Bisikan para wanita mengiringi langkah tegas Atlas dan langkah anggun Violetta. Mereka berjalan beriringan menuju teman Atlas yang berkumpul dengan temannya yang lain.
"Eyyoww! Atlas Forrester!" seru Grey si pemeran utama malam ini.
Pria konyol itu memeluk Atlas ala laki-laki. Mereka berteman sejak pertama kali masuk SMA, jadi tak ada canggung diantara mereka meskipun Atlas adalah orang kaya dan terkenal.
"Selamat ulang tahun," kata Atlas dengan datar. Tidak ada nada antusias sedikitpun. Untungnya Grey memahami hal itu.
"Ya, terimakasih!" jawab Grey. Pria itu beralih menatap Violet yang tersenyum simpul.
"Selamat ulang tahun....?"
Grey menyalami tangan Violet yang terulur. "Grey, namaku Grey."
"Selamat ulang tahun, Tuan Grey," ucap Violet sembari tersenyum.
"Terimakasih sudah meluangkan waktumu untuk datang ke pestaku, Nona," balas Grey. Dia tersenyum lebar.
"Hey, lepaskan tangannya atau singa akan mengamuk nanti!" seru teman-temannya.
Grey melirik Atlas dan langsung melepaskan jabatan tangannya dengan Violet. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Atlas, namun, tatapan datar mengintimidasi dari mata pria itulah yang membuat Grey merasa sedikit takut.
"Hanya berkenalan, aku tidak mungkin menikung temanku sendiri, kan?" Grey menepuk pundak Atlas sambil menyengir lebar.
Bukannya menjawab, Atlas malah melirik Violet. Violet yang paham akan lirikan tersebut pun segera membuka tas kecil yang dia bawa. Gadis itu mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam yang dihiasi pita berwarna putih.
"Kado dari kami berdua, semoga kau suka," ucap Atlas. Violet pun menyerahkan kotak itu pada Grey yang terlihat syok.
Sebenarnya yang membeli kado itu adalah Atlas, namun pria itu malah mengatakan demikian. Awalnya Violet hendak membeli kado juga, tapi Atlas melarang.
"Astaga... Tidak perlu repot-repot seperti itu. Aku jadi semakin tak segan padamu." Grey menerima kadonya dengan bibir menyengir lebar.
Plak!
"Ingat umur! Kau sudah tua, Grey!" seru Massimo, salah satu komplotan Atlas dan Grey.
Grey melirik sinis temannya tersebut. "Kau pasti iri, kan?" katanya.
Massimo hanya tertawa tak jelas.
Grey kembali menatap Atlas dan Violet. "Terimakasih banyak. Pasti kado ini sangat mahal," ujarnya. "Kalau begitu, silakan kalian nikmati hidangan yang ada. Terimakasih sudah datang," lanjut Grey.
"Terimakasih kembali," balas Violet. Sedangkan Atlas hanya berdehem singkat. Keduanya pun segera berlalu dari sana.
"Banyak sekali makanan mewah," gumam Violet.
"Kau boleh makan sepuasnya. Ambil yang kau mau," ucap Atlas.
Tentu, itu sudah pasti. Violet pun mengambil beberapa makanan yang ada di sana.
***
kalau ky gitu mlah mirip binaragawan