Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 : Melarikan Diri
Raisha mengikuti Arya dengan langkah ringan dan waspada, dengan cekatan kedua tangannya bergerak memeriksa pistol memastikan pelurunya masih ada. Mereka mendekati pintu perlahan, dan Arya meraih kenopnya lantas membukanya segera.
Di balik pintu, dalam cahaya remang, beberapa meter berdiri sosok perempuan paruh baya. Raisha ingat, itu adalah perempuan yang Arya anggap bibinya sendiri, mengenakan gaun panjang berwarna pucat.
Perempuan itu berbalik dengan senyum yang nyaris dingin, membingkai wajahnya yang terlihat kosong.
Ada sesuatu yang tidak biasa dalam tatapannya, sesuatu yang membuat Raisha berhenti sesaat untuk mengamati dengan seksama.
"Halo, Raisha. Sudah makan?" tanya perempuan itu, suaranya terdengar normal namun menyimpan ketenangan yang entah mengapa terasa ganjil.
Raisha sekilas melirik Arya sebelum menjawab, "Belum, Bibi," katanya sambil cepat memasukkan pistolnya ke balik jaket hoodie-nya lagi.
Bibinya tersenyum, senyum tipis yang tetap dingin. Kemudian mengundang mereka, "Ayo, kita makan bersama."
Mereka berjalan menuju ruang makan, dengan bibinya berjalan beberapa langkah di depan mereka. Arya berusaha menormalkan tatapannya, meski otaknya tidak berhenti mencari-cari penjelasan atas perilaku aneh ini.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di ruang makan. Begitu mereka duduk di meja makan, Raisha merasa semakin canggung, tetapi mencoba tetap tenang.
Di tengah suasana yang sunyi itu, perempuan itu tiba-tiba menatap kalung bermata kotak metal yang dikenakan Raisha, tatapannya tampak terpaku pada sinar mengkilap yang memantul dari kemilau logam di kalung itu.
"Kalungmu indah sekali, Raisha. Terlihat mengkilap," ucap bibinya tanpa mengalihkan pandangan. "Boleh bibi lihat lebih dekat?" lanjutnya dengan nada yang lembut tapi tegas. "Kamu bisa letakkan saja di atas meja," tambahnya dari jarak yang tidak biasa, seakan enggan mendekat.
Raisha sempat ragu, tapi dia segera menepis perasaan itu. Tangannya mulai bergerak untuk melepaskan kalung itu. Namun, dari sudut matanya, Arya memberikan isyarat samar dengan gelengan kecil, seolah melarang Raisha melakukannya.
Arya segera mengambil alih, mencoba bicara dengan cara diplomatis, "Kalung itu sebenarnya cukup penting bagi kondisi tubuh Raisha, Bibi. Lebih baik dia memakainya terus."
Reaksi perempuan itu mengejutkan mereka berdua. Senyum yang semula tersungging tiba-tiba menghilang, tergantikan oleh ekspresi datar yang tegang. Perempuan itu hanya menunduk dan melanjutkan makan dengan gerakan yang anehnya tampak mekanis. Sementara itu Raisha berhenti makan dan menunduk mengambil sesuatu dari saku jaketnya.
Arya diam-diam melirik ke arah jendela di sisi ruang makan yang mengarah ke halaman depan. Dari sana, ia melihat mobil Raisha yang terparkir di luar tiba-tiba mulai bergerak perlahan, berbalik arah dan meninggalkan halaman tanpa ada yang mengemudikan.
Arya menoleh ke arah Raisha, berniat mengatakan sesuatu, tetapi ia mendapati Raisha tengah mengoperasikan ponselnya secara diam-diam.
Melihat itu Arya memilih tidak mengatakan apa-apa dan melanjutkan makan dengan tenang, namun suasana menjadi semakin mencekam dengan hening yang terasa membebani.
Beberapa saat kemudian mobil lain terlihat datang ke halaman rumah Arya. Suaranya begitu halus, seperti mobil berpenggerak listrik. Arya dan Raisha sama-sama menajamkan mata.
Keduanya menatap ke arah jendela. Dari mobil itu, keluar seorang pria tinggi besar, wajahnya samar-samar terlihat dari balik bayang-bayang lampu luar.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba bunyi tembakan keras menggema di udara, diikuti oleh jeritan seorang pria. Suaranya tak asing di telinga mereka.
Dengan cepat, Arya bangkit dari kursinya, begitu juga Raisha, seraya kembali mencabut pistolnya dan memegangnya erat. Sementara itu, bibinya tetap duduk di tempatnya tanpa menunjukkan reaksi apa pun terhadap suara tembakan tadi, ekspresinya masih kosong dan dingin. Arya semakin curiga bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres dengan bibinya.
Raisha menatap Arya sekilas, namun tetap siaga, pistol di tangannya terangkat sedikit.
"Raisha, saya ingin melihat kalungmu," suara bibinya kembali terdengar, kali ini dengan nada lebih dingin, nyaris seperti perintah. "Letakkan kalungmu di meja," katanya lagi, tatapannya tajam.
Arya membisikkan, “Itu bukan bibi. Sepertinya dia sekarang di bawah kendali gelombang itu.”
Raisha mengangguk, namun tetap siaga, matanya tak lepas dari perempuan itu yang kini menatapnya dengan sorot penuh intensitas yang mengancam. Raisha perlahan bergerak mendekati pintu, berniat memastikan siapa yang ada di luar dan apa yang sedang terjadi di halaman rumah Arya. Untuk melakukannya, ia terpaksa harus berjalan lebih dekat dengan perempuan itu.
Saat Raisha bergerak mendekat, perempuan itu berdiri dan segera mundur beberapa langkah, seperti menjaga jarak dari Raisha. Raisha tersadar bahwa perempuan itu mungkin dikendalikan kesadaran lain yang sudah mengetahui fungsi sebenarnya dari kalung itu.
“Cepat lepaskan kalung itu, dan letakkan di atas meja!” perintah perempuan itu dengan tatapan marah.
"Tidak," jawab Raisha, suaranya tegas. "Aku tidak akan pernah melepasnya."
Perempuan itu memandang Raisha tajam, tatapannya begitu dalam seakan ingin menguasai atau memanipulasi pikirannya.
Arya segera mengambil kesempatan untuk mendahului Raisha, melangkah ke arah pintu untuk segera menguncinya rapat-rapat. Dia juga sempat melihat siapa pria yang tertembak dan terkapar di luar jendela.
Arya berhasil mengunci pintu itu. Tetapi, ketika baru beberapa meter Arya menjauh dari pintu, pria tinggi besar tadi mendobraknya dengan sekali hentak, hingga pintu kayu itu terhempas keras dan terbuka lebar, rusak tak berbentuk.
Raisha dan Arya serentak berbalik, melihat sosok pria besar itu berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan pandangan tajam yang penuh ancaman.
Raisha segera mengangkat pistolnya, siap menghadapi serangan. Tetapi pria itu tetap diam di tempat, hanya menatap Raisha dengan senyum yang tak kalah dingin dari ekspresi perempuan tadi.
Sunyi yang menegangkan itu seakan menggantung di udara, sementara Raisha dan Arya sama-sama menunggu langkah berikutnya dari pria besar itu.
Raisha menodongkan pistol ke arah laki-laki tinggi besar itu, matanya menyipit, mengukur setiap pergerakannya. Pria itu, siaga sepenuhnya, hanya mengamatinya balik tanpa satu kata pun.
Dalam ketegangan yang melumpuhkan ruangan, Raisha menurunkan arah pistolnya sedikit ke bawah. Pria itu, seolah menyadari situasi dengan insting tajam, mulai melirik cepat ke sekeliling, mengantisipasi serangan yang mungkin tak terduga.
“Bibi, mundur!” teriak Arya. Namun perempuan malah tersenyum mengerikan.
Tiba-tiba, pria itu melesat cepat ke arah Raisha, memaksanya mengambil langkah cepat ke belakang. Arya, panik melihat itu, dia segera berlari mundur sambil berteriak, “Raisha, Bibi, lari!”
Saat itu tiga kali tembakan terdengar. Arya melirik ke belakang dan dia melihat bibinya terjatuh, sementara Raisha bersembunyi di balik rak-rak.
Arya merasa ada dorongan kuat pada kaki-kakinya untuk kembali. Dia pun bergerak tangkas ke arah bibinya yang terjatuh. Rasiha berusaha melindungi Arya dengan mengalihkan perhatian laki-laki monster penyusup itu. Gadis itu segera melemparkan sebuah rongsokan elektronik ke arah laki-laki itu sambil melepaskan tembakan ke arah kaki penyusup itu.
Penyusup itu terjatuh, tapi seakan tak peduli pada rasa sakit, dia kembali bangkit. Arya segera membopong bibinya yang ternyata masih hidup.
Mereka dengan cepat memasuki ruang penyimpanan prototipe milik Arya tadi, dan Arya segera menyuruh Raisha mengunci pintu sekalian meraih sebuah tas besar untuk diisi dengan barang-barang dan peralatan penting.
Setelah itu, Arya menyuruh Raisha membuka sebuah pintu kecil yang tersembunyi di belakang sebuah rak. Pintu kecil itu menuju sebuah tangga yang mengarah ke bawah dan suasananya terlihat sangat gelap.
“Ini jalan kemana?” tanya Raisha.
“Jalur bawah tanah,” jawab Arya sambil membopong bibinya yang merintih kesakitan.
Raisha sigap mengeluarkan sebuah senter dari tas besar Arya lalu menyalakanya dan membiarkan Arya membawa bibinya lebih dulu menuruni tangga menuju lorong bawah tanah. Setelah itu dia menyusul Arya dan dengan sigap mengunci pintu lorong bawah tanah itu.
Arya bergerak maju. Dia bergerak membopong bibinya dengan langkah cepat dan terengah-engah.
“Arya, Arya, apa yang terjadi?” tanya bibinya, parau.
“Tidak apa-apa Bi, kita pasti selamat, kita pasti selamat,” kata Arya dengan suara gemetar.
Mendengar itu, Raisha merasakan kesedihan muncul membebani dadanya. Gadis itu menggendong tas Arya. Sementara lampu senter dan pistol tetap dalam genggaman tangannya untuk berjaga-jaga. Dia terus mengikuti pergerakan Arya di lorong gelap itu hingga ujung.
Di ujung lorong itu terdapat tangga dan di atas tangganya terdapat pintu keluar.
Raisha menyusul dan naik lebih dulu. Setelah Raisha, Arya menyusul menaiki tangga itu. Saat itu dia menyadari bibinya tak sadarkan diri.
Arya berhenti. Di tengah tangga naik, Arya mencoba memeriksa urat nadi bibinya. Beruntung masih tetap berdenyut. Arya kembali naik dengan terengah-engah. Sementara itu Raisha membuka pengunci kemudian pintu itu terbuka. Seketika cahaya siang menyilaukan langsung menyambut mereka.
Setelah keluar mereka berdiri di pinggir jalan yang sunyi. Raisha, tak membuang waktu. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan beberapa detik kemudian, mobil hitam yang dikendalikannya meluncur ke arah mereka dalam kecepatan tinggi.
Begitu mobil berhenti, Arya segera memasukkan bibinya ke jok tengah mobil. Arya memeriksa kondisi bibinya sekali lagi. Begitu mengetahui bibinya masih hidup dia bernapas lega.
“Aku akan mencoba menanganinya,” kata Raisha tegas dan pasti.
Raisha segera ke belakang menuju bagasi mengeluarkan obat-obatan dan peralatan medis darurat dari tasnya yang tersimpan di sana.
“Aku pernah ikut pelatihan medis darurat, termasuk cara mengeluarkan peluru dan menghentikan pendarahan.” Kata Raisha sambil bergerak cepat.
Arya mengangguk, sementara Raisha segera menyobek baju di bagian tubuh yang terluka. Bibi Arya tertembak di bagian lengan atas. Raisha segera membersihkan luka itu dan melumurinya dengan lidokain untuk pembiusan lokal.
Raisha mengambil napas dalam-dalam, fokus pada tugas yang ada di hadapannya. Dengan tangan mantap, gadis itu menyusun peralatan medis yang ada, lalu memilih instrumen pertama.
“Arya, tolong pegang erat dan pastikan bibi tetap tenang,” perintah Raisha, suaranya tegas meskipun ada sedikit getar di dalamnya.
Arya, meskipun khawatir, mengikuti instruksi Raisha. Ia menggenggam tangan bibinya dengan lembut, berusaha memberikan dukungan emosional. “Bibi akan baik-baik saja. Raisha tahu apa yang dia lakukan,” ucap Arya.
Bibinya masih terpejam, namun sesekali mata perempuan separuh baya itu mengerjap.
Dengan hati-hati Raisha mulai menggunakan pinset untuk mengangkat ujung peluru yang menonjol dari luka.
“Aku harus bekerja cepat,” ujarnya, mencoba menenangkan suasana yang tegang. “Ini akan terasa sedikit sakit.”
Setelah memastikan bahwa tidak ada benda asing lain di dalam luka, Raisha beralih untuk mengeluarkan peluru. Ia menekan sekitar luka dengan lembut, mencoba memaksakan peluru keluar dengan hati-hati.
“Bibi harus tetap fokus. Jika Bibi merasa pusing atau kesakitan, beritahu aku,” tambahnya begitu melihat bibi Arya siuman dan mengaduh.
Dengan sekali dorong yang mantap, Raisha berhasil menarik keluar peluru yang bersarang di dalam lengan bibi. “Got it!” teriaknya, senang sekaligus lega. Arya ikut tersenyum melihat itu. Namun, seiring dengan itu, darah mulai mengalir deras.
“Tidak! Ini belum selesai!” tegas Raisha.
Raisha segera menggunakan kain bersih untuk menekan luka, berusaha menghentikan pendarahan. Ia tahu bahwa waktu adalah kunci dalam situasi ini.
“Arya, ambil kain tambahan dan tekan di sini! Kita perlu menghentikan pendarahan ini sekarang!”
Arya melakukannya tanpa ragu, tetapi wajahnya menunjukkan betapa cemasnya dia.
“Apa kamu yakin bisa melakukannya, Raisha?” tanyanya, penuh harap.
“Aku akan melakukannya,” jawab Raisha dengan penuh keyakinan, meskipun rasa takut menggelayuti pikirannya.
Dengan hati-hati, Raisha mulai menjahit luka, mengawasi setiap gerakan untuk memastikan bibi Arya tetap stabil.
“Ini mungkin sedikit menyakitkan, tapi kita pasti bisa melewatinya,” Raisha mencoba menenangkan suasana sambil fokus pada jahitan demi jahitan yang membentuk pola di kulit.
Bibir bibi Arya bergetar, dan Raisha bisa melihat air mata mengalir di sudut matanya.
“Bibi pasti kuat,” ucap Raisha.
Setelah menjahit, Raisha menempatkan perban di atas luka, menekannya dengan lembut. “Selesai,” kata Raisha. Merasa lega, bibi Arya pun bernapas lebih tenang.
“Arya, pamanmu mana?” tanya bibi kepada Arya.
Arya terdiam. Ketika Arya baru saja akan berkata tiba-tiba sebuah ledakan besar menggelegar dari arah belakang mereka. Arya dan Raisha menoleh bersamaan. Mereka melihat api dan kepulan asap yang membubung tinggi di kejauhan.
“Paman!” teriak Arya, sedikit tertahan. Dia menelan ludah, tak mampu memalingkan matanya. Raisha, yang masih menatap puing-puing terbakar itu dari kejauhan, hanya bisa menghela napas panjang.
“Dia meledakkan rumahku,” ucap Arya pelan.
Bibi Arya tampak memejamkan mata. Di tengah rasa sakit luka tembaknya, sepertinya perempuan itu mencoba berdamai dengan firasat buruk yang tiba-tiba menyergapnya.
Sementara itu Raisha merasa mereka harus segera pergi, dia pun berkata, “Arya, kita harus segera menjauh dari orang itu, sepertinya orang itu sangat berbahaya.”
Arya tersadar dan dia hanya mengangguk seraya masuk ke jok depan.
Raisha menyusul. Begitu Raisha duduk menghadap kemudi, mobil segera melaju , meninggalkan tempat itu sejauh yang mereka bisa, meski belum tahu akan ke mana.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!