Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Setelah berhasil melarikan diri dari rumah mereka, Aisyah dan Delisha akhirnya menemukan perlindungan sementara di sebuah gedung tua yang nyaris runtuh. Dinding-dindingnya kusam, retak-retak dan ditumbuhi lumut, menambah kesan seram pada tempat itu. Langit-langitnya bocor, membuat udara dingin masuk dengan bebas, sementara sisa-sisa hujan turun perlahan dari lubang-lubang di atap.
"Apa menurutmu kita aman di sini?" bisik Aisyah, matanya yang lebar dan berkilat menatap sekeliling dengan cemas. Rambut hitamnya yang panjang kini kusut dan lengket oleh keringat serta debu. Ia memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menahan gemetar yang semakin sulit disembunyikan.
Delisha, dengan mata yang sayu dan napas yang tak beraturan, menatap ke luar jendela retak di hadapannya. "Aku nggak tahu, Syah," jawabnya pelan, suaranya hampir hilang di antara hembusan angin dingin yang menerpa. "Tapi ini lebih baik daripada di luar sana, bukan?"
Mereka berdua duduk di lantai yang dingin dan berdebu, mendengar derit pintu yang tertiup angin serta suara geraman zombie dari kejauhan. Setiap gerakan di luar sana membuat mereka menegang, berjaga-jaga, seperti hewan yang terjebak dalam sangkar.
Aisyah menyeka keringat dari dahinya, meski udara di dalam gedung itu semakin menusuk kulit. "Kenapa semua ini terjadi?" pikirnya dengan frustrasi. "Apa kita nggak akan pernah aman lagi?"
Suara langkah berat dari zombie yang berkeliaran di luar semakin mendekat. Pintu-pintu kayu tua di sekitar mereka berderit seakan-akan akan roboh kapan saja. Ketegangan menggantung tebal di udara, dan napas keduanya kini terdengar lebih cepat dan lebih pendek.
"Kita nggak bisa tinggal di sini selamanya," ucap Aisyah tiba-tiba, suaranya bergetar di antara ketakutan dan kepanikan yang mulai tak terkendali.
Delisha menoleh, wajahnya penuh dengan kecemasan. Tangannya yang pucat mencengkeram lututnya erat. "Tapi kita nggak punya pilihan lain. Di luar sana lebih buruk."
"Aku tahu," Aisyah mendesah panjang, matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan dirinya. "Tapi… kalau mereka berhasil masuk ke sini? Apa kita bisa keluar dengan hidup?"
Di tengah keheningan yang mencekam, Aisyah membuka ponselnya, berharap bisa mendapatkan kabar atau sinyal dari dunia luar. Layarnya retak namun masih menyala. Namun, setelah beberapa kali mencoba, harapannya hancur. "Nggak ada sinyal…" gumamnya putus asa.
"Mungkin jaringan teleponnya rusak... atau semua orang sudah mati?" Delisha menambahkan, suaranya penuh dengan kecemasan. Matanya yang sayu tak bisa menyembunyikan rasa takut yang ia rasakan.
"Jangan ngomong gitu!" balas Aisyah dengan cepat, suaranya serak dan penuh ketakutan. Dalam hatinya, ia pun merasakan hal yang sama, namun menolak untuk mengakuinya. "Nggak, pasti ada orang yang selamat di luar sana. Harusnya begitu..." pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Delisha menghembuskan napas panjang, mengusap wajahnya yang lelah dengan tangannya yang kotor. "Jadi... kamu pikir ini cuma terjadi di sini, di kota kita, atau mungkin... di seluruh dunia?"
"Aku nggak tahu, Delisha... Tapi rasanya ini lebih dari sekadar wabah biasa," jawab Aisyah, suaranya penuh dengan kebingungan. Matanya berkaca-kaca, seakan pertanyaan itu tak hanya mengguncang pikirannya tapi juga memukul perasaannya. "Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana?"
Delisha terdiam sejenak, pandangannya kosong. "Kalau memang seluruh kota sudah terinfeksi, kita... kita mungkin nggak akan pernah bisa keluar dari sini." Jantungnya berdetak kencang, dan ia merasa sesak di dada. "Apa kita akan mati di sini?" pikirnya, ketakutan mulai menjalar dalam setiap sudut benaknya.
"Aku nggak mau mati di sini," bisik Aisyah perlahan, menggigit bibirnya hingga hampir berdarah.
Saat malam semakin larut, Delisha melangkah mendekati jendela yang retak. "Mungkin kita harus memeriksa keadaan di luar," gumamnya, suaranya penuh keraguan.
Aisyah mengangguk ragu, lalu mengikuti dari belakang. Mereka berdua berdiri di tepi jendela yang sudah pecah, menatap keluar ke arah jalan yang hancur. Mata mereka membulat seketika saat melihat pemandangan yang menakutkan di luar sana.
"Astaga..." Delisha terengah-engah, tangannya gemetar saat ia berusaha menahan ketakutannya. Sekelompok zombie bergerak perlahan menuju gedung tempat mereka bersembunyi. Jumlah mereka tampaknya terus bertambah, lebih banyak dari sebelumnya. Mereka bergerak lambat tapi pasti, seperti binatang buas yang tidak akan pernah berhenti berburu.
"Delisha... mereka semakin mendekat," suara Aisyah nyaris tercekat, penuh dengan kepanikan yang ia coba tahan.
Delisha menatapnya dengan wajah pucat. "Kita nggak bisa bertahan di sini lebih lama lagi," bisiknya dengan suara serak, tangannya mencengkeram jendela yang dingin.
"Apa kita harus lari lagi?" Aisyah berbisik, namun pikirannya sudah berlari ke berbagai arah. "Apa kita punya waktu? Atau ini akhirnya?"
Suara langkah zombie semakin dekat, menyeramkan, menghantui. Mereka tahu keputusan besar harus segera diambil. Apakah mereka harus tetap bertahan di tempat itu, atau melarikan diri sebelum semuanya terlambat?
Namun, sebelum mereka bisa membuat keputusan, terdengar suara keras—suara pintu yang terbanting dari lantai bawah. Jantung mereka serasa berhenti sejenak. "Mereka sudah di dalam!" batin Aisyah, matanya melebar dalam ketakutan.
"Syah... kita harus pergi sekarang!" teriak Delisha, tangannya sudah meraih pergelangan tangan Aisyah, siap untuk berlari. Tapi... apakah mereka akan bisa melarikan diri sebelum semuanya terlambat?
******
Setelah berhasil lolos dari kejaran zombie yang seolah tak kenal lelah, Gathan menemukan perlindungan sementara di sebuah gedung apartemen tua yang sudah lama tak berpenghuni. Cahaya matahari yang redup menembus celah-celah jendela yang pecah, menyinari dinding berlumut dan lantai berdebu. Tempat itu berbau lembap, dan udara di dalamnya terasa berat, seolah-olah waktu di gedung ini telah berhenti sejak lama.
Gathan menarik napas panjang, punggungnya bersandar di dinding, dan dia merasakan keletihan menjalar di seluruh tubuhnya. Tangan kasarnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena adrenalin yang masih berdesir di nadinya. "Aku nggak bisa terus-terusan lari kayak gini," pikirnya, keningnya berkerut dalam kekhawatiran yang tak kunjung hilang.
Mata Gathan tertuju pada sebuah radio tua di sudut ruangan yang tampak masih bisa berfungsi. Sebuah harapan kecil muncul di benaknya. "Mungkin aku bisa mendapatkan kabar soal keadaan di luar sana," pikirnya sambil melangkah mendekat, tangannya cepat-cepat memutar tombol pencari gelombang. Suara statis mendesis, menggema di dalam ruangan yang kosong.
"Ayo, ada siapa pun di sana?" gumam Gathan, giginya menggertak karena frustasi. Jari-jarinya terus memutar-mutar tombol, berharap ada suara manusia yang bisa memberinya kejelasan.
Namun, hanya suara gangguan statis yang ia dapat. Tak ada berita, tak ada suara orang. Hanya keheningan yang dipecahkan oleh desisan yang memekakkan telinga.
"Ini gila. Apa benar-benar nggak ada orang yang selamat?" pikirnya, matanya yang tajam menyipit, memandang kosong ke layar radio yang berdebu. Kepalanya terkulai, penuh dengan rasa putus asa. "Apa aku satu-satunya yang masih hidup?"
Sambil duduk di lantai yang dingin, pikirannya mulai berkelana. Berbagai pertanyaan tak terjawab mengisi benaknya, seperti awan gelap yang tak kunjung hilang. "Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Apakah ini cuma wabah biasa? Virus? Atau ada sesuatu yang lebih… mengerikan?" Jantungnya berdetak keras, mengingat kembali film-film horor yang dulu pernah ia tonton. "Apa ini semua karena eksperimen gila? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih supranatural di balik semua ini?"
Suaranya bergema di kepalanya, tapi tidak ada jawaban. Hanya kebingungan yang semakin menekan.
"Jasmine..." gumamnya pelan, meraih ponsel dari sakunya. Layar ponsel yang retak hanya menambah kegelisahannya. Ia sudah mencoba berkali-kali, tetapi tak ada satupun panggilannya yang terhubung. Jari-jarinya yang gemetar kembali menekan nomor Jasmine, berharap kali ini bisa mendengar suaranya. Tapi hasilnya tetap nihil. "Tolong, Jas. Angkat teleponnya," pikirnya dengan cemas, namun tetap tak ada respon.
Wajahnya mengeras, menahan rasa takut yang semakin menyelimutinya. "Apa Jasmine baik-baik saja? Apa dia masih hidup? Di mana dia sekarang?"
Tatapannya mulai kosong, pandangannya tertuju pada ponsel yang sudah tak ada gunanya. Ia merasa semakin terisolasi, semakin terjebak dalam ketidakpastian. "Kenapa kita harus berpisah? Kenapa aku nggak bisa menemukan dia?" pikirnya, kepalanya terbenam di kedua tangannya, dadanya sesak dengan kekhawatiran yang menumpuk.
Keheningan yang selama ini hanya diiringi oleh suara statis radio tiba-tiba dipecahkan oleh sesuatu yang berbeda. Gathan menegakkan tubuhnya, napasnya tertahan ketika dia mendengar suara ketukan dari lantai bawah. Ketukan itu aneh, teratur, dan terdengar jelas di dalam gedung yang kosong.
Telinganya waspada, berusaha menangkap lebih banyak suara. "Apa itu? Zombie?" pikirnya, matanya melebar dalam kekalutan. Namun suara itu tidak seperti geraman zombie yang sebelumnya ia dengar. Ketukan itu lebih terarah, lebih manusiawi. Atau setidaknya, dia berharap begitu.
"Atau mungkin seseorang yang selamat?" harapnya, meski hatinya menolak terlalu optimis.
Dengan hati-hati, Gathan berdiri. Jantungnya berdebar keras, seolah bisa terdengar oleh siapa pun yang ada di luar sana. Dia mencoba menenangkan pikirannya, tapi ketakutan mulai menguasainya. "Apa aku harus memeriksanya?" Otot-otot di tubuhnya tegang, dia tahu ini keputusan besar. Di satu sisi, mungkin ada seseorang yang bisa membantunya, atau... mungkin juga jebakan yang akan membawanya ke kematian.
Namun sebelum dia bisa memutuskan, ketukan itu berubah menjadi dentuman. Sesuatu atau seseorang mencoba masuk dengan lebih keras.
Gathan menggigit bibirnya, tangannya meraih pisau kecil yang dia bawa dari sebelumnya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Apa pun itu, aku harus siap," pikirnya, otot rahangnya menegang. Dia melangkah maju, semakin mendekati sumber suara.
Saat dia semakin dekat, suara itu terdengar lebih jelas. Tangannya bergetar, dan dia berhenti tepat di depan pintu tangga. "Apa yang ada di balik pintu ini?" dia bertanya dalam hati, keringat membasahi telapak tangannya.
Ketegangan menggantung tebal di udara, dan sebelum dia bisa mengambil keputusan akhir, suara lain yang lebih lembut namun tak kalah menyeramkan muncul—suara langkah kaki yang perlahan mendekat dari belakangnya.
"Astaga..." gumamnya, matanya membelalak. Apa yang ada di belakangnya kini?