Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.
Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.
Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 Februari 2001
Minggu, 25 Februari 2001.
Raga berada di rumahku sejak pagi hingga sore. Aku merasa saat itu dia sengaja, seakan menunggu sesuatu. Dapat kusimpulkan demikian sebab sikapnya terlihat gelisah dan sebentar-sebentar melihat ke luar. Bahkan saat Bapakku pulang, dan terdengar suara pagar dibuka, cowok itu melompat lebih dulu untuk memastikan ke depan.
“Kenapa sih, Mas?” Aku menatapnya kebingungan.
“Hah? Ng... nggak pa-pa. Kirain tamu, ternyata Bapakmu.”
Keningku mengerut tajam. “Minggu begini siapa mau bertamu? Orang juga tahu kalau kantor tutup,” gumamku lirih.
Dia memamerkan deretan giginya yang bersih dengan satu gingsul kecil tumbuh di atas gigi taring.
Bapak pulang membawa makan siang, kiriman dari Ibu. Kami bertiga menyantap makanan tersebut bareng-bareng di satu meja makan. Si anak orang kaya tampak lahap, walau lauknya cuma sayur asem dan botok tempe. Mengenai cita rasa—aku akui, masakan Ibuku dijamin tak pernah gagal. Akan tetapi, lauk demikian tetap saja tergolong sangat sederhana untuk orang sekelas Raga.
“Maaf ya, Mas... seadanya,” kataku dengan sungkan.
“Ish, ini mah lebih dari cukup, Dek.”
“Tapi Mas Raga pasti biasa makan yang enak-enak.”
Raga terkekeh lirih, lalu menyeruput air dalam gelas yang kusediakan. Selesai menandaskan separuh isi gelas, cowok itu berkata penuh filosofi. “Mau seenak apapun makanan, kalo nggak ada selera ya nggak akan terasa enak.”
Aku menanggapinya dengan senyum.
Selesai makan, aku salat zuhur. Kutinggalkan Raga berbincang bersama Bapak di halaman belakang. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepintas kudengar tentang ikan. Sepertinya membahas isi kolam di rumahku yang memang mubazir tempat.
Menurut Raga, kolam yang isinya Koi itu jangan hanya lima ekor. Kolamnya lumayan besar, bisa ditambah sepuluh ekor lagi. Lalu, gurami jangan dipelihara terlalu lama. Kalau ketuaan, dagingnya kurang lezat.
Padahal, umur tuh gurami sudah 10 tahun lebih. Dia sudah ada di akuarium toko sejak aku masih kecil. Dipindah ke kolam karena kami menempati rumah Srindit tersebut. Daripada kolamnya kosong, si gurami dipindah ke situ.
Setelah aku selesai menunaikan kewajiban lima waktu, gantian Raga yang meminjam tempat untuk salat. Sementara aku membereskan meja makan, sekaligus mencuci piring.
Bapak berangkat narik becak lagi. Seperti biasa, setiap hari Minggu memang nyaris tidak di rumah, sibuk mencari penumpang sejak pagi hingga malam. Paling pulang sebentar doang untuk mandi, makan, dan salat.
Begitu selesai semua aktivitas masing-masing, aku dan Raga kembali ke ruang tamu. Dia menemaniku mengerjakan PR sembari bermain gitar. Kebetulan ada gitar klasik milik pegawai bos yang sengaja ditinggal. Orangnya memang hobi main gitar sembari nyanyi-nyanyi enggak jelas. Permainan gitarnya sih bagus. Jarinya luwes banget memetik senar. Dan hampir semua lagu dia kuasai. Sayang, suaranya fals minta ampun.
“Punya siapa, Dek? Setemannya keren. Pasti pemiliknya paham banget soal nada,” puji Raga setelah menyelesaikan satu lagu milik Obbie Messakh, Kisah Kasih di Sekolah.
Aku meliriknya sekilas, lalu kembali pada lembaran LKS di hadapanku.
“Paham nada, tapi kalo nyanyi suaranya kayak tikus keinjek kucing,” gumamku lirih.
Raga tergelak. “Siapa, sih?”
“Mas Yanto.”
“Siapa itu?” Kening Raga mengernyit tajam.
“Sopirnya si bos.”
“O, yang biasa duduk-duduk di depan pakai kacamata hitam itu?”
Aku mengangguk. “Orang ter-pede sedunia.”
“Lah, bagus atuh. Daripada minder, mending pede.”
“Mending tau diri nggak sih!”
Raga tak membalas ucapanku. Dia justru menyibukkan diri dengan alat musik dalam dekapannya, mulai memainkan dentingan senar diiringi suara sendu mendayu. Lagu lawas milik Iwan Fals berjudul ‘Kemesraan’ dia mainkan dengan begitu apik. Sebuah lagu yang lirik reff-nya membuat pikiranku campur aduk seperti gado-gado.
Kemesraan ini janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini ingin kukenang selalu
Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu
Hatiku damai, jiwaku tenteram bersamamu
Sembari berdendang, sesekali cowok itu menatapku. Berkali-kali pula pandangan kami bertemu ketika aku coba meliriknya. Dia tampak begitu menghayati lagu tersebut, seolah menyuarakan isi hati yang terdalam.
“Dek, hari ini Sinyo ultah lho,” ucap Raga setelah ‘Kemesraan’ nya selesai. Dia turunkan gitar dari pangkuan. “Mau ke rumahnya?”
Mendengar nama panggilan Kevin disebut, seketika aku menoleh.
“Dirayakan?” tanyaku antusias.
“Ngumpul kita-kita aja.”
“Oooh....” Hilang antusiasku. “Salam aja, deh.”
“Padahal ikut juga nggak apa-apa. Kita mah senang kalau bisa ngumpul rame-rame.” Raga terdengar agak kecewa.
Aku tersenyum, memiringkan kepala, dan mendekatkan wajah ke hadapan pemuda berparas oriental tersebut. Sikapku yang seperti orang membujuk anak kecil merajuk, mau tak mau membuat si tampan tersenyum. Tak lama kemudian, habis kepalaku diacak-acaknya.
🍁🍁
Suatu hari, ada dua remaja putri mendatangi rumahku. Menilik dari penampilan, sepertinya mereka ini tipe anak gaul. Yang satu berparas cantik dengan rambut lurus sebahu. Sementara satunya, berwajah manis dan memiliki rambut panjang ikal yang diikat ekor kuda. Mereka mengendarai sepeda motor, salah satu barang keren yang pada masa itu mimpi memilikinya pun aku tak berani.
“Nyari siapa?” Aku menanyai keduanya dari balik pagar yang terkunci.
“Ronald,” jawab si rambut lurus, yang membuat keningku mengerut keheranan.
Mencari Ronald, tapi ke rumahku?
“Ronald siapa, ya?”
“Ronald Aiman Hanafi.”
Keningku semakin keriting.
“Anak STM 1.”
“Di sini nggak ada nama Ronald,” tukasku cepat. Aku mulai menangkap bau-bau tak beres dari cewek itu. Dia pasti korban si Boyo.
“Aku lihat dia sering ke sini.”
“Main doang. Ini bukan rumahnya.”
“Kamu siapanya?” Gadis itu mulai sinis, menatapku dengan ekspresi jijik. Ya Tuhan, semenjijikkan apa aku ini? Gitu banget dia menatapku, mulai ujung kepala hingga ujung kaki. “Dia itu cowokku. Jangan macam-macam kau, ya!”
“Mending kau ngaca sana kalau mau ngerebut Ronald!” timpal sang teman yang sedari tadi duduk anteng di jok belakang.
“Maksud kalian apa, sih?”
“Ronald itu pacar Tiara. Paham kau?”
Walah!
Seketika mataku melebar. Jadi aku disangka merebut Ronald dari tuh cewek, dan dia sedang melabrakku? Astaga dragooon! Model Ronald mah bukan seleraku.
Ketika Raga dan yang lain main ke rumah, aku ceritakan kejadian tersebut kepada si ‘buronan’. Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai jumpalitan. Dengan kesal kutimpuk kepalanya menggunakan majalah di tanganku.
“Terus kamu bilang apa ke dia?” Raga yang pertama kali memberi reaksi.
“Bilang apa adanya, lah!”
Ronald bangkit dari posisi yang barusan nungging, lalu kembali duduk dengan satu kaki dinaikkan ke sofa. Dia habiskan sisa tawa sebelum berujar pelan dan dramatis, “seharusnyaaa... kau jawab... iya, aku pacar Ronald. Kami sudah bertunangan dan lulus sekolah nanti nikah. Gitu.”
“Biar apa?”
“Biar dia senewen dan nggak gangguin kau lagi.”
“Najis!”
“Jangan mau, Dek!” sergah Raga. “Rugi besar bela-belain bohong cuma demi Boyo!”
“Kalo nggak mau bo’ongan, serius juga boleh. Aku sih ayo aja. Dijamin Nad, nggak akan menyesal pacaran sama aku. Jadi istriku pun pasti bahagia.”
“Orang gila!” makiku jengkel.
“Lancaaang.” Raga menabok kepala sahabatnya dengan gemas. “Mau sama Nada? Langkahi dulu mayatku!”
Tawa Ronald meledak. “Ampun, paduka! Ampuni hambamu yang tampan ini!” ledeknya sembari menangkupkan dua telapak tangan di depan muka. “Mana mungkin saya takut dengan paduka!”
Raga menarik paksa ujung rambut Ronald, hingga sahabatnya itu meringis kesakitan.
“Eh, maksud saya, mana mungkin saya berani, Padukaaaaa!” Ronald meralat tantangannya sembari tertawa lebar.
Anak itu memang agak sinting. Kami semua sudah hafal dengan tabiatnya. Aku pikir, bego sekali orang yang baper terhadap omongan dia. Dari sepuluh kalimat yang Ronald ucap, mungkin hanya satu yang serius, atau bahkan tak ada sama sekali.
Tingkahnya pun setali tiga uang. Dia gemar menciptakan huru-hara. Seperti yang dia lakukan pada suatu ketika, tak lama dari kejadian aku dilabrak mantannya tersebut.
Hari itu aku ada janji dengan Raga. Pulang sekolah, kami mau belajar Bahasa Inggris. Ternyata sore itu dia harus pergi basket dengan teman-temannya. Otomatis tidak bisa menemuiku. Karena tidak mau membuat kecewa, maka dia minta tolong Ronald untuk menyampaikan surat kepadaku.
Surat tersebut diselipi sebatang coklat sebagai ungkapan maaf. Raga tahu aku suka coklat, dan paling tidak bisa menolak kalau sudah berhubungan dengan makanan tersebut.
Namun, apa yang dilakukan oleh Ronald? Selain bikin malu, dia juga jago provokasi. Sudah tahu Raga paling tidak bisa disenggol jika berkenaan dengan aku, ini dia malah menciptakan kekacauan.
🍁🍁
Bukan Ronald namanya kalau tidak menimbulkan huru-hara. Dia itu sejenis makhluk yang akan merasa tidak baik-baik saja apabila dunia terlihat damai.
Ketika Raga tidak bisa datang menemuiku, dia meminta tolong Ronald mengantarkan suratnya. Selain surat, Raga juga menitipkan coklat TOBLERONE. Tahu ‘kan? Makanan dengan bahan dasar coklat yang kemasannya berbentuk segitiga memanjang. Biasanya terdapat beberapa size. Kebetulan hari itu Raga memberiku size paling besar.
Di sinilah si Ronald berulah. Surat dari Raga disampaikan kepadaku, tetapi tidak dengan si coklat. Dia tidak tahu kalau Raga menyebut perihal pemberian coklat sebagai ungkapan maaf di dalam suratnya. Saat itu aku diam, tidak menanyai Ronald terkait keberadaan si TOBLERONE. Aku pikir, ya sudahlah... toh Raga sering membelikan aku coklat. Lagi pula, kalau kutanyakan, nanti Ronald malu.
Sayangnya, niat baikku untuk keep silent tidak didukung oleh semesta. Sehari setelah itu, Raga mengusung pasukannya datang ke rumah. Taufik malah ngajak Kirana, sementara Ronald bawa Mariska, pacar barunya.
Sebetulnya, aku pun tak berniat membahas perkara coklat. Tidak ada yang tahu kejadian tersebut kecuali aku, Ronald, dan Tuhan. Namun, si Taufik kepo terhadap Mariska. Rupanya mereka adalah teman satu kelas semasa SMP, jadi memang sudah akrab sejak dulu.
“Kamu udah jadian sama Ronald, Ris?” tanya cowok lugu itu.
Mariska mengangguk malu-malu.
“Kapan?” kejar Taufik penuh semangat.
Yang lain hanya menyimak, menanti jawaban spektakuler dari gadis tersebut. Masalahnya, kami tahu saat itu Ronald juga tengah mendekati gadis lain bernama Elisa. Brengsek banget, bukan?
“Iya, nih! Cerita dong, Ka!” timpal Kirana tak kalah antusias. “Sejak kapan jadian?”
“Baru kemarin.” Si Mariska malu-malu badak.
Taufik celingukan, memandangi kami yang ada di ruangan satu persatu. Saat itu Ronald tengah izin keluar. Pamitnya mau beli rokok. Padahal, kami semua tahu dia pergi menemui Elisa di alun-alun. Cowok itu sengaja menitipkan Mariska di rumahku.
“Baru kemarin banget dia nembak kamu?” Pertanyaan Satria disambut anggukan kepala gadis bermata indah tersebut. “Di mana?”
“Ngomong-ngomong, aku penasaran eh!” celetuk Taufik lagi tanpa memberi kesempatan Mariska menjawab pertanyaan Satria. “Si Bajul itu cara nembak ceweknya gimana, ya? Selalu dapat, loh,” lanjutnya diiringi kekeh lirih. Sebuah celoteh yang disambut cubitan maut sang kekasih.
“Aneh-aneh aja yang ditanyain!” hardik Kirana yang sudah terbiasa menghadapi mulut polos sang kekasih. Begitulah Taufik. Kalau berbicara asal nyeplos, tidak memperhatikan situasi dan kondisi.
"Kemarin sore, Ronald ngajak jalan,” sahut Mariska, meredakan ketegangan sepasang kekasih di hadapannya.
“Ke mana?” Taufik masih antusias.
“Waduk Pondok.”
“Di sana dia nembak kamu?”
“Iya. Aku dikasihnya coklat....”
“Wait, wait,” potong Raga cepat. “Coklat apa?”
“Toblerone.”
“Ada apa, Pit?” sela Satria keheranan.
Raga tidak menggubris pertanyaan Satria. Dia justru menatap lurus-lurus ke arah Mariska.
“Toblerone besar?” tebaknya kemudian. “Diikat pita biru muda?”
Aku yang saat itu duduk tak jauh dari Mariska, tidak dapat menyembunyikan senyum. Dan ketika Mariska mengangguk, tawaku seketika meledak. Spontan, Raga berdiri dan menyeretku menuju ruang belakang. Setengah berlari aku mengikuti langkahnya. Sementara Satria, Taufik, Kirana, dan Kevin menatap kami keheranan.
“Kemarin dikasih surat sama Ronald, nggak?” Tanpa basa-basi, Raga menegaskan rasa ingin tahunya. “Surat plus Toblerone dari aku.”
Sembari menahan tawa dan membekap mulut menggunakan telapak tangan, aku mengangguk.
“Suratnya iya, tapi coklatnya nggak,” paparku kemudian di sela-sela senyum lebar yang tak bisa lagi kusembunyikan.
Raga seketika tepuk jidat. Bibirnya tersenyum, tapi sorot matanya menampakkan kemarahan. Sepertinya dia kecewa terhadap Ronald, sekaligus merasa tidak enak kepadaku. Maka sebelum kekecewaannya berubah menjadi amarah, aku bergegas memberi kalimat hiburan.
“Nggak usah diperpanjang ya, Mas. Yang penting kan suratnya dikasih. Aku lebih seneng baca surat dari Mas Raga daripada makan coklat.”
“Tapi Boyo keterlaluan, Dek.”
“Iya, ngebahasnya jangan sekarang. Kasihan. Nanti malu di depan Mariska.”
Mendengar kalimat tersebut, Raga menatapku lembut. Perlahan amarahnya meluruh. Tangan kokoh itu mengusap puncak kepalaku dengan gerakan acak.
“Maafin Ronald, ya?”
Kusambut ucapannya dengan anggukan pelan.
🍁🍁
gabung yu gc bcm
caranya wajib follow akun saya ya
spaya bs sy undang mksh.