CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Yang Kurindukan Dari Hujan

Hampir lima menit berteduh, belum ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Sepertinya justru bertambah deras. Aku celingukan didera rasa gelisah, berkali-kali menengok arloji merah muda di pergelangan tangan.

Sebenarnya, rumahku tak terlalu jauh dari jalan raya. Letaknya di paling ujung, dekat gapura masuk gang. Sekitar 150 meter jaraknya. Jika ditempuh dengan langkah lebar, enam kali melangkahkan kaki juga sudah sampai.

Namun, hari itu adalah hari Rabu. Seragam PRAKERIN—Praktik Kerja Industri—yang kupakai harus dipakai lagi besok. Sedangkan aku tidak memiliki baju cadangan sebagai ganti. Terpaksa harus bersabar dan menahan diri. Paling tidak hingga hujannya tinggal gerimis.

Saat itulah, sekonyong-konyong aku mendengar suara gelak tawa di antara gemercik air. Gelak tawa persahabatan yang membuatku sedikit iri. Aku ingat, terakhir kali memiliki tawa seperti itu pada saat menjelang kelulusan SMP. Lalu, semuanya hilang bersama perpisahan.

Ah...!

Begitu mengangkat wajah, pandanganku tertuju kepada lima remaja lelaki yang berjalan dalam hujan sembari bercanda tawa. Mereka menendang genangan air, berusaha saling membasahi satu sama lain. Permainan paling seru pada masa itu.

Salah satu dari lima pemuda tanggung tersebut rupanya berhasil menarik perhatianku. Dia tampak paling tenang di antara kehebohan yang kawan-kawannya ciptakan. Aku masih ingat jelas. Cowok itu menenteng bola di samping pinggang. Badannya kerempeng, terbalut kaos singlet METALLICA warna hitam, dan celana kolor abu-abu.

“Keren banget,” pujiku dalam hati. Aku merasa selera mataku naik level. Jika kukatakan dia tampan, sungguh aku tidak mengada-ada. Meski tubuhnya kurus, pemuda itu memiliki wajah yang kalau dilihat sekilas mirip aktor Thailand.

Sejenak aku lupa kepada Rio—kekasihku yang jauh di ujung Banten sana. Aku memang sering tidak ingat bahwa kami menjalin hubungan jarak jauh. Keberadaannya kerap kuabaikan, bahkan kadang aku anggap sepele. Padahal, sebulan sebelum hari itu dia baru saja datang, jauh-jauh dari Banten ke Ponorogo demi menemui aku.

Memang sulit menjalin komitmen dengan orang yang belum siap terikat seperti aku saat itu. Layaknya merpati, aku masih ingin bebas hinggap ke sana kemari, lalu terbang tinggi sesuka hati. Harus dimaklumi, mengingat usia juga masih terlampau muda. Apa yang bisa diharap dari gadis 15 tahun?

Kembali pada mereka.

Lima remaja lelaki yang sedang mandi hujan itu berlalu begitu saja. Tanpa menoleh, tanpa mengacuhkan keberadaanku. Aku serasa makhluk tak kasat mata. Ya, siapalah aku ini? Seorang gadis kampung yang lusuh, dekil, berpenampilan sangat biasa. Intinya, sama sekali tak ada yang menarik dariku.

Sementara mereka adalah anak kota. Penampilannya bersih dan terawat. Apalagi si pemegang bola yang penuh pesona. Sepertinya dia bukan orang Jawa. Gantengnya perpaduan antara Cina, Arab, Filiphina, Thailand, dan entah kombinasi ras mana lagi. Kulit putih, alis tebal, tulang hidung tinggi, mata belo.

 

💜💜💜

 

 

Di antara deras air yang tercurah dari langit, lima remaja tersebut tampak bergembira ria. Mereka seakan tak peduli apapun; rambut basah, baju kuyup, bahkan kulit membiru kedinginan.

Karena khawatir cowok-cowok tersebut risi dengan keberadaanku, kupaksa sekuat tenaga supaya kepalaku berpaling ke arah lain. Walau sesekali tetap nekat mencuri pandang ke si Suppapong Udomkaewkanjana. Nggak tau kenapa, pesonanya bagai magnet, menyedot habis seluruh gengsi yang kumiliki.

“Ish, kapan redanya ini?” Aku bergumam sendiri. Bapak pasti cemas jika anak semata wayangnya pulang lambat. Dan aku pun sedih kalau sampai membuat Bapak khawatir. “Cepet reda, dong!” gumamku lagi.

Namun, sepertinya harapan tersebut harus kusimpan dalam-dalam. Bukannya mereda, hujan justru semakin deras. Satu hal yang disambut gembira oleh kelima anak cowok tadi, sekaligus disambut kecewa olehku.

Aku tengah bengong memperhatikan gemercik air yang jatuh dari talang pembuangan air, ketika tiba-tiba....

Bug!

Kepalaku terhantam bola dari samping. Tentu saja lumayan keras. Aku sedikit terhuyung karenanya.

“Sorry! Aku nendangnya terlalu keras!”

Sembari mengusap kepala yang terasa berdenyut dan sedikit kesemutan, aku menoleh ke sumber suara. Sebuah senyum dan wajah ramah menyambut tatapanku. Kubalas keramahan tersebut dengan senyum serupa diiringi anggukan tipis kepala.

Tak disangka, dia berjalan menghampiriku.

“O iya....” Tanpa ragu cowok itu mengulurkan tangan kanan. “Aku Raga,” katanya, mengenalkan diri.

Aku masih diam, memandangi tangan yang menggantung di udara tersebut dengan tatapan aneh. Dalam hati ingin menyambutnya, menjabat dengan hangat, lalu berkenalan. Kupikir akan bagus andai punya teman di kota yang kutempati belum genap dua bulan ini, supaya tidak merasa terlalu asing dan terus-terusan rindu kepada kampung halaman. Namun, ucapan Ibu yang memperingatkan supaya aku waspada terhadap anak cowok di Madiun, terngiang di telinga. Banyak anak nakal, katanya.

“Woi, Ga!” Seruan dari salah satu cowok yang tersisa empat di sana, membuat Raga menoleh. “Ayo!” lanjut cowok itu seraya mengacungkan bola.

Raga melambaikan tangan sesaat, lalu beralih menatapku. “Rumah kamu di mana?” tanyanya lagi.

“Itu, yang pager putih,” jawabku seraya melongok ke arah gang. Pagar depan rumah terlihat jelas dari jalan raya.

“O, itu rumah kamu? Aku pikir itu tuh rumah kosong.”

Aku tersenyum tipis.

“Nama kamu... Zenaida Asmaya, ‘kan?” Cowok itu lagi-lagi bertanya, yang kali ini cukup mengagetkan.

Dari mana dia tahu nama lengkapku?

Di Madiun, aku belum memiliki teman. Bahkan  dengan tetangga sebelah saja, aku tuh nggak kenal. Selain karena belum lama pindah ke kota yang terkenal dengan makanan brem tersebut, aku juga nyaris setiap hari nggak ada di rumah. Pukul 5 pagi sudah berangkat sekolah, pulang pukul 4 sore—kadang lewat. Ba’da magrib nyusul Ibu ke tempat kerja, dan balik ke rumah pukul 9 malam. Hari Minggu, pulang ke rumah Ponorogo.

Tidak ada waktu untuk mengenal orang baru di lingkungan rumah. Lantas, dari mana cowok bernama Raga ini tahu namaku?

 

💜💜💜

 

“Ini namanya Satria.” Raga menunjuk salah satu temannya yang berbadan atletis—tinggi besar berotot.

Aku tersenyum ke cowok itu, lalu menyambut uluran tangannya—hal yang bahkan belum aku lakukan terhadap Raga.

“Nada,” ucapku memperkenalkan diri.

Setelah Satria melepas tanganku, masing-masing teman Raga yang lain menyalamiku dan menyebutkan nama.

“Ronald.”

Wajahnya tampan dan penampilannya kece. Jika harus menilai secara obyektif, dia yang paling tampan di antara kelima cowok tersebut. Tulang hidungnya tinggi, sepasang alisnya menukik seperti sayap camar yang terbang di atas lautan. Dia juga memiliki mata bak mata elang, dihiasi sederet bulu lentik di atasnya. Bibirnya tipis laksana cupid bow. Postur tubuhnya pun bagus. Semua ketampanan tersebut masih dilengkapi pula dengan senyum menawan dan suara yang merdu di telinga. Perfecto.

Selanjutnya adalah, “Taufik.”

Taufik memiliki tampang lugu, agak culun, dan kocak. Dalam sekilas pandang, tak ada yang istimewa darinya. Dia seperti umumnya cowok-cowok pada masa itu. Berkulit sawo matang, rambut ikal, dan—maaf—wajahnya agak berjerawat. Itu yang aku ingat dari kesan pertama mengenal dia. Meski begitu, cowok ini memiliki sorot mata yang tulus, dan positif vibes.

Terakhir, si pemilik wajah dingin mirip Suppapong Udomkaewkanjana yang sejak awal mencuri perhatianku karena sikap tenangnya. Dia ini memiliki badan kurus, jika tak boleh disebut kerempeng. Kulitnya putih kemerahan, hidung mancung, bibir imut, mata kecil—tapi bukan sipit, dan alis tebal nan rapi. Waktu itu aku belum tahu seberapa manis senyumnya sebab dia lumayan pelit berbagi senyuman. Raut wajahnya tampak kaku, seolah tak peduli sekitar.

Jantungku berdetak kencang ketika tangan kami bersentuhan. Ada rona hangat mengaliri kedua pipi. Entah perasaan apa yang merasukiku. Yang jelas, aku merasa seluruh badan menegang dan mulut seperti terkunci.

“Kevin.”

Dengan gaya ‘dingin’, dia menyebutkan nama.

Beberapa detik setelahnya, aku bagai orang terkena hipnotis—bengong dan blank. Sepertinya otak ini sudah tersihir oleh ketampanan merajalela yang tersaji di depan mata.

Tuh cowok serakah banget. Gantengnya diborong sendirian. Sumpah ya, kalau saja nggak punya urat malu, aku udah lompat-lompat kegirangan waktu itu.

“Jangan lama-lama!”

Aku tergelagap begitu Raga memisahkan tangan Kevin dari genggamanku. Memisahkannya setengah paksa pula. Pergelangan tangan Kevin ditarik kuat-kuat hingga si kerempeng itu terdorong mundur beberapa langkah.

Semua tergelak dalam tawa, kecuali aku dan Kevin yang—entah kenapa—sama-sama salah tingkah. Mungkin dia begitu karena malu ditertawakan teman-temannya. Sementara aku, malu sebab ketahuan menikmati sekali genggaman tangannya yang hangat dalam cuaca dingin hari itu.

“Sekolah di mana?” Sebuah pertanyaan dari Satria berhasil mencairkan kecanggungan yang sempat tercipta antara aku dan Kevin. “Kok jam segini baru pulang?”

“Ponorogo,” jawabku malu-malu. Jelas malu lah! Satu gadis dikerubuti lima pemuda tak dikenal.

“Ponorogo itu mana, Sat?” Raga menoleh ke arah Satria dengan wajah polos.

“Ponorogo ya Ponorogo.” Satria bingung menjelaskan.

“Satu jam kalau naik bis.” Aku memberikan penjelasan.

“Wow, jauh juga ya!” Satria terperangah.

“Kenapa sekolahnya jauh banget?” Raga menimpali ucapan sahabatnya.

“Ehm,” dehemku sembari mengalihkan pandangan ke jalan raya. Kuabaikan Raga yang masih menunggu jawabanku. “Hujannya sudah reda. Aku pulang dulu,” pamitku kemudian menimbulkan gurat ketidakpuasan pada wajah di hadapanku.

“Kok buru-buru?” Satria coba menahanku.

“Takut dicariin Bapak.”

“Alah rumah kamu lho cuma situ doang,” kilah Taufik dengan aksen medoknya.

Aku hanya mengulas senyum tipis. Dan ketika kutatap mereka satu persatu, dapat kutangkap sedikit kekecewaan di mata Raga. Entah kecewa karena apa, tapi dia tidak berusaha menahanku seperti yang Satria maupun Taufik lakukan.

Saat kakiku melangkah meninggalkan kerumunan lima pemuda asing tersebut, tiba-tiba Raga mengejar dan menghadang tepat di hadapanku.

“Apa lagi, sih!?” Aku berseru jengkel.

“Setiap hari kamu pulang jam segini?”

“Iya,” jawabku ketus seraya mengernyitkan dahi. Aneh tuh bocah. Ngapain tanya begitu?

“Setiap hari naik bis?”

“Iya.”

“Selalu turun di sini?”

“Ya iya, lah! Kan rumahku di sini!” Aku semakin kesal karena merasa diisengi.

“Besok juga?”

Kekesalanku memuncak. Sembari melengos dan menghela napas berat, kuanggukkan kepala pelan.

“Oke!” Raga berseru dan tersenyum kegirangan, tanpa peduli pada ekspresiku yang berasa pengen nabok kepalanya.

Apaan, sih? Nggak jelas banget! Rutukku dalam hati.

“Besok aku tunggu di sini, jam empat,” ucapnya kemudian seraya mengacungkan telapak tangan.

“Jam empat apa jam lima?” Aku menatapnya dengan sikap dingin.

“Kamu pulangnya jam empat, ‘kan?”

“Itu tangan kamu lima jari.”

Raga menatap telapak tangannya yang masih menggantung di udara, lalu tersenyum lebar seraya menekuk jari jempol hingga tersisa empat jari saja.

Tak ingin memperpanjang percakapan, aku berjalan meninggalkan cowok itu. Arloji di pergelangan tangan kiriku sudah menunjuk pukul lima kurang. Bapak pasti khawatir.

 

💜💜💜

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!