NovelToon NovelToon
Di Balik Bayangan Ambisi

Di Balik Bayangan Ambisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Wanita Karir / Karir / Office Romance
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Darl+ing

Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejelasan

Di ruang konferensi, Dante sudah menunggu. Begitu Naya masuk, tatapan mata mereka bertemu. Sejenak ada jeda, seperti dua orang yang saling mengukur satu sama lain, meski sudah pernah berhadapan. “Selamat datang lagi, Naya,” ucap Dante sambil bangkit dari kursinya.

Naya menarik napas dalam-dalam dan tersenyum tipis, meski rasa gugup masih menyelimuti dirinya. “Ya, aku kembali.”

Mereka berdua segera duduk dan memulai diskusi bisnis. Dante menjelaskan visi dan harapannya untuk proyek animasi yang mereka garap. Sesekali Naya mencatat, tapi pikirannya terus melayang—antara meragukan keputusan ini dan merasa terdesak oleh situasi keuangannya. Sementara itu, Dante menjelaskan dengan tenang, terlihat lebih fokus pada pekerjaan daripada permasalahan pribadi yang pernah terjadi di antara mereka.

Setelah lebih dari satu jam berdiskusi, mereka mulai memasuki topik kesepakatan kerja sama. Ini momen yang paling krusial bagi Naya, karena dia membutuhkan kepastian tentang pembayaran.

“Aku bisa mulai bekerja, Dante. Tapi ada satu syarat—aku butuh uang muka sekarang untuk melanjutkan proyek ini. Aku punya tim yang harus dibayar, dan aku tidak bisa memulai tanpa modal.”

Dante mengamati Naya dengan tatapan serius. “Aku paham, Naya. Tapi aku juga harus memastikan kualitas pekerjaan ini sebelum kita melangkah lebih jauh.”

Naya merasa kesal dengan jawabannya, tapi dia menahan diri. “Kalau tidak ada uang muka, aku tidak bisa memastikan timku bisa bekerja dengan baik,” jawab Naya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional.

Dante menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan bicara dengan tim keuangan. Kita bisa mengatur sejumlah dana awal untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”

Naya merasa sedikit lega mendengar itu. Setidaknya dia bisa melanjutkan proyek ini tanpa perlu khawatir soal keuangan untuk sementara waktu. Setelah beberapa jam, pertemuan selesai. Naya segera keluar dari kantor Dante, perasaannya masih campur aduk antara lega dan bingung. Widuri yang menunggu di kafe langsung menyambutnya.

"Gimana?" tanya Widuri antusias.

"Ya, gue dapet uang muka untuk proyek ini," jawab Naya sambil menghela napas. "Tapi gue masih nggak yakin apakah ini keputusan yang tepat."

"Tapi lo butuh uang itu kan?" Widuri mengingatkan. "Nggak ada salahnya ambil kesempatan. Lagian, lo kan butuh buat gajiin asistennya lo."

Naya mengangguk. Memang benar, situasinya saat ini tidak memberinya banyak pilihan.

***

Beberapa hari setelah menandatangani kontrak kerja sama dengan Dante, Naya mulai kembali ke rutinitas pekerjaannya di studio kecil yang berada di samping rumahnya. Tika, asistennya, sudah datang lebih awal seperti biasa, membawa secangkir kopi dan catatan tugas yang harus dikerjakan untuk hari itu. Naya duduk di meja kerjanya, mulai memusatkan perhatian pada proyek yang mereka kerjakan untuk studio Dante. Garis-garis sketsa mulai terbentuk di atas kertas, meskipun pikirannya masih sedikit berkabut akibat masalah-masalah yang menumpuk.

“Gimana progress-nya, Kak Naya? Apa kita bisa kejar deadline minggu depan?” tanya Tika sambil meneliti catatannya.

“Harus bisa, Tik. Dante nggak akan terima alasan kalau kita terlambat,” jawab Naya tanpa mengalihkan pandangan dari sketsanya.

Namun, di tengah keseriusan bekerja, ponsel Naya berbunyi. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup lebih cepat: "Mama." Ia terdiam sejenak sebelum menggeser layar untuk menerima panggilan itu.

“Halo, Ma...” Naya mencoba menjaga suaranya tetap tenang, meskipun dia tahu apa yang akan dibicarakan ibunya.

“Naya, Mama sudah lama nggak dengar kabar soal pernikahan kamu sama Arfan. Kapan kamu ada waktu buat ngobrol sama Mama dan Papa soal persiapan? Ini kan udah tinggal beberapa bulan lagi?” Suara ibunya terdengar lembut, tetapi jelas penuh kekhawatiran.

Naya menelan ludah, merasa beban berat di dadanya. Dia belum memberitahu keluarganya tentang apa yang terjadi dengan Arfan. Pernikahan mereka yang sudah di depan mata kini hancur berantakan, dan dia belum siap untuk menyampaikan berita itu. Namun, kebohongan tidak bisa lagi ditutupi.

“Ma...” Naya menarik napas panjang, mencari keberanian. “Aku... pernikahanku sama Arfan nggak jadi. Dia selingkuh.”

Ada keheningan panjang di ujung telepon. “Apa?” Suara ibunya terdengar kaget, tapi penuh empati. “Kenapa kamu nggak cerita sama Mama dari kemarin-kemarin? Kamu kenapa nggak bilang apa-apa?”

“Aku... aku nggak tahu harus ngomong apa, Ma. Semuanya berantakan. Aku juga masih berusaha untuk mengatasi semuanya.”

Ibunya terdiam sesaat, lalu melanjutkan dengan lembut, “Naya, kamu harus pulang dan kita bicara langsung. Kamu nggak sendirian, sayang. Apa kamu mau Papa jemput kamu?”

Naya menggeleng, meskipun ibunya tidak bisa melihatnya. “Aku akan pulang nanti, Ma. Tapi aku belum siap sekarang.”

Setelah percakapan berakhir, Naya meletakkan ponselnya dengan lelah. Tika, yang ada di sebelahnya, memperhatikan dengan tatapan khawatir.

“Kak Naya, semuanya baik-baik aja?” Tika bertanya pelan.

Naya hanya mengangguk singkat, meskipun kenyataannya jauh dari itu. Dia kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya, berharap dapat melupakan masalahnya untuk sementara. Namun, pikiran tentang keluarganya dan bagaimana dia akan menjelaskan semuanya masih menghantui pikirannya.

***

Di sisi lain, Widuri sedang terjebak kemacetan saat dalam perjalanan menuju rumah Naya. Jalanan sore itu dipenuhi kendaraan, dan udara yang gerah membuatnya semakin kesal. "Kenapa jalanan selalu macet di saat-saat kayak gini," gumam Widuri sambil melirik jam di dashboard mobilnya. Dia sudah terlambat untuk bertemu dengan Naya dan ingin segera tiba di sana.

Saat tengah mengutak-atik ponselnya untuk mencari jalur alternatif, tiba-tiba BRAK!, terdengar suara benturan keras dari belakang. Mobil Widuri terhentak maju sedikit karena ditabrak dari belakang. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa kaget langsung berubah menjadi amarah.

Widuri cepat-cepat keluar dari mobilnya, memeriksa kerusakan di bagian belakang kendaraan. Dilihatnya ada goresan dan penyok yang cukup parah. Matanya kemudian beralih pada mobil di belakangnya yang menabrak. Mobil itu juga mengalami kerusakan di bagian depannya.

Tak lama, seorang pria keluar dari mobil yang menabraknya. Pria itu tampak tinggi dengan wajah serius, mengenakan kemeja yang sudah agak kusut. Matanya menyipit menatap kerusakan di mobil Widuri.

“Maaf, Mbak,” ucap pria itu, berusaha bersikap tenang. “Saya nggak sengaja. Rem mobil saya tadi nggak berfungsi dengan baik.”

Widuri yang sudah sangat kesal, tidak bisa menahan emosinya. “Nggak sengaja? Kamu lihat ini? Mobilku penyok parah, dan kamu bilang nggak sengaja?” Nada suaranya meninggi, penuh amarah.

Pria itu yang belakangan diketahui bernama Fajar, mencoba tetap tenang meski terlihat mulai jengkel. “Saya paham, tapi saya sudah bilang tadi, rem saya rusak. Saya juga nggak mau ini terjadi.”

Widuri mendengus. "Masalah rem kamu bukan urusan saya! Sekarang lihat mobil saya, siapa yang mau ganti rugi?"

Fajar memandang Widuri dengan tatapan tajam. “Denger ya, saya juga korban di sini. Rem rusak itu bukan kemauan saya. Mobil saya juga rusak, dan kita bisa menyelesaikan ini baik-baik. Nggak perlu pakai teriak-teriak.”

Widuri semakin naik pitam dengan nada santai Fajar. “Baik-baik? Kamu nabrak mobil saya dan sekarang mau minta diselesaikan baik-baik? Jangan mentang-mentang mobil kamu lebih mahal terus kamu bisa lepas tanggung jawab.”

Fajar menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Saya nggak bilang mau lepas tanggung jawab, Mbak. Kita bisa panggil pihak asuransi untuk menyelesaikan ini.”

Widuri, yang sudah berada di puncak kemarahannya, tidak peduli dengan penjelasan Fajar. Dia terus melontarkan kata-kata pedas, membuat situasi semakin memanas.

“Ah, sudahlah. Asuransi? Kamu pikir itu bisa langsung memperbaiki mobil saya sekarang? Saya buru-buru, dan ini malah bikin masalah!” seru Widuri lagi, melirik ke arah jalan yang masih macet.

Fajar akhirnya kehilangan kesabaran. “Kalau kamu nggak mau asuransi, maunya apa? Saya sudah bilang saya mau bertanggung jawab, tapi nggak bisa juga langsung jadi sekarang, kan?”

Perdebatan antara keduanya semakin tajam, suara-suara keras mereka menarik perhatian orang-orang di sekitar. Beberapa pejalan kaki dan pengendara motor mulai melihat ke arah mereka, membuat situasi semakin canggung.

Sementara itu, telepon Widuri berdering. Nama Naya muncul di layar, namun Widuri terlalu sibuk beradu argumen dengan Fajar untuk mengangkatnya.

1
LISA
Aq mampir Kak
ADZAL ZIAH
semangat kam menulisnya 🌹 dukung karya aku juga ya kak
Hinata
Ceritanya bagus thor, semngat ya 👍
Aini Nurcynkdzaclluew
Aku yakin ceritamu bisa membuat banyak pembaca terhibur, semangat terus author!
Darl+ing: Makasih ya udah mampir ❤️‍🔥
total 1 replies
ellyna
bagus bgt semangat yaa
Darl+ing: makasih udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!