Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia yang Tidak Beruntung
Tak kalah buruk, hal yang menyambut Gilsa selama berjalan menuju kelas juga sama saja. Orang-orang menggodanya dengan kalimat-kalimat candaan soal kejadian kemarin juga kejadian 2 tahun yang lalu, sambil beberapa diantara mereka ada yang melemparkan penghapus atau sampah kertas yang di remas. Dia tak mengerti kenapa sorakan kecil yang lirih ini menganggu perasaannya lebih parah daripada saat murid kelas 10 tadi menyentuhnya.
Dia ingin merobek setiap mulut itu.
"Eh-eh-aduh maaf."
Ada bahu yang menabrak punggung Gilsa, tapi dia bahkan tak sudi melirik siapa orang-orang itu. Terdengar jelas sekali mereka sengaja saling menyalahkan seolah itu perbuatan jahil satu orang, dengan tawa kecil yang menyebalkan.
Bukankah seseorang ingin merobek mulut mereka juga jika mendengar ini?
Beberapa kali tabrakan itu terjadi, sampai taraf rahang Gilsa mengerat kuat. Hal yang paling menyebalkan adalah tabrakan itu dilakukan oleh kelompok orang yang sama. Mereka berjalan di belakang Gilsa seolah memiliki tujuan ke tempat yang sama, sambil melancarkan aksinya itu.
Ini seperti kembali ke masa 2 tahun yang lalu.
"Apa sih?!"
Tabrakan ke sekian akhirnya Gilsa tak tahan. Dia mendorong balik bahu itu hingga mereka terkejut dan mundur selangkah. Rasanya alisnya sudah menjadi satu karena terlalu banyak mengerutkan dahi.
"Ah, sial."
Tentu saja dia sial. Amarahnya hanya bertahan sesaat, digantikan sorot terkejut yang samar.
Dia teringat soal Kevin.
Sehingga Gilsa mendecak, berbalik lagi dan pergi dengan langkah lebih cepat ke kelasnya.
Hal sial terus terjadi jika dibiarkan sekali terjadi. Gilsa lupa pepatah ini.
Saat gadis itu masuk ke kelas, tatapan yang sama dengan tatapan di luar kelas juga menyambutnya. Sampai-sampai dia tak bisa menahan diri untuk tak menghela napas, berjalan ke mejanya sambil sok berpura-pura tak melihat itu. Dia tahu murid di kelasnya sama saja, tapi tidak ada diantara mereka yang akan berani melakukan penindasan langsung di kelas. Alasannya simple, karena suasana kelas selama berlangsungnya pembelajaran nanti akan menjadi canggung. Apalagi jika ada tugas kelompok.
Tak ada yang mau bergaul dengan orang jahat.
Gilsa jahat. Namun yang membullynya sampai melibatkan kontak fisik, pasti lebih jahat.
Saat duduk di kursinya Gilsa tak menemukan sosok itu di samping meja. Altheo yang biasanya datang di waktu-waktu yang hampir mirip dengannya. Hari ini Gilsa terlambat datang ke sekolah sehingga seharusnya pemuda itu sudah ada di sini mendahului dirinya.
Ya, mungkin saja dia marah atas apa yang terjadi kemarin sehingga enggan berada terlalu lama di kelas.
Bel tiba-tiba sudah berbunyi, dan pemuda itu belum juga masuk ke kelas.
Apa ini wajar?
•••
"Kerja sama apa?"
Orang-orang di hadapannya malah saling tatap alih-alih menjawab. Tentu saja Altheo bertanya bukan karena akan menyetujui ajakan mereka, semakin lama dia semakin tak mau berurusan yang ada.
Apalagi itu soal Gilsa.
"Tidak susah kok, cuman buat seneng-seneng. Paham kan?" Kevin tersenyum sebagai kode untuk niat di pikirannya. Altheo bukan pura-pura tak paham kali ini saat raut heran kembali diberikan pemuda itu, dia benar-benar tak mengerti apapun.
"Gilsa itu murahan." Morgan melempar ponselnya hingga ke hadapan Altheo. Di sana terlihat sebuah gambar yang gelap, dimana sosok yang dia kenal tengah berada di pangkuan seseorang dalam posisi yang ambigu.
Alih-alih terpancing Altheo merasa marah, dia bahkan tak bisa berpikir seperti apa yang dikatakan Morgan begitu melihat foto ini. Siapa yang murahan dan jahat di sini? Rambut Gilsa terlihat jelas dijambak seseorang dan wajahnya yang marah di arahkan pada selangkangan seseorang sambil di arahkan ke kamera. Ini lelucon yang buruk untuk mengatakan Gilsa murahan. Altheo bahkan tak mau melihat foto menyakitkan itu lama-lama. Dia menggeser balik ponselnya hingga ke hadapan Morgan dan Kevin.
"Gilsa? Bukankah kalian yang murahan? Beraninya mengambil foto seperti itu pada siswa di bawah umur." Altheo berdiri dan mengambil tasnya lagi.
"Jangan munafik seperti itu, dengarkan dulu."
"Apa yang harus kudengar?!" bentak Altheo.
Kevin menatap teman-temannya sambil menunjuk Altheo dengan dagu. Sontak hal itu membuat beberapa orang menghampiri pemuda tersebut dan memaksanya duduk kembali.
"Apa lagi?!"
"Dengarkan dulu." Kevin memberikan ponsel itu untuk di simpan Morgan.
"Tak usah yang seperti ini jika kau tak suka. Apapun, kau boleh melakukan apapun pada gadis ini kecuali membuat dia hidup nyaman. Aku tidak akan memberikan tawaran secara gratis."
Wajah Altheo semakin menatap jijik orang yang berbicara itu. Kevin bahkan masih bisa tersenyum ketika berbicara hal yang menjijikkan.
"Kau meminta bantuan pada orang lain untuk menganggu seorang gadis? Apa kau tak punya malu?"
"Tidak." Kevin balik memprovokasi. "Aku tidak menganggap dia wanita sehingga kenapa aku harus malu?"
"Lepaskan." Altheo berdiri lagi dan mencoba menaiki meja untuk meraih pemuda itu. Gerakannya kembali ditahan.
"Apa kau gila?! Gilsa hanya siswi biasa! Dia bahkan tak akan bisa melawanmu seinci pun! Untuk apa menganggunya?"
"Kau bersikap seperti ksatria pelindung, aku sungguh jijik melihatnya." Kevin ikut berdiri melihatnya. Secara mengejutkan beberapa orang yang semula duduk juga ikut berdiri karenanya.
"Sudah kubilang tidak ada gunanya mencoba bernegosiasi." Clarissa berjalan menghampiri Altheo sambil mencibiri Kevin. Dia saling tatap dengan Altheo, wajah yang biasanya sangat manis dan lembut kini tampak tak beremosi. Altheo baru tahu sosok asli orang ini.
"Pilihlah, hidupmu atau Gilsa." Clarissa mengajak negosiasi dengan ancaman. Meski lama waktu berlalu Altheo tak mau menjawabnya. Sehingga gadis itu meraih saku Altheo dan mengambil ponsel yang ada di sana.
"Siapa?" tanya Clarissa sambil melihat ke belakang. Kevin mengangguk. Lantas gadis itu meraih tangan Altheo untuk membuka ponsel, kemudian memasukan sebuah nomor ke dalamnya.
"Jika kau mengirimkan satu foto yang seperti tadi kami tidak akan mengusikku lagi, tapi jika sampai istirahat selesai kau tidak melakukannya, kami akan menuntut balik."
"Untuk apa kau berbuat sebegininya pada teman sekelasmu?"
Mata cokelat Clarissa menatap sinis Altheo.
"Salahmu sendiri, kenapa kau sok heroik kepada gadis ini? Kau membuatku muak."
Altheo berekspresi sedih. "Bukan padaku, Gilsa apakah pantas mendapatkan hal ini?"
"Aku tidak akan menjawabnya." Clarissa tersenyum.
"Tapi akan kupastikan setiap orang yang menyayangi dia akan hidup menderita, sebagaimana sialnya hidup Gilsa selama ini."
Itu terdengar seperti kebencian tak berdasar bagi Altheo.
•••