Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Pusat perhatian•
"Eh, coba Lihat, itu Liam yang terkena kasus manipulasi saham,kan? dia sama istrinya? so sweet banget."gumam seseorang di sudut ruangan, disambut anggukan setuju dari yang lain.
"Aku gak terlalu mengikuti beritanya, tapi aku percaya dia gak bersalah" sahut temannya.
"Suami idaman banget, ya.. Udah tampan, kaya Raya, so sweet lagi!" ucap seorang wanita sambil tersenyum kagum, tanpa malu-malu mengabadikan momen itu.
Alina, di dalam pelukan Liam, bisa merasakan wajahnya mulai memerah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia mengerjap gelisah, merasa malu dan kikuk dengan perhatian yang tiba-tiba berpusat pada mereka. Namun, saat ia menoleh, ia menangkap wajah Liam yang tetap tenang, seolah-olah semua perhatian itu tidak ada artinya baginya.
Dengan suara nyaris berbisik, Alina berkata,
"Liam… mungkin kita bisa jalan sendiri?"
Liam menatapnya sekilas, senyum tipis menghiasi bibirnya.
"Mengapa? Merasa malu?"bisiknya pelan, tanpa menurunkan volume langkahnya sedikit pun.
"Tidak... hanya saja…" Alina terdiam, sulit menguraikan perasaan aneh di hatinya. Rasanya ia ingin bersembunyi, namun dalam waktu yang sama, pelukan Liam memberinya kenyamanan yang tak bisa ia tolak.
Liam tertawa kecil, cukup pelan hingga hanya Alina yang bisa mendengarnya.
"Biarkan saja mereka bicara. Aku tidak peduli."
Dia terus melangkah keluar, melewati lobi yang ramai oleh orang orang yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda, setiap langkahnya menjadi pusat perhatian.
Liam berjalan seolah seluruh dunia hanyalah penonton, sementara ia tetap fokus pada satu hal, membawa istrinya dengan aman ke tempat mobilnya terparkir.
Sesampainya di depan pintu mobil yang sudah menunggu, seorang supir pribadi berdiri tegap dan dengan hati hati ia membuka pintu untuk Tuannya tanpa berkata apa apa.
Liam lalu menurunkan Alina dengan hati-hati, membuatnya berdiri di samping mobil.
"Masuk," perintah Liam singkat. Alina hanya menatapnya sejenak sebelum menurut, duduk di dalam mobil, pintu pun di tutup lembut oleh sang supir.
Liam segera memutari kendaraan itu dengan tergesa lalu duduk di samping Alina. Mereka berdua terdiam, hingga akhirnya suara deru mesin mobil di nyalakan.
Perjalanan menuju tempat konferensi pers pun terasa sunyi, hanya diiringi suara mesin mobil yang melaju tenang di bawah langit malam yang pekat.
Alina tak dapat menahan diri untuk mencuri pandang ke arah Liam. Di balik sikap dingin pria itu, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar, meskipun ia benci mengakuinya. Perasaan ini, meski membingungkan, perlahan menyingkap sisi lain dari pria yang kini menjadi suaminya.
Setelah beberapa menit yang hening, Liam mulai bicara tanpa menoleh.
"Skandal ini menyangkut kita berdua, Alina. Nama keluargamu juga ikut terseret."
Alina mendengus kecil,
"Kita berdua? Jangan bercanda, Liam. Skandal ini milikmu, bukan milikku"
Liam menghela napas tipis, lalu menoleh ke arah istrinya.
"Apa kau tidak sadar? Setelah pernikahan kita, media terus menyeret namamu. Mereka sudah mulai berspekulasi. Mereka bilang kau hanya tameng, yang kusembunyikan di balik skandal ini"
Wajah Liam lalu mengeras, menatap Alina dengan sorot mata tajamnya.
"Jadi saat kau mulai bicara nanti, maka bicaralah sesuai yang sudah disepakati, kalau kau berani melenceng dari apa yang di rencanakan, maka aku tidak akan segan menghancurkanmu dan keluargamu tanpa ampun."
Alina tak kalah menatapnya tajam.
"Kau boleh mengancam sesukamu. Tapi pernikahan ini bukan keinginanku. Kau menikahiku karena tekanan keluargamu, bukan karena aku punya andil dalam hidupmu, apalagi dalam masalahmu"
Liam tertawa sinis,
"Sama saja, Alina. Pada akhirnya, kita terjebak bersama dalam kekacauan ini. Suka atau tidak, kau bagian dari masalahku, sekarang."
Alina menghela napas panjang, membuang pandangannya ke luar jendela. Cahaya lampu kota yang berpendar di jalanan gelap terasa seperti bayangan yang menghantui. Sesaat, ia merasakan dadanya sesak, terperangkap dalam permainan yang tak pernah ia bayangkan.
"Kau selalu berpikir semua orang bisa kau kontrol, Liam," kata Alina akhirnya, suaranya pelan tapi sarat emosi.
"Tapi kau salah jika mengira aku akan menjadi pionmu begitu saja."
Liam mengangkat alis, nyaris tersenyum sinis.
"Aku tidak perlu pion, Alina. Aku butuh seseorang yang tahu bagaimana cara bertahan dalam dunia ini. Jika kau cukup pintar, kau akan menyadari bahwa ini tentang bertahan hidup, bukan soal kendali."
Alina merasakan panas di pipinya, bukan karena marah, tapi karena kata-katanya mengena, meskipun ia tak mau mengakuinya. Di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang merasa tertantang, merasa bahwa ada lebih banyak di balik sikap dingin dan ketus pria ini.
"Bertahan hidup katamu?" Alina mendengus.
"Apa kau menyebut menikah dengan seseorang yang tidak kau cintai sebagai cara bertahan hidup? Mengikatku di dalam skandal ini?" Ia menggeleng pelan, merasa dirinya mulai terlalu emosional.
Liam menatap lurus, bibirnya mengerucut tipis.
"Bukan aku yang memulai skandal ini, Alina. Dan menikahimu... itu bukan keputusan yang mudah bagiku juga."
Alina terdiam, pernyataan itu menggantung di antara mereka seperti kabut tipis. Ada sesuatu yang berbeda dalam suaranya, sesuatu yang nyaris terdengar seperti… sesal? Tapi sebelum ia sempat mencari makna lebih dalam dari kata-katanya, Liam mengalihkan pandangan kembali ke depan.
"Sudah cukup. Aku tak peduli dengan pendapatmu tentang pernikahan ini, atau tentang aku," ucapnya pelan namun tegas.
"Yang perlu kau lakukan adalah memainkan peranmu, menghadapi media bersama-sama, dan kita bisa selesaikan semua ini tanpa ada yang terluka lebih dalam lagi."
Alina menatapnya dalam-dalam, tak ada jawaban yang keluar. Sekalipun hatinya menolak segala yang pria itu katakan, ada bagian kecil yang memahami situasinya. Tapi dalam hatinya, ia bersumpah, pernikahan ini bukan akhir dari kisahnya. Jika ia harus bertahan, ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.
Mobil mulai melambat, mendekati gedung tempat konferensi pers akan dilangsungkan. Cahaya lampu kamera sudah berkedip-kedip di depan, menunggu mereka keluar. Alina menarik napas panjang, bersiap menyesuaikan ekspresi wajahnya.
Liam menoleh sekali lagi, suaranya sedikit lebih lembut kali ini.
"Ingat, ini hanya untuk malam ini. Beri mereka apa yang mereka ingin lihat."
Alina hanya mengangguk, memasang senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Dalam hati, ia tahu, malam ini hanyalah awal dari cerita panjang yang akan mereka jalani, dengan caranya masing-masing.
...[••••]...
...Bersambung.......
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.