Aku hampir gila, karena dihadapkan pada dua wanita.
Nadira adalah gadis pilihanku, sedangkan Naura adalah gadis pilihan ibu.
Jika tetap mempertahankan Nadira, maka hati ibulah yang akan tersakiti, tetapi jika memilih wanita pilihan ibu, maka aku harus siap melihat Nadira terluka dan kecewa.
lalu aku harus bagaimana? Apa aku bisa mencintai wanita pilihan ibu seperti aku mencintai Nadira?
hai...mampir yuk di cerita terbaruku!
jangan lupa like dan komen ya.. terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 13
Aku menatap tajam pada Naura,
"Oke, aku akan pulang tanpa membawa Naura, tapi jangan pernah salahkan aku jika aku sampai menikah lagi dengan wanita lain."
Aku meninggalkan rumah ibu dengan menahan amarah yang hampir meledak.
Apa salahnya ikut pulang denganku? Setidaknya hubunganku dengan ibu sedikit membaik.
Lihat saja Naura, aku akan membuat kamu menyesal karena tidak patuh pada ku.
***
Di kamar aku merenung, mencoba berfikir jernih.
Masih terekam dengan jelas wajah mas Rafka saat marah, karena aku lebih memilih tinggal bersama ibu di sini.
Sebagai seorang suami tentu mas Rafka kecewa dengan keputusan ku.
Apa aku kembali saja ke rumah mas Rafka, ya? Setidaknya hubungan antara ibu dan mas Rafka membaik.
Rasanya tidak sabar menunggu pagi. Karena matata tidak juga mau terpejam, akhirnya aku memutuskan untuk kembali menyusun pakaian ku ke dalam tas.
Sebagai manusia yang hidup sebatang kara, tentu aku tidak akan merusak hubungan antara anak dan ibu.
Selesai mengepak baju, barulah rasa kantuk datang menyerang.
Aku membaringkan tubuhku di ranjang, kemudian memejamkan mata hingga terlelap.
Bunyi alarm dari ponsel memekakkan telinga.
Segera aku bangun. Tidak lupa mandi terlebih dahulu agar jauh lebih segar.
Seperti biasa, aku mendapati ibu sedang membuat teh manis.
" Sudah bangun nduk?" Tanya ibu tanpa menoleh.
"Sudah bu. "
Aku mencomot setangkup roti selai lalu menuang segelas teh manis yang baru saja di buat oleh ibu tanpa rasa sungkan.
Sambil menikmati setangkup roti selai, aku kembali menimbang-nimbang keputusan yang sudah kuambil sejak malam tadi.
"Bu, bagaimana kalau aku pulang saja ke rumah mas Rafka?"
"Kamu serius?" Ibu seperti tidak percaya, mencoba menatap lekat mataku, hingga..
"Rafka bukan suami yang baik. Ibu tidak ingin melihat kamu menderita di tangan anak ibu sendiri."
" Bu, selama mas Rafka tidak kasar dan main tangan, kurasa semua akan baik-baik saja."
" Bagaimana jika Rafka selingkuh? Apa bagimu itu baik-baik saja?"
"Kami itu ibarat mobil, Bu. Masih di masa uji coba." Aku mencoba mengibaratkan rumah tangga kami, " mudah-mudahan setelah ini..semua akan baik-baik saja." Aku mencoba memberikan senyum ketegaran pada ibu.
Ibu merenung, mungkin mencoba memahami setiap hal yang terjadi pada kami.
"Jika itu keputusan mu, maka ibu perbolehkan kamu kembali pada Rafka, Nau."
***
Tepat pukul tujuh pagi, akhirnya aku berangkat dari rumah ibu menuju rumah mas Rafka.
Mudah-mudahan saja mas Rafka belum berangkat kerja.
Ibu memelukku erat sekali. Dari raut wajahnya tampak jelas rasa berat hati ibu untuk melepas ku.
Tidak butuh waktu lama. Cukup tiga puluh menit, akhirnya aku sudah sampai di rumah mas Rafka.
Sopir pribadi ibu menurunkan tas milikku.
"Sudah semua mbak."
" Terima kasih ya pak."
Mobil yang mengantarku tadi sudah pergi. Tinggal aku yang masih mematung di halaman rumah ini. Sedikit keraguan timbul, namun cepat ku tepis.
Mobil mas Rafka masih ada di garasi, itu artinya ia masih di rumah, belum berangkat kerja.
Aku menekan bel rumah,
Tidak lama terdengar langkah kaki mendekat.
"Assalamualaikum, mas."
"Waalaikumsalam."
Mas Rafka menjawab salamku. Namun tatapannya dingin. Mas Rafka sudah rapi, bahkan tangannya sudah menggenggam kunci mobil dan tas kerja.
"Mau berangkat kerja, mas?" Tanyaku mencoba menetralkan suasana pagi ini.
"Iya." Jawabnya singkat. Setelah itu ia berlalu dari hadapanku.
Sekarang tubuhnya malah sudah menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan rumah ini.
"Sabar.."
Aku mengelus dada yang sesak. "Ini bukan yang pertama kan, Nau?" Aku berbicara pada diriku sendiri.
Aku membawa tas masuk ke dalam rumah.
Uhuukkk...
Aku terbatuk, ruangan ini terasa pengap padahal baru dua hari saja tidak dibersihkan.
Setelah mengganti pakaian, aku langsung berkutat dengan pekerjaan rumah tangga.
Tidak ada bagian satu pun yang terlewatkan.
Ah, akhirnya siap juga. Naura merasa lega. Setidaknya saat mas Rafka pulang kerja, rumah ini sudah terasa nyaman.
Lebih baik sekarang aku mandi. Namun belum sempat Naura masuk ke kamar mandi, ponselnya tiba-tiba berdering.
Mas Rafka? Tumben, ada apa ya?
"Assalamualaikum mas .."
"Waalaikumsalam, tolong nanti sore kamu bersiap. Pakai baju sebagus mungkin. Jam lima nanti aku jemput. Dan satu lagi, jangan buat aku malu!"
"Ada aca.."
Sambungan telepon diputus oleh mas Rafka, padahal aku belum siap bicara.
"Mas..mas..apa salahnya ngucapin salam terlebih dahulu." Ujar batinku nelangsa.
Aku termenung sejenak, pakai baju bagus dan jangan buat malu? Itu artinya aku butuh ibu.
Aku segera menelpon ibu, menceritakan permintaan mas Rafka. Jawaban ibu malah membuat aku bingung,
" Tunggu saja di rumah, nanti jam tiga ibu yang ke rumah mu."
Dari pada bingung, aku memilih mandi dan istirahat.
***
Jam tiga tepat ibu datang, tapi tidak sendiri. Ibu membawa satu orang perempuan muda cantik.
Siapa dia?
" Dia tukang makeup."
Ibu menjawab rasa penasaran yang ada di kepala.
" Harus makeup ya Bu?"
Ibu tertawa kecil, " kamu di sana nanti akan bertemu orang-orang berkelas, Nau. Makanya Rafka memintamu untuk memakai pakaian yang bagus." Jelas ibu.
" Bu...Naura gak usah datang ya.."
"Kenapa? Ini adalah kesempatan emas buat kamu. Dari acara ini orang-orang akan tahu siapa istri Rafka sebenarnya. Kamu tahu? Hanya istri sah saja yang boleh ikut acara bergengsi seperti ini. Kamu harus bisa mengalahkan Nadira demi anak yang ada di perut mu."
Perkataan ibu barusan seperti membangkitkan semangat hidupku untuk meraih cinta mas Rafka.
"Sekarang kamu duduk, serahkan semuanya sama mbak MUA, oke?"
Aku mengangguk menuruti permintaan ibu.
Wajahku sudah di makeup, baju pesta pilihan ibu juga sudah ku kenakan.
"Kamu cantik, nduk. Rafka pasti pangling lihat penampilan kamu." Ibu memuji penampilan ku.
"Terima kasih Bu."
Suara mobil mas Rafka memasuki pekarangan rumah.
Jantung ku berdegup kencang sekali. Aku juga seperti tidak sabar menunggu reaksi mas Rafka saat melihat penampilanku saat ini.
"Satu.. dua.. tiga..."
Aku menghitung dalam hati.
Dan..loh.. kenapa mas Rafka berubah?
"Joe, "
"Iya Tante. Rafka repot hari ini. Jadi Joe bertugas jemput Naura."
Tidak percaya begitu saja, ibu pun menelpon mas Rafka. Dan ternyata benar, Joe adalah teman mas Rafka yang ditugaskan oleh mas Rafka untuk menjemput aku hari ini.
"Ya sudah, kalau gitu kalian berangkat. Joe, ibu titip Naura ya. Nau..kamu hati-hati ya, nduk."
Setelah berpamitan pada ibu, aku pun berangkat sama mas Joe.
Di dalam mobil mas Joe banyak bercerita tentang mas Rafka. Dan ternyata mas Joe tidak sekaku mas Rafka.
Bersama mas Joe aku jadi lebih sering tertawa. Perjalanan kami ke acara kantor sangat menyenangkan, tidak ada kekakuan seperti aku dan mas Rafka.
"Sudah sampai. Aku telpon suami mu dulu ya."
Sambil menunggu mas Joe menelpon, sesekali aku memperhatikan penampilanku.
Jangan sampai membuat mas Rafka malu hari ini.
"Yuk turun." Mas Joe mengajak turun.
Dengan hati-hati aku turun dari mobil. Mas Joe dengan sabar berjalan di sampingku.
Saat kami berjalan masuk ke dalam, beberapa orang terlihat menyapa mas Joe,
"Gue gak nyangka loe sudah punya istri, mana sudah hamil lagi."
Aku dan mas Joe saling berpandangan.
Loh loh loh...kok jadi begini?
Dasar wanita licik dan picik!!
"menikahi yg di cintai itu harapan
mencintai yg di nikahi itu kewajiban" Ust.Adi Hidayat
klu mau balik suruh sivrafa sujudv7 hari 7 malam siang dan malam. terus diiviioin.
terus anaknya sipelakor kamu syruh buang kerumah orang tua nadira atau bawa ke panti sosial.
najis amat kamu sampai gila stress dan amenesia.