menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10 kebohongan pertamaku
Tentu, berikut adalah versi yang lebih rapi:
---
"Mir, tadi diapain sih? Geli tau. Kamu kok nggak jijik?" tanyaku sambil berusaha bangun. Mira tersenyum sembari mengelap wajahnya dengan tisu, lalu menjawab, "Gimana, Ra? Enak, kan? Si Rehan kalau ke sini pasti gituin aku, Ra. Kalau nggak dia yang minta, ya aku yang nyodorin, soalnya enak, geli-geli gimana gitu... Hehe," ucapnya polos.
Mendengar jawaban Mira, aku kaget setengah mati. Nggak pernah terbayangkan kalau Mira yang selalu terlihat rapi bisa senang dengan hal-hal seperti itu. Sambil merapikan pakaianku, aku bertanya, "Kamu dari kapan, Mir, ngelakuin begitu?"
Mira menjawab dengan santainya, "Dari kelas satu SMA. Waktu itu diajak ke warnet. Awalnya cuma cium-cium pipi... eh, keterusan deh. Hahaha!" katanya sambil tertawa.
"Hah? Seriusan? Orangtua kamu tahu?" tanyaku panik.
"Ya enggaklah, geblek! Gila aja, bisa digantung aku kalau sampai ketahuan. Aku kuliah dan ngekos di sini biar nggak ketahuan orangtuaku. Kalau aku tetap di Pangandaran, cepat atau lambat pasti bakal ketahuan. Di sini mah kan kemungkinan kecil, ketahuan kalau ada yang ngelaporin doang. Hehe. Kamu jangan comel ya, awas loh," ucapnya lagi.
Saat kami masih asyik ngobrol, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar Mira. "Tok, tok, tok. Mir, ini aku, Diana," ucap suara dari balik pintu. Mira pun membuka pintu, terlihat Diana berdiri sambil membawa kantong kresek hitam.
"ehh na, masuk-masuk ... abis darimana na ? " ucap mira mempersilahkan masuk.
Berikut versi yang sudah diperbaiki:
---
"Tadi abis dari Indomaret seberang, terus nggak sengaja ada bapak-bapak lagi bagi-bagi bakso gratis. Nih, aku bawa dua," kata Diana sambil melangkah masuk. Dia melihat ke arahku yang masih rebahan, lalu berkata, "Yah, kirain kamu nggak ada, Ra. Kalau tahu, aku minta tiga deh, biar bisa makan bareng."
"Gapapa kok, santai aja. Tadi aku gerah, jadi numpang mandi sekalian istirahat bentar," jawabku sambil mengubah posisiku dari tiduran jadi duduk.
Mira kemudian mengambil satu mangkuk besar dan tiga piring. "Udah, kita makan bareng aja, biar semua kebagian. Hayu, Ra, kamu belum makan kan?" ucap Mira santai.
Saat Diana mengeluarkan plastik berisi bakso dari kantong kresek, entah kenapa aku merasa nggak asing dengan bakso itu. "Bakso gratis? Kok mirip banget sama bakso bikinan ayahku, tapi masa iya gratis? Setahuku, ayah nggak pernah bagi-bagiin bakso cuma-cuma," gumamku dalam hati. Aku mulai mendekat, lalu kami duduk bertiga.
Saat Diana mengeluarkan saus, kecap, dan sambal, aku semakin yakin kalau itu memang bakso buatan ayahku. Di toplesnya ada stiker merek khas bakso ayah, yaitu R.A_96. Itu satu-satunya merek yang ayah pakai, nggak ada orang lain yang menggunakan merek itu. Stiker segilima dengan background panah dari logo zodiak Sagitarius dan tulisan R.A_96 di bawahnya adalah ciri khas bakso ayahku. Aku tahu itu karena ayah pernah menyuruhku memperbanyak stiker itu saat ada pesanan untuk jamaah pengajian. Sejenak aku terdiam, bingung, nggak percaya dengan cerita Diana.
Pelan-pelan, aku mulai menyantap bakso itu. Sambil asyik makan, tiba-tiba Diana nyeletuk, "Wih, enak banget! Sambelnya juga pedes gila, haah! Eh, tau nggak? Pas aku mau bayar, bapaknya nolak. Malah dia nyuruh aku kasih tahu orang lain biar cepat habis. Aneh, kan? Masa bakso seenak ini dibagiin gratis? Terus pas aku tanya, katanya dia nggak jualan bakso, cuma nyoba bikin doang. Ada ya, orang yang ngabisin waktu cuma buat buang-buang uang begitu."
Aku masih keheranan mendengar cerita dari Diana. Nyaris tidak percaya, tapi dia tidak mungkin bohong. Itu sudah 100% pasti milik ayahku. Mira pun ikut bertanya, "Banyak ya yang dibagiin?"
"Banyak kok, ada sekitar 100 atau 200 cup di atas meja," jawab Diana sambil mengunyah bakso.
Jawaban Diana membuatku semakin yakin kalau itu memang bakso buatan ayahku.
Belum sempat aku menanggapi lebih lanjut, Diana sudah beralih topik, "Eh, Mir, nanti malam jadi kan nongkrong?"
"Jadi dong, Setiabudi kan. Ra, kamu ikut ya? Kapan lagi kita nongkrong bareng," ujar Mira sambil melirik ke arahku.
"Duuuh, gimana ya, aku takut nggak dibolehin... Kamu kan tahu ayah jagain aku kayak gimana," ucapku sambil menunduk.
"Udah, bilang aja nginep di kosan aku. Ayahmu pasti ngebolehin," jawab Mira santai.
Belum sempat aku menjawab, Diana ikut menimpali, "Iya, Ra, ikut dong. Itung-itung ngerayain pertemanan kita."
"Kayaknya kalau cuma nongkrong bisa sih, tapi nginepnya kayaknya nggak bisa. Ayahku pasti nyariin," jawabku sambil bingung.
"Ya udah, nggak usah nginep. Habis nongkrong kita anterin kamu pulang," ucap Diana sambil menatapku.
"Hmm... yaudah deh, nanti aku bilang ke ayah," jawabku.
"Yes! Gitu dong, makasih ya, Ra!" ucap Mira sambil memelukku. Kami pun kembali melanjutkan makan.
Selesai makan, Diana pamit ke kamarnya. Tinggal aku dan Mira. Mira berjalan ke dapur membawa piring kotor, lalu masuk ke kamar mandi. Aku bisa mendengar suara air mengalir dan sesekali Mira bernyanyi.
Waktu terus berlalu. Sinar sore pun perlahan menghilang, digantikan gelapnya malam. Aku takut ayahku mencariku, jadi segera kukabari dia, "Yah, maaf Nura telat ngabarin. Nura di kosan Mira, tadi ketiduran."
Aku pun memasukkan kembali handphone ke dalam tas, lalu rebahan sejenak.
Tiba waktunya kami pergi. Aku mandi lagi dan berdandan seadanya. Tak lama kemudian, terdengar suara Diana, "Mir, yuk berangkat!"
"Bentaaaar," jawab Mira singkat.
Beberapa menit kemudian, kami bertiga keluar dan menuju Setiabudi. Sesampainya di sana, kami nongkrong di sebuah kafe pinggir jalan. Setelah ngopi dan ngobrol, kami pun keluar dari kafe. Saat melewati parkiran, dua laki-laki mendekati Diana.
"Hai, Na. Masuk nggak?" salah satu dari mereka menyapa dengan akrab.
"Enggak dulu deh, udah malam juga," jawab Diana.
"Lah, tumben banget. Gue yang bayarin deh," bujuknya lagi.
Diana melirik ke arahku dan Mira, seolah meminta pendapat. Dengan polos aku menjawab, "Terserah kamu, Na. Aku ikut aja."
"Gas aja lah, yuk!" tambah Mira santai.
Akhirnya kami menyebrang dan berjalan ke sebuah tempat karaoke. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengikuti, hingga akhirnya aku terkejut karena ternyata tempat itu adalah sebuah klub. Aroma alkohol langsung menyeruak dan membuatku mual.
"Kamu nggak apa-apa, Ra? Kalau nggak kuat, kita pulang aja," tanya Mira khawatir.
"Nggak apa-apa, santai aja," jawabku sambil tersenyum pura-pura.
Sebenarnya aku ingin pulang, tapi rasa tidak enak kepada Mira dan Diana membuatku bertahan. Semakin dalam kami menyusuri lorong, suasananya semakin tidak karuan. Asap rokok di mana-mana, cahaya lampu yang menyilaukan, dan dentuman musik yang membuat dadaku bergetar semakin membuatku tidak nyaman.
Kami masuk ke sebuah ruangan. Di depan mataku, orang-orang berjoget bebas, ada yang bercumbu, dan suasananya benar-benar di luar duniaku. Sebelum sempat melarikan diri, Mira dan Diana menarikku ke tengah kerumunan.
"Ra, ayo dong! Jangan diem aja!" teriak Mira dengan semangat.
"Enggak bisa!" jawabku tegas.
Kami akhirnya duduk di sebuah sofa. Salah satu laki-laki menawarkan minuman padaku, tapi aku menolak.
"Enggak, makasih," ucapku.
"Oh, maaf. Bentar aku ambilin yang lain ya," ucapnya, sedikit canggung.
Tak lama kemudian, dia kembali membawa segelas minuman yang terlihat seperti yogurt stroberi. "Nih, buat kamu."
Aku menyeruputnya, rasanya manis tapi ada sedikit rasa hangat aneh. Aku memilih untuk diam saja dan menikmati minumannya.
Kulihat Mira dan Diana minum dan merokok dengan santainya. Aku yang kaget pun bertanya, "Mir, kamu ngerokok?"
"Alah, santai aja, Ra. Cuma rokok. Mau coba?" tawarnya.
"Enggak!" jawabku tegas, sedikit kesal.
Beberapa saat kemudian, musik kembali menghentak. Mira berdiri semangat, "Gilaaa, lagu favorit gue nih!"
Mira dan Diana kembali ke tengah kerumunan, sementara aku memilih tetap di sofa. Salah satu laki-laki duduk di sebelahku dan mulai basa-basi.
"Kamu sering ke sini?"
"Enggak, baru pertama kali," jawabku.
"Duh, sama. Oh iya, aku Ryan," katanya sambil menyodorkan tangan.
"Nura," jawabku sambil menyambut tangannya.
Obrolan kami mengalir, dan dia berhasil membuatku sedikit tertawa. Lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan suasana klub ini. Bahkan ketika Ryan mengajakku bergabung dengan Mira dan Diana, aku pun mengiyakan. Meskipun suasananya panas dan gerah, aku merasa lebih nyaman karena teman-temanku ada di sekitarku.
Setelah puas, kami kembali ke sofa. Aku membuka kemeja yang basah oleh keringat, menyisakan crop top hitam yang kukenakan. Meski suasana masih gerah, aku merasa santai. Tak ada yang mempermasalahkan, bahkan ketika Ryan dan temannya melirik ke arahku, mereka tidak berbuat macam-macam.
Singkat cerita, kami memutuskan untuk pulang. Di parkiran, kami berpisah dengan Ryan dan temannya. Sebelum berpisah, mereka sempat mengajak kami untuk party lagi, dan Diana mengiyakan. Aku dan Mira akhirnya pulang ke kosannya karena waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.