Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Semuanya sudah terlanjur terjadi. Tidak bisa diulang lagi. Yang ada hanyalah penyesalan yang menghantui.
Yang hanya bisa dilakukan adalah memperbaiki semuanya. Berdamai dan meminta maaf.
1 Minggu lamanya Ara terbaring di ranjang ICU. Tidak ada perkembangan yang terlalu kentara. Ayah Gama, Marvel dan Geo selalu diliputi oleh rasa bersalah. Ingin meminta maaf pada Ara pun rasanya percuma karena gadis itu belum sadar, dan juga mereka tidak yakin jika Ara akan memaafkan kesalahan mereka.
Begitupun Mom Bella yang langsung mendatangi Ara setelah Sofia ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun.
Semua orang berharap Ara sadar. Namun, di sisi lain, Ara terlihat betah di dalam alam bawah sadarnya. Ara enggan membuka matanya karena sudah cukup dia diberi rasa sakit terus menerus. Entah keindahan apa yang ada di sana, sampai Ara tak mau membuka mata.
Semenjak itu juga, Gevan yang mengurus izin sekolah Ara. Untung saja dia sudah membeli sekolah itu. Dans seluruh murid di sana juga sudah tau kebenaran tentang Ara.
...• • • • • •...
Seorang gadis memakai gaun putih yang begitu indah sedang duduk di ayunan. Bibirnya menyunggingkan senyum manis yang belum pernah dia tunjukkan pada siapapun.
"Di sini pemandangannya bagus banget, Bunda. Ara betah," ucapnya pada sang Bunda yang sedang mendorong ayunan yang dia duduki.
"Tapi kamu gak bisa lama-lama di sini, sayang. Kamu harus pulang," ujar Bunda.
Alis Ara mengerut tak suka, "Kenapa? Pokoknya Ara mau di sini aja sama Bunda!"
Bunda menghentikan pergerakannya mendorong ayunan, dia berlutut di depan Ara seraya memegang tangan putrinya itu.
"Kamu harus pulang, Nak. Nanti kita bertemu lagi kalau sudah waktunya. Sekarang bukan saatnya kamu lama-lama di sini," kata Bunda.
Ara cemberut menatap Bunda Kinara, "Gak mau, Bunda! Ara maunya di sini sama Bunda. Nanti Bunda pergi lagi gimana?"
"Bunda gak akan pergi, sayang. Bunda selalu ada di samping kamu, selalu jagain Ara."
Tiba-tiba mata Ara berkaca-kaca. Sungguh, dia tidak mau kembali ke dunianya. Ara hanya ingin bersama Bunda saja.
"Nggak mau, Bunda..." rengeknya hendak menangis.
Bunda Kinara tersenyum tipis, ia bergerak memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang. Pelukan yang tak pernah Ara dapatkan selama ini. Itulah yang membuat Ara tak mau pulang. Dia ingin berlama-lama dengan Bunda dan berpelukan sambil tidur.
"Kalau kamu gak nurut begini, Bunda jadi sedih... Ara mau Bunda sedih, hm?" Wanita cantik itu bicara dengan nada lembut, seolah sedang berbicara pada anak kecil.
Ara menggeleng. Dia juga membalas pelukan bundanya dengan erat.
"Nah, kalau gitu Ara harus nurut, oke? Nanti kita pasti akan ketemu lagi, kok," kata Bunda masih membujuk sang putri.
"Janji, ya?"
Bunda melepas pelukannya dan menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Ara.
"Janji! Bunda akan selalu datang ke mimpi Ara dan selalu ada di samping Ara," ujar Bunda Kinara.
Ara tersenyum manis, dia menunjuk pipinya, mengode agar Bunda mencium pipinya.
Dengan senang hati Bunda Kinara menuruti Ara. Dia mencium kedua pipi anaknya, lalu keningnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
...• • • • • •...
Dengan mata masih terpejam juga kondisi yang sedang koma, tiba-tiba air mata Ara mengalir.
Dua orang dokter yang menjaga di sana pun terdiam dan saling menatap saat melihat pemandangan itu. Sebenarnya itu adalah reaksi yang sering mereka temui, dan tandanya kondisi pasien mereka sudah mulai ada kemajuan alias membaik.
"Tetap pantau keadaannya," ucap salah satu dokter.
"Baik, Dok," sahut yang satunya.
****
Sejak Ayah Gama mengatakan kalau dia akan belajar menerima Ara, saat itu juga Ayah Gama, Marvel dan Geo sering pulang atau lebih tepatnya mereka kembali tinggal di rumah. Mereka juga tidak menerima pertemuan di luar kota karena ingin tetap memantau kesehatan Ara.
Mbak Tuti masih bekerja di sana sebab Gevan tak menyuruhnya pergi. Dia bekerja di rumah Ara tapi yang menggaji adalah Gevan.
Suasana rumah tetap sepi meskipun ada ketiga pria itu, bahkan lebih sepi dibandingkan saat Ara berada di sana. Biasanya gadis itu akan teriak-teriak dan bercanda dengan Gevan, tapi kali ini sangat sepi.
Ayah Gama, Marvel dan Geo pun hanya berinteraksi seperlunya. Seperti saat sarapan, makan malam, dan duduk di ruang keluarga bersama. Tidak ada obrolan penting di antara mereka.
Pengaruh Ara memang sebesar itu. Sayangnya mereka baru menyadarinya sekarang.
"Malam ini Ayah mau jenguk Ara. Kalian ikut?" tanya Ayah Gama pada kedua putranya. Saat ini mereka sedang makan malam di rumah.
"Ikut," sahut Geo. Sedangkan Marvel memilih menganggukkan kepalanya sebagai respon.
"Semoga kondisi Ara semakin membaik, ya," kata Ayah Gama.
Geo dan Marvel mengangguk mengiyakan.
Belajar menerima semuanya itu cukup sulit untuk mereka. Di sini mereka berempat sama-sama tersakiti, tapi ternyata Ara lah yang lebih tersakiti. Dan mereka baru menyadarinya. Itu sebabnya mereka ingin berdamai mulai sekarang. Semoga saja tidak terlambat.
****
Gevan segera menuju rumah sakit setelah mendengar kabar dari dokter kalau sudah ada kemajuan tentang kondisi Ara.
Berlebihan memang, tapi itulah yang ingin Gevan dengar selama ini. Dia selalu menunggu Ara sadar, entah kapan, yang terpenting Ara kembali membuka matanya.
"Untuk sementara anda tidak diperkenankan masuk, Pak. Demi kebaikan pasien," ucap dokter.
Gevan menghela nafas berat. Padahal dia ingin sekali bertemu Ara. Pada akhirnya ia pun mengangguk pasrah dan memutuskan pergi ke kantin rumah sakit untuk menenangkan diri.
Semua pekerjaannya dia serahkan pada Nike.
Gevan memesan es americano dan duduk di kursi pojok agar tidak ada yang mengganggunya. Dia akan menunggu di sana sampai dokter mengabarinya lagi.
Selama Ara koma, hidup Gevan semakin suram. Tanya saja Nike kalau tidak percaya. Nike adalah saksi kesuraman hidup Gevan. Tak jarang Gevan melamun dan menyendiri. Gevan juga lebih sering bicara seadanya dan malas menjelaskan. Jadi, akhir-akhir ini Nike harus bisa memahami apa yang dikatakan bosnya.
***
LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘