Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 13
*MENIKAHLAH DENGANKU 200 H**ARI*
Maxi masih mencengkram erat pergelangan tangan Nadine. Jarak mereka sangat dekat hingga hidung mancung Maxi terkadang menyentuh kepala Nadine yang terus mencoba meronta.
“Hikss-- tolong lepaskan aku.” Mohon Nadine masih menangis dan enggan menatap mata Maxi.
“Berapa kali pun kamu kabur, kamu tidak akan pernah bisa.” Wanita itu mendengarkan, namun dia masih menunduk.
Ericsson sudah menatap marah ke arah Maxi dan Nadine. Dalam benaknya-- kenapa keponakannya itu tidak langsung membunuhnya? Padahal gadis itu tahu dan juga saksi. Ericsson geram sendiri melihat perilaku Maxi yang tidak seperti biasanya.
Pria ataupun wanita, muda atau tua Maxi akan langsung membunuh mereka jika ada seseorang yang membangkang, kabur darinya ataupun mengetahui sesuatu. Tapi kali ini sangat berbeda.
“Tatap aku penulis.” Pinta Maxi. Nadine menggeleng, menolak perintahnya.
Tolakan Nadine mempererat cengkraman di pergelangan tangannya sendiri, hingga akhirnya dia memilih menatap manik abu-abu tersebut yang penuh amarah dan kesedihan. Nadine dapat melihat jelas tatapan seperti itu, tapi kenapa?
Sedangkan Maxi juga melihat ke dalam manik mata cokelat milik Nadine yang kini berair dan merah. Tak ingin berlama-lama kalut kedalam tatapan tadi, Maxi mulai menariknya dan mengajaknya masuk kembali ke Mansion. Tidak peduli meski pamannya berdiri di sana dengan tatapan marah dan tidak setuju.
Suara permohonan Nadine terus menggema di seisi ruangan. Kini tubuhnya benar-benar kehabisan tenaga untuk bisa melawan seorang Maxi. Pria angkuh itu masih tuli dan tidak mau mendengarkan suara permohonan serta rintihan dari Nadine.
Nafas Maxi tersengal ketika dia menarik tangan Nadine dan melemparnya, lalu berjalan mendekatinya dan langsung mencengkram kedua pipi Nadine dengan satu tangannya, sementara tangan lainnya ia buat menahan lengan tangan Nadine.
Gadis itu masih terisak, dan kini dia sudah membuat amarah Maxi berpuncak.
“Aku sudah memperingati mu sejak awal, dan kali ini aku tidak suka mengulang kembali kata-kata ku.” Tegas Maxi menggerakkan gigi-giginya. Nadine masih menatapnya arogan sampai dia mulai mendorong kasar dada pria itu sehingga mereka berjarak lagi.
“AKU TIDAK MAU DAN AKU TIDAK PEDULI DENGAN PERINTAHMU. HAH- HAH- HAH- AKU NADINE!!! Tidak akan pernah patuh kepada siapapun.” Gadis itu benar-benar sudah lepas kendali dan mungkin bosan hidup.
Tak tahu harus berbuat apalagi. Maxi hendak membalasnya tiba-tiba Zero datang memberitahunya bahwa sang paman ingin bicara serius dengannya.
Sebelum pergi, Maxi menoleh ke Nadine memberikan tatapan peringatan lalu bergegas pergi dan tidak lupa juga mengunci ruangan tersebut juga menyuruh enam penjaga stay di depan pintu tersebut.
Lagi, Nadine di kurung di kamar dan tinggalkan sendirian.
Sementara dalam hati, Maxi merutuki pamannya yang selalu saja membuatnya pusing.
.
.
.
Langkah Maxi terus berjalan sampai dia memasuki ruang kerjanya, dimana Ericsson sudah menunggunya di sana.
Karena rumahnya sangat besar sehingga butuh 1 setengah menit untuk sampai di ruangan tersebut. Kamar Nadine sendiri berada di ujung lorong, sedangkan ruang kerja Maxi berada di tengah-tengah, sungguh membingungkan.
“Ada apa Paman?” tanya Maxi bersuara malas, berat nan kasar.
Ericsson segera berbalik dan melihat Maxi sudah berdiri di hadapannya.
“Apa gadis itu melihat semuanya?” Maxi masih diam mengamati pamannya dengan alis berkerut tak suka.
Ericsson sendiri memiliki ketakutan yang besar, firasatnya sangat buruk dengan kehadiran Nadine sekarang. Jika sampai Nadine mengetahui semuanya, maka tamatlah riwayatnya. Pertama kali dia melihat Nadine, wanita itu terlihat cukup tenang namun tanggap.
“Dia tidak perlu ikut campur.” Balas Maxi mencoba tenang.
“Tapi bagaimana jika dia kabur lalu membuka mulutnya dan mengatakan kepada semua orang tentang kita, pekerjaan kita dan semuanya yang dia ketahui Tomasso.” Maxi yang awalnya bersikap tenang, kini dia sudah mulai gerak sendiri.
Ucapan pamannya yang kini seperti hasutan setan baginya, namun dia juga tidak bisa menolak karena sejak awal dia hanyalah suruhan Ericsson. Juga balas budi atas semua yang pernah pria tua itu berikan untuknya.
Tiba-tiba Ericsson memberikan pistol ke tangan Maxi sambil menatapnya penuh harapan. “Kau harus membunuhnya sekarang juga. Kita tidak bisa mempercayai orang asing.”
Pria yang saat ini sedang berpikir, hanya bisa diam menerima pistol yang berada di tangannya. Ericsson yang masih takut jika sampai Maxi membangkang, lagi dan lagi dia terus memberinya hasutan serta dorongan untuk membunuh.
“LAKUKAN TOMASSO!” Maxi langsung menoleh dan menatap Ericsson sangat tajam penuh kemarahan. Bahkan hanya mendapat tatapan dari Maxi saja sudah membuat Ericsson ketakutan serta panik.
“Namaku Maxi. Maxi! Jangan pernah lupakan itu.” Ucap pria tampan yang saat ini rahangnya berkedut.
Tak butuh waktu lama, Maxi langsung pergi dari sana sambil membawa pistol di tangannya. Zero yang menjaga di luar ruangan tadi, tahu apa yang bosnya akan lakukan. Terkadang pria muda berkulit putih itu kasihan melihat bosnya yang selalu terlihat tertekan di saat pria gagah tanpa senyuman itu merasa lelah.
Ceklek! Pintu terbuka. Nadine yang tadinya duduk di kursi, langsung berdiri waspada ketika melihat kedatangan Maxi dengan satu pistol perak di tangan kirinya, berjalan santai ke arah Nadine tanpa senyuman.
Apakah dia akan mati?
Nadine mencoba melangkah mundur, berharap dia bisa menghindari pria gila yang ada di depannya saat ini.
“Ap-apa yang akan kamu lakukan?” tanya gugup Nadine.
Di saat punggungnya mulai mentok ke dinding, barulah Maxi mengehentikan langkahnya dan menyodorkan pistol mengarah ke kepala Nadine. Tentu saja gadis itu tersentak dan mengangkat kedua tangannya.
“Apa yang kamu lihat?”
Kedua mata Nadine tertutup lemah, saat dia membuka kembali lagi-lagi air matanya menetes. “Tidak ada.” Jawab Nadine menggigit bibir bawahnya.
Tangan, kaki semuanya sudah gemetar ketika pistol masih mengarah di kepalanya. Kapan saja Maxi bisa melepaskan pelatuknya, atau tanpa sengaja jari telunjuknya menyentuh pelatuk tersebut.
“Katakan. Sebelum aku membiarkan peluru ini bersarang di kepalamu. KATAKAN!”
“Hiksss-- y-yaa, ak-aku melihat mu membunuh hiksss. Wanita itu hfffuuu..” Rasanya sesak sekali saat Nadine berusaha mengeluarkan suaranya. Maxi masih memperhatikan betapa ketakutannya gadis di depannya saat ini.
Awalnya menunduk, kini Nadine memberanikan diri untuk menatap Maxi. Berjalan mendekatinya dan memegang pistol tersebut, mengarahkannya ke dadanya.
“Aku mohon jangan lakukan hikss. Aku-aku yakin kamu masih punya hati Maxi hikss, biarkan aku pergi... Aku mohon hikss.” Nadine masih menangis sesenggukan.
“Sayangnya hatiku sudah mati.” Pria itu masih menatapnya datar mendorong Nadine sampai dia kembali menjauh dari pistolnya.
Maxi mengarahkan kembali senjata tersebut ke kepala Nadine.
“Baik. Ayo lakukan, bunuh aku dan tunjukkan bahwa kamu benar-benar seorang monster hikss, ayo lakukan, aku ingin merasakan bagaimana rasanya di bunuh oleh seorang monster sepertimu.” Kedua alis Maxi berkerut heran.
“Tapi ingat satu hal. Kematianku tidak akan pernah membuatmu hidup tenang Maxi Ed Tommaso.” Ancam balik Nadine pasrah. Gadis itu mulai berdiri tegak dan menutup matanya. Dia lebih baik mati daripada tinggal bersama pria seperti Maxi.
Dadanya naik turun ketika dia menunggu rasa sakit yang akan bersarang di kepalanya. Pria bernama Maxi itu menatap wajah Nadine penuh emosi.
Daarrr!
Suara tembakan berbunyi nyaring bersamaan dengan pecahan kaca jendela yang terkena peluru tersebut.
Nadine tidak merasakan sakit di kepala maupun bagian tubuh lainnya. -‘Apa aku sudah mati?’ batinnya. Ia mulai membuka matanya dengan perasaan takut tak karuan, melihat pistol perak yang masih mengacung ke arahnya dengan asap keluar dari bibir pistol.
Maxi menurunkan pistol tersebut, melangkah satu langkah ke depan dengan wajah datar dia mengatakan, “Menikahlah denganku 200 hari. Aku pastikan tidak akan ada yang berani menyentuh mu termasuk pamanku.”
Nadine terdiam, kaget dan syok mendengar tawaran tersebut. Menikah dengan pria sepertinya sama saja menyambut kematiannya sendiri setiap harinya.
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..