Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Tak Bisa Menuntut
Edward tertawa kecil, suara rendah yang dipenuhi ironi.
"Tamparannya keras juga," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Lalu, matanya kembali menatap kosong ke luar jendela.
Laras berbeda.
Dari semua wanita yang pernah ia dekati, tak satu pun yang berani menolaknya sejauh ini. Tak satu pun yang punya keberanian untuk mempermalukannya di depan banyak orang.
Dan justru karena itu...
Aku semakin menginginkanmu, Laras.
Edward meremas gelas minuman di tangannya, matanya berkilat tajam.
Kekalahan ini tidak akan dibiarkannya begitu saja. Jika Laras berpikir ia bisa lepas darinya dengan semudah itu, gadis itu salah besar.
Permainan ini baru saja dimulai.
***
Di dalam kamar rumah sakit yang sunyi, Bayu membuka matanya perlahan. Lampu temaram di langit-langit menyilaukan matanya yang telah lama terpejam. Rasanya seperti baru lahir kembali—tapi tubuhnya terasa berat, setiap ototnya lemah, dan pikirannya masih samar.
Butuh waktu baginya untuk memahami bahwa ia terbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan berbagai selang infus dan alat pemantau detak jantung di sekelilingnya. Perlahan, ingatan kembali—tentang Laras, tentang Boni, tentang semua perjuangan mereka demi menyelamatkan hidupnya.
Ia berusaha menggerakkan jarinya. Sedikit. Lalu lebih banyak. Ia masih hidup. Tapi… kenapa?
Malam itu, suara langkah kaki terdengar memasuki kamar. Bayu menoleh dengan lemah. Sosok pria berusia paruh baya berdiri di ambang pintu, mengenakan jas mahal yang rapi, namun wajahnya terlihat jauh lebih tua dari terakhir kali Bayu mengingatnya.
Shailendra.
Ayahnya.
Mata pria itu dipenuhi perasaan yang sulit dijelaskan. Bayu tidak tahu harus merasa bagaimana. Dendam? Marah? Tidak peduli?
Shailendra melangkah mendekat dan menatap Bayu dengan mata berkaca-kaca. “Akhirnya kau sadar…” suaranya lirih, nyaris bergetar. “Kau tidak tahu betapa leganya Papa melihatmu membuka mata.”
Bayu menatapnya datar. Dadanya terasa sesak, bukan karena penyakit, tapi karena emosi yang terpendam begitu lama.
Ia menarik napas, lalu berkata pelan, tapi tajam, “Kenapa Papa repot-repot menyelamatkan aku?”
Shailendra terdiam.
Bayu menatap pria itu dengan ekspresi kosong. “Bukankah aku anak yang Papa benci? Anak yang menyebabkan wanita yang Papa cintai mati? Seharusnya aku dibiarkan mati saja.”
Wajah Shailendra menegang. Rasa bersalah yang selama ini ia coba lupakan kini menamparnya keras.
“Bayu…” Shailendra menghela napas panjang. Ia duduk di kursi di samping tempat tidur Bayu, menunduk dalam. “Papa tidak bisa mengubah masa lalu. Papa tahu Papa salah telah membencimu. Kau tidak tahu apa-apa waktu itu… tapi Papa terlalu buta untuk melihat kenyataan.”
Bayu tersenyum miring, penuh kepahitan. “Terlalu sibuk mengurus istri baru dan anak baru?”
Shailendra mengangkat wajahnya, menatap Bayu dengan sorot mata lelah. “Anak itu… bukan anak Papa.”
Bayu mengerutkan kening.
Shailendra menegakkan tubuhnya, suaranya terdengar getir. “Papa sudah diperdaya selama bertahun-tahun. Papa percaya pada wanita itu, membiarkan dia membuat Papa membenci anak Papa sendiri. Papa tidak pernah berpikir untuk mencari kebenaran… karena kebencian Papa padamu terlalu besar."
Ia tersenyum pahit. “Tapi akhirnya Papa sadar… bahwa Papa bodoh.”
Bayu tidak segera merespons. Ada kejutan dalam dirinya, tapi juga ada perasaan tak peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa simpati.
Shailendra melanjutkan, suaranya lebih pelan, lebih tulus. “Papa tahu permintaan maaf Papa tidak akan mengubah apa pun. Papa tidak bisa mengembalikan waktu. Tapi sekarang, Papa ingin memperbaiki semuanya.”
Bayu menatap pria itu lama. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pria ini memang terlihat menyesal. Tapi apakah penyesalan itu cukup?
Ia menarik napas dalam dan membuangnya dengan berat. “Papa datang setelah aku hampir mati, setelah aku kehilangan banyak hal… lalu berharap semuanya bisa diperbaiki begitu saja?”
Shailendra tertunduk, tak mampu membantah.
Bayu tersenyum tipis, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. “Jangan berharap aku akan langsung menerimamu kembali.”
Shailendra mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa perlawanan. “Papa tidak berharap kau langsung memaafkan Papa. Papa hanya ingin kau tahu… bahwa aku masih ayahmu.”
Bayu menutup matanya, tidak ingin menanggapi lebih lanjut. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk menghadapi emosi sebesar ini.
Shailendra berdiri perlahan, menatap anaknya dengan penuh penyesalan. “Istirahatlah. Papa akan kembali besok.”
Saat pintu tertutup di belakangnya, Bayu menatap langit-langit dengan mata kosong. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apa ia masih punya tempat untuk pulang?
Dan jika ia pulang… akankah semuanya masih sama?
***
Boni mengendarai motornya di jalanan malam yang lengang, pikirannya penuh dengan hitungan waktu dan uang. Sedikit lagi, hanya beberapa bulan lagi—ia bisa menebus rumahnya dan menabung untuk mencari Bayu.
Namun, dalam sekejap, semua berubah.
Dari bayangan gelap di tepi jalan, seekor kucing berlari panik, dikejar kucing lain yang lebih besar. Boni hanya punya sepersekian detik untuk bereaksi.
"Sial!"
Refleks, tangannya membanting setang ke kiri, menghindari tabrakan. Tapi malang, roda motornya malah terjebak di lubang jalan yang tak terlihat.
Brakkk!
Motor kehilangan keseimbangan. Boni terpelanting ke udara! Tubuhnya melayang seolah waktu melambat, sementara aspal semakin mendekat dengan kecepatan mengerikan.
Gedebuk!
Bahu dan pinggangnya lebih dulu menghantam aspal, rasa nyeri menyengat tajam. Motor terseret beberapa meter, berputar liar seperti binatang sekarat.
Lalu suara lain yang lebih menakutkan menggema di telinganya.
Klakson panjang. Decitan ban.
Boni mendongak dengan napas tersengal. Matanya membelalak.
Dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju cepat. Sopirnya jelas sudah melihatnya, tapi jaraknya terlalu dekat—terlalu cepat!
BRAAKK!!!
Dalam sekejap, suara tabrakan mengguncang udara. Motornya hancur terlindas ban raksasa. Kilatan cahaya dari lampu jalan menangkap serpihan besi dan plastik yang beterbangan.
Boni tergeletak, napasnya terputus-putus. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangannya mulai kabur, suara-suara samar bercampur dengan jeritan orang-orang yang mulai berkerumun.
Darah mengalir hangat di pelipisnya. Bayu… rumah… semuanya…
Pikirannya perlahan tenggelam dalam kegelapan.
***
Boni terbangun dengan kepala masih berdenyut, tatapan kosong menatap langit-langit rumah sakit. Tubuhnya terasa berat, terutama di bagian kaki yang kini terbungkus gips tebal. Rasanya seperti ada batu besar yang menindihnya.
Saat ia mencoba bergerak, rasa nyeri menyengat membuatnya meringis.
"Pelan-pelan, Pak, jangan banyak gerak dulu," suara seorang perawat menghentikannya. Boni memaksakan diri untuk mengamati sekeliling, dan saat itu dokter masuk, membawa berita yang akan semakin menambah penderitaannya.
"Kabar baiknya, Anda selamat. Tapi..." dokter itu berhenti sejenak, membaca ekspresi Boni sebelum melanjutkan, "kaki kanan Anda patah dan harus digips selama beberapa bulan ke depan. Anda juga butuh terapi agar bisa berjalan normal lagi."
Boni menarik napas dalam, mencoba mencerna. Oke, patah kaki. Bukan yang terburuk. Bisa sembuh.
Tapi dokter belum selesai.
"Dan… motor Anda hancur total. Tidak bisa diservis lagi."
Boni langsung mendongak. "Apa?!"
Dokter itu menghela napas, tampaknya sudah terbiasa dengan reaksi pasien yang baru sadar akan kehilangan besar.
"Kami sudah menghubungi pihak kepolisian untuk laporan kecelakaannya. Tapi ada satu hal lagi, Pak Boni."
"Apa lagi?!" suara Boni meninggi, rasa frustrasi mulai memuncak.
Saat itu, seorang petugas kepolisian masuk, membawa catatan di tangannya.
"Saya dari kepolisian, Pak. Berdasarkan laporan saksi mata dan rekaman CCTV, kecelakaan Anda terjadi karena Anda menghindari kucing yang sedang kejar-kejaran di jalan. Sayangnya, dalam kasus seperti ini, Anda tidak bisa menuntut ganti rugi kepada pengendara truk. Kecelakaan ini murni karena keputusan Anda sendiri."
Boni terdiam. "Jadi… siapa yang harus saya tuntut? Kucingnya?"
Petugas itu menatapnya dengan ekspresi simpati. "Kalau kucingnya punya pemilik dan Anda bisa membuktikan bahwa itu kucingnya, mungkin bisa dibahas. Tapi mengingat kejadian ini terjadi di jalanan umum dan kucing tersebut bisa saja kucing liar… saya rasa tidak ada yang bisa Anda mintai pertanggungjawaban."
Boni menatap langit-langit. Sial.
Rumahnya masih tergadai. Tabungan baru terkumpul sedikit. Motornya, satu-satunya alat transportasi untuk bekerja, hancur tanpa bisa diperbaiki. Lebih buruk lagi, kakinya harus digips selama berbulan-bulan dan ia masih harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali.
Dan semua ini gara-gara kucing yang sedang mabuk asmara!
...🍁💦🍁...
.
To be continued