Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sepanjang malam Balqis tak bisa tidur, bahkan jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul empat. Dia terus memutar dirinya hingga akhirnya terduduk dan mengulangi hafalannya.
"31. wa may yaqnut mingkunna lillāhi wa rasụlihī wa ta'mal ṣāliḥan nu`tihā ajrahā marrataini wa a'tadnā lahā rizqang karīmā.
wa qarna fī buyụtikunna wa lā tabarrajna tabarrujal-jāhiliyyatil-ụlā wa aqimnaṣ-ṣalāta wa ātīnaz-zakāta wa aṭi'nallāha wa rasụlah, innamā yurīdullāhu liyuż-hiba 'angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum taṭ-hīrā." Balqis mengulangi hafalannya juz 22 dalam Al Qur'an.
"Kamu melupakan ayat 22." gumam Fatih membuat Balqis terbelalak. Suara suaminya mengagetkan dirinya yang sedang fokus.
"Kamu tidak tidur?"
"Bagaimana aku bisa tidur jika kamu terus bolak balik dalam tidurmu."
"Bagaimana itu bisa menganggumu, sementara kita tidak tidur dalam satu ranjang."
"Suara tentangan di selimutmu menggangguku."
"Berhentilah membual." kata Balqis dengan muak.
"Sopanlah ketika berbicara dengan suamimu!" titah Fatih membuat Balqis terdiam. Dia tidak ingin memperpanjang permasalahan sebelum suara mereka terdengar di kamar Yasmine, karena kamar mereka hanya di batasi oleh dinding.
Fatih terduduk di kasurnya melihat Balqis yang juga duduk di sofa dengan pandangan yang menghadap ke arahnya. "Kamu tidak ingin tidur disini? Kita tukaran saja jika sofa itu membuatmu tidak nyaman."
"Bukan sofa yang membuatku tidak nyaman. Tapi keberadaanmu di kamar ini yang membuatku tidak nyaman." balas Balqis.
"Kalau begitu, maaf. Aku tidak bisa membantumu." Fatih kembali membenamkan dirinya di atas kasur empuk.
Balqis membuka mushafnya pada juz 22, benar saja. Dia melewatkan satu ayat pada hafalannya tadi. Bagaimana pria itu bisa tahu? batin Balqis. Dia melihat pria yang tertidur tidak dengan balutan selimutnya, takut Fatih masuk angin dan menggigil. Balqis menaikkan suhu pendingin ruangan.
"Apa besok kita akan langsung pulang ke pondok?" mengetahui Fatih belum tertidur, Balqis mengangkat pembicaraan.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya kita akan ke rumahku lebih dulu."
"Kapan kak Fatih berangkat ke Cairo?" tanya Balqis melihat punggung Fatih yang mebelakanginya.
"Kamu ingin secepatnya aku pergi, agar kamu bisa bebas?"
"Maksudnya bebas seperti apa? Apa di pondok pesantren kamu pernah melihat kamu bebas?" Balqis berkecak pinggang dengan satu tangan, sedangkan tangan kanannya memegang kepalanya. Dia tidak menyangka pertanyaannya membuat Fatih salah paham.
Tak ingin berlama-lama dalam satu kamar, Balqis meninggalkan Fatih di dalam kamar sendirian.
"Aku muak, sangat muak. Ini baru satu malam, begaimana dengan malam berikutnya?" gumam Balqis dalam kegelapan malam, karena lampu di lantai dua yang sengaja di padamkan. Dia kemudian duduk sendiri di sofa dengan pikiran yang melayang. Usianya yang baru menginjak depan belas tahun tapi Balqis jauh lebih dewasa di bandingkan remaja lainnya.
Balqis bangkit dan membuka pintu kamar dengan kuat. Tapi kedatangannya tidak tepat waktu, Fatih menampilkan tubuh atasnya dengan polos. Sedangkan tubuh bawahnya masih terlilit oleh handuk. Rambutnya basah dan masih menitikkan air.
"Apa yang kau lakukan? Tidak bisakah kamu memakai pakaian di kamar mandi?" protes Balqis menahan nada suaranya agar tidak menimbulkan kebisingan. Kedua tangannya menutupi matanya.
Sedangkan Fatih masih terlihat santai dan tidak merasa terganggu dengan apa yang dia lakukan.
"Memangnya aku salah? Bukan aku yang salah tapi kamu. Tadi kamu tidak ada di kamar ini, jadi aku bisa melakukan apa saja. Makanya, ketuk pintu dulu sebelum masuk di kamar orang." umpat Fatih seraya membuka lemarinya.
"Mengetuk pintu? Sebenarnya siapa yang punya kamar. Anda itu hanya menumpang disini."
Baju Fatih sudah berada di genggamannya, pria itu berjalan dan berdiri tepat di depan istrinya berada. "Bukannya kamu juga menumpang? Bukannya ayahmu sudah mengusirmu dari rumah ini? Berarti kita sama-sama menumpang. Strata kita sama! Camkan itu." ucap Fatih sambil memakai bajunya. "Aku sudah pakaian, buka matamu." katanya dengan dingin. Balqis membuka matanya, maniknya yang kebiruan menyusuri tubuh Fatih hingga ke bawah.
"Kenapa masih pakai handuk?"
"Memangnya kenapa?"
"Kamu menodai mataku."
Fatih berdecak, bibir kanannya menyunggingkan sebuah senyum jahat. "Jangan sok suci, aku adalah suamimu. Handuk yang aku pakai ini akan aku buka di depan wajahmu juga tidak akan menodai matamu. Apa kamu tidak pernah belajar?"
Dalam perjalanan rumah tangga, setiap pasangan suami istri pada dasarnya sedang belajar bagaimana beradaptasi dan berkolaborasi menuju keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Bukan hanya diisi dengan canda tawa, tak jarang terjadi pertengkaran di dalamnya hal yang wajar. Salah satunya karena bersatunya dua kepala yang memiliki pemikiran yang berbeda.
Balqis mengangkat kedua tangannya di udara, kemudian kembali duduk di atas sofa. Energinya terasa habis meladeni Fatih. Dia jengah dengan sifat pria itu.
Balqis terus menatap tajam objek yang ada di depannya dengan kedua tangan bersedekap. "Kenapa mandi pada jam seperti ini? Lalu tolong, keringkan rambutmu itu. Rambut basahmu akan membanjiri kamar ini."
Fatih menoleh melihat istrinya dari ke jauhan. "Oh tolonglah. Apa kamu benar-benar secerewet ini? Telingaku sakit mendengar suaramu baikan kaset yang rusak. Tolong izinkan aku bernafas dengan tenang." Fatih memelas dengan ujung alisnya yang turun ke bawah.
"Cih.... Apa kamu mengira aku senang mendengar suaramu yang bagaikan serigala mengaung?"
"Aku mandi agar orang tuamu mengira bahwa kita sudah melakukan hubungan suami istri. Mereka akan tenang melihat rambutku yang basah pada subuh hari. Apa kamu tidak mengerti akan hal itu?"
Lagi-lagi Balqis memutar bola matanya karena penjelasan yang di berikan oleh suaminya. "Tidak perlu membohongi mereka, satu kebohongan akan mengundang kebohongan lainnya dan dosamu akan semakin menumpuk."
"Lalu apa yang harus kita katakan seandainya mereka menanyakan hal itu?" tantang Fatih.
Balqis berdiri menjauhi sofa, wanita itu hendak berjalan memasuki kamar mandi, "Mereka orang dewasa, hubungan suami istri bersifat pribadi dan bukan bahan perbincangan orang lain. Tidak mungkin papa dan mama akan menanyakan hal itu. Memangnya mereka bodoh." desis Balqis pada akhir kalimatnya.
Fatih berjalan ke arah Balqis, langkahnya mulai dekat dan sangat dekat membuat Balqis melangkah mundur kebelakang. Tapi Fatih terus berjalan pelan dan menatap wanita itu dengan tatapan tajam seakan ingin menerkamnya, dan hal itu membuat Balqis merasa ketakutan.
Fatih mendekatkan wajahnya pada wajah istrinya. Tak ingin terlihat takut, Balqis tidak memejamkan kedua matanya. Bahkan netranya seakan menantang Fatih.
"Kamu bilang mereka tidak akan bertanya?" kata Fatih dengan sangat pelan membuat Balqis meremang.
"I.. iya..." gugup Balqis menjawab. Tapi tetap memberanikan diri menatap dengan nyalang sang suami.
Fatih mengangguk beberapa kali, "mungkin itu orang tuamu. Bersiaplah, akan ada orang yang bertanya."
"Siapa?"
Fatih menjauhkan wajahnya dari Balqis. "Aku bilang akan ada."
"Lalu aku harus menjawab apa?" Balqis mulai bingung. Tak ada jawaban yang dia persiapkan untuk mengelabui seseorang yang akan bertanya tentang privasi rumah tangganya.
"Whatever." jawab Fatih sambil mengangkat kedua tangannya kemudian memasuki kamar mandi untuk mengambil air wudhu karena adzan subuh sudah berkumandang jelas di keheningan subuh.
"Kau tidak sholat?" Fatih menoleh dan melihat Balqis dengan ujung matanya yang masih berdiri memperhatikannya.
"Sholat."
"Kalau ingin berjamaah, lekaslah. Aku tidak ingin berlama-lama menunggu." gegas Balqis mengambil pakaian di dalam lemarinya, sepertinya wanita itu hendak mandi.
"Kamu mau apa?"