“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Pertengkaran Pengantin Baru
Nama yang tertera di layar membuat Chaca mengejek dalam hati. Adelia.
Wira meliriknya sekilas sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Ya?"
"Mas, kamu di mana? Ini udah jam sembilan malam. Aku sudah menunggu di rumah." Suara Adelia terdengar di seberang sana.
Wira menghela napas. "Aku tidak bisa pulang sekarang."
"Apa maksudmu Mas?" Nada suara Adelia berubah tajam. "Kamu di mana, masih di tempat acara?" Perasaan Adelia mulai tidak enak.
"Malam ini aku ke mansion orang tuaku," jawab Wira tenang.
Chaca memutar bola matanya, tahu betul mansion yang dimaksud adalah tempat di mana ia tinggal selama ini.
"Kenapa ke sana?!" Adelia mulai terdengar frustrasi. "Mas Wira! Aku nggak suka ini! Kenapa tiba-tiba mau ke sana?"
"Aku ada urusan," potong Wira cepat.
"Urusan apa?! Jangan bilang kamu mau menemui perempuan itu, kan, Mas! AKU TIDAK MENGIZINKANNYA!”
"Aku akan meneleponmu nanti."
Tanpa menunggu jawaban, Wira menutup teleponnya.
Chaca menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jadi begini cara Pak Wira mempermainkan kami berdua?"
"Apa maksudmu?"
"Anda punya istri yang sangat dicintai, Pak Wira. Kenapa masih memaksa saya untuk tetap tinggal? Jangan serakah jadi laki-laki, Pak!"
"Kamu tahu jawabannya," ucap Wira dingin. "Dan kamu harus menerima itu."
"Saya tidak akan menerima!" bentak Chaca. "Pokoknya saya akan tetap bekerja, saya akan tetap hidup dengan cara sendiri sendiri!"
"Kita lihat nanti," balas Wira dingin.
Mobil melaju cepat menuju mansion orang tua Wira, membawa dua hati yang dipenuhi dengan amarah dan perasaan yang semakin rumit.
***
Begitu mobil berhenti di halaman depan mansion, Chaca segera membuka pintu mobil dan keluar tanpa menunggu Wira. Ia melangkah cepat masuk ke dalam rumah, dadanya naik turun menahan amarah.
Wira menyusul dengan wajah tegang, menutup pintu mobil dengan kasar sebelum berjalan masuk dengan langkah berat.
Suara langkah kaki mereka menarik perhatian Mama Maryam, yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu. Wanita paruh baya itu terkejut melihat keduanya datang bersama. Lebih dari dua minggu Wira tidak pulang ke mansion ini sejak menikahi Chaca, dan sekarang tiba-tiba muncul dengan ekspresi penuh amarah.
"Astagfirullah, kalian kenapa? Kok bisa pulang barengan?" tanya Mama Maryam penuh tanda tanya.
Chaca langsung duduk di sofa tanpa berkata apa-apa, sementara Wira masih berdiri dengan rahang mengeras.
"Lihat sendiri, Mah, istri pilihan Mama ini ternyata lebih mementingkan kerjaannya daripada keluarganya!" Wira akhirnya bersuara, nadanya tinggi dan penuh emosi.
Mama Maryam mengerutkan kening. "Apa maksudmu, Wira? Kamu yang baru datang ke sini tiba-tiba bilang seperti itu?"
Wira menunjuk ke arah Chaca dengan gerakan kasar. "Dia bekerja, Mama! Bekerja di luar sana, padahal seharusnya dia tinggal di rumah mengurus Aqila!"
Mama Maryam menoleh ke arah Chaca. Wanita itu menatap Mama Maryam dengan mata berkaca-kaca.
"Lalu, kenapa kamu marah-marah? Apa salahnya Chaca bekerja?" Mama Maryam kini menatap putranya dengan tajam.
"Salah, Mah!" Wira bersikeras. "Istri itu tempatnya di rumah! Apalagi Chaca punya anak! Siapa yang akan mengurus Aqila kalau dia kerja?"
Mama Maryam menghela napas. "Kamu bicara seolah-olah kamu tahu bagaimana mengurus keluarga, Wira. Padahal, sejak menikahi Chaca, kamu bahkan belum pernah pulang ke sini!"
Wira terdiam, tapi ekspresinya tetap keras.
"Chaca berhak bekerja kalau itu yang dia mau," lanjut Mama Maryam. "Mama tidak melihat ada yang salah dengan itu. Di luar sana banyak kok ibu rumah tangga yang bekerja."
"Tapi dia meninggalkan Aqila, Mah!" Wira masih bersikeras. "Anaknya ditinggal, demi kerja!"
Chaca berdiri dengan mata memerah. "Saya tidak pernah meninggalkan Aqila! Saya bekerja untuk masa depan saya dan anak saya, yang tidak mungkin selamanya meminta kepada oma dan opanya, apalagi meminta dari Anda, Pak Wira!"
"Dan saya sudah bilang, kamu tidak perlu bekerja!" bentak Wira. “Saya akan menafkahi kamu!” lanjut kata Wira.
Chaca tertawa sinis. "Oh, jadi saya harus diam di rumah, bergantung padamu, sementara Pak Wira bisa hidup semaumu dengan istrimu yang lain?"
Wira mendengus marah. "Chaca—"
"Kalian berdua cukup!" Suara Mama Maryam meninggi, memotong perdebatan mereka.
Chaca terdiam, begitu juga Wira.
Mama Maryam menatap putranya dengan kecewa. "Wira, kamu tidak bisa terus mengekang Chaca seperti ini. Kalau dia mau bekerja, biarkan. Lagi pula, apa kamu bisa selalu ada untuknya dan Aqila?"
Wira menggertakkan giginya. "Tapi, Ma—"
"Tidak ada tapi tapi!" Mama Maryam menatapnya tajam. "Kalau kamu tidak bisa menjadi suami yang benar-benar mendampinginya, setidaknya jangan merampas haknya untuk berdiri di atas kakinya sendiri!"
Chaca menatap Mama Maryam dengan haru. Wanita paruh baya itu adalah satu-satunya yang membelanya saat ini.
Wira menghela napas kasar. "Baik! Kalau itu maunya Mama, lakukan sesuka kalian!"
Tanpa berkata lagi, Wira berbalik dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Chaca dan Mama Maryam di ruang tamu.
Chaca menutup matanya sejenak, menenangkan diri, sebelum berbisik pelan, "Terima kasih, Ma."
Mama Maryam meraih tangan Chaca, menggenggamnya erat. "Maafkan Mama. Kamu berhak bahagia, Nak. Jangan biarkan siapa pun mengatur hidupmu sepenuhnya."
Namun, Chaca tahu, pertengkaran dengan suaminya belum selesai.
***
Hati Wira masih kesal dan penuh amarah usai bertengkar dengan Chaca. Sejak ia mengganti pakaiannya dengan piyama, ia tampak mondar mandir di kamarnya. Sesekali ia menyugarkan rambutnya dengan perasaan frustrasinya. Adelia yang kembali meneleponnya tidak ia gubris, justru ponselnya dinonaktifkan.
“Sudah pandai dia menantangku. Dia pikir itu siapa! Dan siapa yang memberikan ide untuk bekerja! Bisa-bisanya ia bekerja di perusahaannya Hans!” gumam Wira kesal.
Langkahnya pun berhenti, ia menarik napasnya dalam-dalam seraya menatap pintu kamarnya. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Mama Maryam ada benarnya, ia baru datang kembali setelah acara pernikahannya dengan Chaca. Kemudian tidak meninggalkan kabar apa pun pada istri keduanya.
“Wira, boleh Mama masuk!” Suara Mama Maryam terdengar di luar kamar seringan dengan ketukan pintu.
Pria itu lantas kembali melangkah, dan membukakan pintu.
“Masuk Mah,” ujar Wira pelan.
Mama Marya masuk, kemudian duduk di sofa single, diikuti oleh Wira.
“Kamu ke mana aja selama ini ? Sibuk di rumah sakit? Sampai tidak bisa mampir sebentar menemui Chaca? Padahal kamu sendiri yang memilih Chaca dan mempercepat pernikahanmu dengannya. Jika jadinya seperti ini seharusnya kamu jangan berikan ide seperti ini pada Mama dan Papa. Mama pun tidak memaksakan kamu untuk menikahi adik iparmu kalau kamu merasa keberatan,” cecar Mama Maryam sedikit menaikkan intonasi suaranya.
Bersambung ... ✍️
lanjut