Only 200 Days Mr.Mafia
PERKENALAN, AWAL BERTEMU.
Bruggg! Sosok bertubuh mungil dengan balutan lingerie seksi warna merah maron berpadu kulit putih susu baru saja tidur terlentang di atas ranjang berukuran lumayan.
“Haaaa! Nyaman sekali!” desah Dita merasakan kain sutra seprei lembut yang membelai kulit putih susunya. Dita sosok wanita bertubuh mungil dengan balutan lingerie seksi tidak bisa menahan kegembiraannya. Dengan rasa yang nyaman dan nikmat, dia terbaring di atas ranjang kamar hotel mereka. Rasa bebas dan ketenangan nampaknya memenuhi dirinya.
Dita memang tampil provokatif, dengan make-up tebal yang menunjukkan kecantikannya.
April teman satu kamar Dita, tidak bisa menghentikan rasa kesalnya. “Hey Dita! Apa kau tidak bisa memakai pakaian sedikit sopan saat bersama-sama kami?” desaknya sambil mengernyitkan kening.
Berbeda dengan Dita. Wanita itu memiliki rambut keriting dan berkulit coklat dengan wajah yang manis. Meski dia tidak seprovokatif Dita, dia juga tidak bisa dikatakan sangat tertutup.
Dita mulai duduk menatap April dengan cemberut. “Kenapa? Sebentar lagi, kekasih tercintaku akan video call. Dan aku harus tampil sexy!” katanya dengan nada menggoda.
“Maklumi saja, April. Dita kan memang seperti ini.” Komentar wanita cantik lain yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya tergelung rapi, dan dia memilih pakaian yang lebih tertutup. Wanita itu bernama Nadine, dia memiliki kecantikan alami dan kerendahan hati yang mengagumkan.
Saat April menegur Dita, Nadine tersenyum sambil mencoba meredakan ketegangan.
“That's right! Tapi setidaknya, aku dan April sudah pernah merasakan...” Plok! Plok! Plok! Dita menyatukan kedua tangannya hingga berbunyi seperti dua orang tengah berhubungan badan. April tertawa kecil, sementara Nadine menggeleng malas dengan senyuman kecil. Teman kecilnya itu masih sama saja, berotak mesum.
Ya! Kedua temannya itu sudah pernah merasakan cinta dan apa itu ***, tapi bagaimana dengan wanita bernama Nadine? Dia selalu fokus ke buku-buku yang ia tulis seharian tanpa memikirkan dirinya sendiri yang kini sudah berusia 28 Tahun. Usia yang sangat matang untuk tahu dan mengenal cinta serta ***.
“Hm.. Aku akan bercinta dengan pria seperti di novel. Jika itu ada!” Nadine sangat yakin pria seperti ucapannya, tidaklah ada. Jari lentiknya meraih sisir, memberikan senyuman lebar ke arah Dita yang mengerucutkan bibir seksinya. Dertt! Derrttt! Tiba-tiba dering ponsel mengehentikan tawa tiga wanita tadi.
“Lihat. Kekasih tercintamu sudah memanggilmu!” ujar Nadine masih tersenyum bersama April. Dita langsung tersenyum lebar sambil membenarkan lingerie yang saat ini dia pakai, memposisikan p*y*d**anya agar lebih seksi dan masih tertutupi.
“Bagaimana, aku sudah seksi hah?!” bertanya sambil mengangkat kedua alisnya berulang kali. Nadine mengacungkan ibu jarinya hingga Dita mulai melakukan Video call bersama kekasihnya yang berada di negara yang berbeda. “Hay Seksi!” sapa Dita untuk sang kekasih, ketika ia sudah memposisikan layar ponselnya tepat di wajah. April yang mendengarnya cukup terkejut dan sedikit merinding sehingga wanita berkulit coklat itu melemparkan satu bantal ke wajah Dita.
Melihat tingkah temannya, Nadine hanya bisa tersenyum.
Setelah lima tahun berpisah karena kesibukan masing-masing, ketiga sekawan itu memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di kota Chicago, menciptakan kenangan indah untuk mereka simpan selamanya.
Tapi perbedaan dalam gaya berpakaian mereka tidak menghentikan persahabatan mereka. April dan Nadine adalah sahabat yang selalu mendukung Dita, terlepas dari tingkah perilakunya yang agak provokatif.
Nadine sendiri adalah seorang wanita pendiam, baik, tegas dan tidak takut apapun kecuali Tuhan. Dia cukup berani meski harus menghadapi sekelompok preman hingga berakhir babak belur, itu tak masalah selagi ia masih bisa bernafas. Dia seorang penulis, bukan penulis romantis, hanya penulis buku anak-anak yang sudah lebih dari 199 buku anak-anak yang ia tulis dan laris di pasaran atau kalangan anak-anak.
Kedua orang tuanya sudah meninggal. Nadine besar di panti asuhan, namun dia sangat di sayangi di sana. Alasan dia menulis buku anak-anak, karena dia suka anak-anak yang ada di panti asuhan seperti dirinya. Nadine ingin menghibur anak-anak di sana dengan cara membuat sebuah buku cerita yang penuh dongeng serta imajinasi, bukan kesedihan yang ada di dunia nyata.
Bisa di bilang, Nadine cukup beruntung meski dia besar dari keluarga asing yang sederhana tanpa memiliki kekayaan yang lebih. Dia juga tahu bahwa kematian kedua orang tuanya karena mereka dibunuh oleh sekelompok preman.
...***...
“DIMANA BOS KALIAN HAH? CIH, SUNGGUH PENGECUT MELIHAT JUMLAH KALIAN YANG LEBIH BANYAK TAPI SEBENARNYA MEMILIKI BOS YANG BERNYALI KECIL!” Seorang pria bertopi bundar dengan perlengkapan jas hitam dan sapu tangan hitam mulai tertawa terbahak-bahak, di ikuti oleh para anak buahnya yang masih mencoba menghina seorang pria tampan berkulit putih dengan setelan jas hitam yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan senyuman kecil seolah tawa orang-orang tadi hanyalah sebuah hiburan sesaat.
Dari arah belakang, sebuah mobil sedan warna hitam mengkilat terparkir rapi meskipun kecepatannya lumayan tinggi. Suara tawa tiba-tiba berhenti saat sosok pria bertubuh tegap, tinggi 189 cm, berjaket hitam kulit dengan kaos hitam, celana hitam dan sepatu kulit hitam. pria itu memiliki aura yang sangat gelap dan mencengkam di sekitarnya.
Rambut hitamnya tersisir rapi, mata berwarna abu-abu serta kulit eksotis yang ia miliki membuat siapa saja pasti berpaling ke arahnya.
Bodohnya, pria bertopi tadi terlalu meremehkan musuhnya. Kini, keenam anak buahnya terbungkam ketika mereka melihat sosok misterius yang mereka tebak adalah seorang bos dari pria tampan berkulit putih yang sedari tadi hanya tersenyum santai.
“Dia Darvilado. Pria yang ingin menggusur kita dari wilayah pelabuhan.” Jelas pria berkulit putih tadi ke sosok misterius yang digadang-gadang adalah bosnya. Tanpa sedikit terguncang, tatapan mata abu-abu tadi langsung tajam dan menusuk hingga ke saraf pria bertopi.
“Kalian pikir aku takut. Kalian sudah cukup lama menguasai seluruh pelabuhan ini, dan kini aku akan mengambilnya paksa.” Pria bertopi tadi sepertinya tidak sabaran ingin menguasai area pelabuhan yang mereka pijak saat ini.
Pria misterius pemiliki tatapan tajam tadi mulai berjalan perlahan lebih dekat, namun pria bertopi malah melangkah mundur satu kali dengan tubuh gemetar namun masih memaksa terlihat tegar. Keduanya hanya berjarak seinci saja, sampai...
“Aku sudah membunuh seseorang yang menguasai lebih dulu pelabuhan ini sebelum kau.” Bisikan itu seperti sebuah sayatan pisau yang harus di waspadai. Tanpa berani menoleh, pria bertopi tadi malah mengompol di celana.
“Si-siapa kamu?” tanyanya gugup dan ketakutan.
Pria beraura gelap itu mulai melingkari leher musuhnya dengan gerakan santai. Seperti ada paku di kakinya hingga dia yang terkunci tak bisa melawan atau berbicara. Anak buah yang lainnya hanya menatap ngeri ketika mereka sudah tahu siapa orang yang saat ini mereka hadapi dengan bodoh serta sombongnya.
“Maxi Ed Tommaso. Ingat itu.” krekk! Satu gerakan berhasil mematahkan tulang leher hingga nadi musuhnya. Darah segar keluar dari mulut pria bertopi yang saat ini sudah tak bernyawa.
Seluruh anak buahnya di buat ketar-ketir serta ngeri melihat pemandangan seperti itu. Hanya dengan tangan kosong dan wajah tenang berhasil membunuh seseorang.
“Zero!” suaranya begitu serak dan berat.
Pria berjas yang lebih tepatnya adalah tangan kanan sosok pria bernama Maxi tadi, mulai berjalan ke arahnya memberikan korek api, sementara pria bernama Zero mulai memerintahkan satu anak buah Maxi lainnya untuk segera menyiramkan air gas ke jasad pria yang saat ini tergeletak di atas tanah, tepat di bawah kaki Maxi.
Maxi menyalahkan cerutu sebelum ia mulai membuang korek api tadi ke jasad yang saat ini terbakar di depan matanya. “Kau urus sisanya.” Ucapnya datar lalu pergi lebih dulu.
“Baik Tuan.” Dengan patuh Zero segera memberantas habis sisa anak buah tadi dan menghilangkan jejak pembunuhan yang baru saja dilakukan oleh bosnya.
...***...
Hotel Four season
Malam mulai menyelimuti kota Chicago, kota yang sering kali disebut dengan kota kriminal serta mafia. Rasanya seperti berada di dunia novel.
Setelah makan malam bersama. Ketiga wanita yang berada di kamara hotel tadi, mulai melakukan kesibukan masing-masing seperti, April yang sibuk membaca novel di ponselnya sambil duduk di sofa singel dan Dita sendiri masih betah melepas rindu bersama sang kekasih lewat gadget sambil berbaring manja di atas kasur. Berbeda dengan kedua temannya tadi, Nadine berdiri di balkon luar, sibuk menyisir rambut panjangnya yang memiliki warna hitam pekat serta kilauan yang indah.
“Hemm... Nananana!!” sambil bersenandung Nadine menyisir ke depan semua rambutnya hingga kini dia menunduk lebih rendah. Berada di balkon saat malam hari kesejukannya berasa menusuk di kulit Nadine, apalagi dia berada di lantai lima belas, suasana gelap dan damai.
Dari arah gedung apartemen bernama Maxedto. Seorang pria tampan dengan rahang tegas dan rambut basah serta bathrobe putih menutupi tubuh telanjangnya yang terlihat keras dan berotot. Tidak lupa juga tatto di dada kirinya nampak mengintip.
Maxi Ed Tommaso 29 Tahun, atau yang biasa di kenal sebagai Monster pembunuh. Bagi kalangan orang-orang yang bekerja kotor seperti Mafia, kriminal, penjual narkoba, barang-barang ilegal serta minyak ilegal semuanya, bahkan para pengusaha. Tidak satupun orang-orang dari profesi tersebut yang tidak kenal dengan pria bernama lengkap Maxi Ed Tomasso.
Seorang mafia kejam, dingin, dan haus darah. Sangat cocok jika dia dijuluki sebagai Monster Mafia. Bahkan jika keluarganya sendiri yang melakukan kesalahan atau berani membohongi dirinya, maka dia tak segan untuk menghukum mereka dengan setimpal.
Pria itu meneguk segelas wine, sambil menatap lurus dari balkon yang saat ini ia pijak. Mata abu-abu yang selalu tajam kini terlihat penuh kesedihan dan lelah, sampai manik tersebut mendapat target untuk dia tatap saat ini.
Seorang wanita yang sibuk menyisir rambut di malam hari.
Tanpa di sadari oleh Nadine sendiri. Ia masih sibuk bersenandung sambil menyisir, mengibaskan rambut hitam pekat nan indah miliknya sambil tersenyum puas. Nadine sangat menyukai rambutnya.
Tanpa sengaja, Nadine melihat seorang pria dari arah yang cukup jauh. Memang, mengingat apartemen Maxedto dan hotel Four season saling berdempetan bak sepasang kekasih. Nadine menatapnya sejenak lalu berpaling mengernyitkan dahi. “Apa dia melihatku?”.
Rasanya seperti di pantau ketika Nadine mencoba mengintip sedikit. Dia mulai terkejut saat pria tadi masih menatapnya lekat tanpa berpaling. Untung saja jarak mereka sedikit jauh, tapi Nadine masih bisa melihat gerakan pria asing tadi seolah meneguk segelas minuman.
Dengan perasaan sedikit takut, akhirnya Nadine memutuskan untuk masuk dengan tergesa-gesa.
“Ada apa Nadine?” tanya April khawatir saat melihat wajah panik temannya. Melihat kekhawatiran kedua temannya, Dita akhirnya turut serta menghampiri mereka.
“Entahlah! Seorang pria di gedung sebelah terus menatap ke arahku. Tapi aku tidak yakin.” Jelas Nadine sedikit bergidik merinding.
“Coba aku lihat.”
“Jangan!” Secepatnya Nadine menghentikan April sebelum sesuatu mungkin terjadi.
“Mungkin saja dia iseng. Sudahlah, ayo tidur!”
“Atau mungkin cinta pada pandangan pertama?!” goda Dita masih saja bergurau. April menggeleng lalu segera ikut tidur di satu ranjang yang sama bersama kedua temannya tadi.
Sementara di gedung lain. Maxi terseringai ketika wanita tadi masuk seperti ketakutan. Dia sangat suka melihat seseorang takut ketika menatapnya. “Menarik!” gumamnya saat ia sudah mengetahui wajah wanita misterius tadi yang cukup cantik dan menarik baginya.
Maxi tidak pernah tahu bahwa dia akan menghadapi wanita yang sulit nantinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
Lilik Anggraeni
aku baru baca nih Thor
dan seketika ingat Johnny NCT karna rumahnye di Chicago juga 🤣
2024-10-11
1
Anonymous
j
2024-10-06
0
Nur Bahagia
kok gw baca nya selalu mad tomaso 🤦♀️😅
2024-09-26
1