Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amplop
Hari itu, sidang cerai kedua antara Dominic dan Rina kembali digelar. Namun, kali ini Dominic memilih untuk tidak hadir. Ia mengutus pengacaranya untuk mewakilinya, sebuah keputusan yang membuat Rina semakin menyadari bahwa semuanya memang sudah berakhir.
Rina duduk di bangku penggugat, matanya menerawang ke depan dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Awalnya, ia berusaha keras mempertahankan pernikahannya, meyakinkan Dominic agar tidak meninggalkannya. Namun, semakin lama, ia menyadari bahwa lelaki itu sudah benar-benar mati rasa terhadapnya.
"Klien saya, Tuan Dominic Lancaster, tidak dapat menghadiri persidangan hari ini karena urusan pekerjaan yang mendesak. Namun, beliau telah menyerahkan segala keputusan kepada hakim dan menyetujui semua tuntutan yang telah diajukan," ujar pengacara Dominic dengan suara tegas.
Rina menoleh ke arah pengacara itu dengan ekspresi penuh luka.
'Jadi hanya segini saja?' pikirnya.
Dominic bahkan tidak merasa perlu datang sendiri. Seakan-akan dia sudah benar-benar tidak peduli lagi pada pernikahan mereka.
Hakim menghela napas sebelum berbicara, "Baiklah, karena kedua belah pihak sudah sepakat dengan perceraian ini, maka kita akan lanjut ke tahap berikutnya. Jika tidak ada keberatan, keputusan akhir akan dikeluarkan pada sidang berikutnya."
Tidak ada perdebatan. Tidak ada penolakan. Semuanya berjalan begitu saja.
Setelah sidang berakhir, Rina keluar dari ruang sidang dengan langkah pelan. Tangannya mengepal, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya.
Di satu sisi, ia masih tidak rela. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi memaksakan sesuatu yang sudah hancur.
Dion sudah menunggu di luar. Matanya langsung menatap ibunya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi wanita itu.
"Jadi... selesai?" tanyanya, suaranya datar tapi penuh emosi.
Rina menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Ayahmu tidak datang... Dia bahkan tidak peduli lagi."
Dion menggeram pelan. "Semua ini gara-gara Hana..."
Rina menatap anaknya, kali ini dengan mata penuh kelelahan. "Dion, bukan Hana yang menghancurkan keluarga kita... Mungkin memang sudah waktunya semua ini berakhir."
Dion menggeleng cepat, menolak menerima kenyataan itu. "Tidak! Ayah nggak akan berubah kalau bukan karena dia! Aku nggak akan tinggal diam, Bu!"
Rina hanya bisa menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa Dion tidak akan berhenti di sini. Anak itu masih penuh dengan kemarahan dan dendam. Dan ia tidak bisa menghentikannya.
Dion berjalan keluar dari gedung pengadilan dengan amarah yang masih berkecamuk. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Hatinya terasa seperti terbakar, dan setiap langkah yang ia ambil dipenuhi oleh kebencian yang semakin menggunung.
Ayah memilih meninggalkan Ibu... Semua ini gara-gara Hana!
Dion tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan tinggal diam. Ia harus bertemu dengan Dominic.
Sementara itu, Dominic sedang duduk di ruangannya di perusahaan. Wajahnya tampak lelah, tetapi hatinya sedikit lebih tenang. Ia sudah menyerahkan segala urusan perceraian kepada pengacaranya, dan sekarang hanya perlu menunggu semuanya selesai.
Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.
BRAK!
Pintu ruangannya terbuka dengan kasar, membuat Dominic mendongak.
Dion berdiri di ambang pintu dengan mata merah penuh emosi. Napasnya memburu, dan tubuhnya menegang.
"Kita harus bicara!"
Dominic menghela napas panjang. Ia tahu ini akan terjadi. Dengan tenang, ia menutup dokumen di mejanya dan menatap putranya.
"Duduklah, Dion."
Dion tidak bergerak. "Aku nggak mau duduk! Aku mau tahu, kenapa ayah ninggalin Ibu? Ayah serius mau ceraikan dia? Karena apa? Karena Hana?"
Dominic menyandarkan tubuhnya ke kursi, berusaha tetap tenang. "Perceraian ini bukan karena Hana. Pernikahan aku dan ibumu sudah lama rusak. Aku hanya menunda semua ini karena kamu."
Dion tertawa sinis. "Omong kosong! Ayah masih bertahan selama ini, kan? Kalau nggak ada Hana, ayah nggak akan ngurusin perceraian ini!"
Dominic menatap anaknya dalam-dalam. "Dion, dengar dulu. Ayah dan ibumu udah berakhir jauh sebelum Hana datang. Jangan salahkan orang yang nggak ada hubungannya."
Dion semakin tersulut emosi. "Nggak ada hubungannya? Ayah serius? Ayah pikir aku buta? Ayah pikir aku nggak lihat betapa ayah tergila-gila sama cewek itu? Hana itu mantan aku, Ayah! Ayah sadar nggak, ayah ngerebut cewek yang dulu aku sayang?! Ayah lebih tua dari dia! Ayaj pikir ini normal?!"
Dominic mengepalkan tangannya. Matanya semakin tajam. "Ayah nggak ngerebut siapa-siapa. Hana memilih ayah. Dan ayah tahu kenapa? Karena kamu sendiri yang menghancurkan hubungan kamu sama dia. Jangan salahkan kami atas kesalahan kamu sendiri!"
Dion terdiam sejenak. Matanya membelalak marah. "Ayah pikir ayah lebih baik dari aku? Ayah pikir ayah nggak salah?!"
Dominic menatap anaknya dengan dingin. "Ayah nggak bilang ayah lebih baik. Tapi ayah nggak akan membiarkan kamu menyalahkan Hana atas semua ini."
Dion menggeram. "Ayah keterlaluan... Aku nggak akan pernah nerima hubungan ayah sama Hana. Percaya aku, Ayah! Aku nggak akan tinggal diam!"
Dion berbalik, melangkah keluar dengan penuh amarah.
Dominic hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu ini belum berakhir.
Dan di luar sana, badai yang lebih besar sedang menanti.
Dion berjalan dengan langkah besar dan penuh emosi keluar dari ruangan Dominic. Napasnya masih memburu, pikirannya kalut.
Ia tidak akan membiarkan ini terjadi. Tidak akan membiarkan Hana benar-benar jatuh ke pelukan Dominic.
Dion meraih ponselnya dan segera menghubungi seseorang.
"Sarah, kita perlu bicara."
Sementara itu, di apartemen Dominic…
Hana duduk di sofa dengan gelisah. Ia tahu Dominic bertemu dengan Dion, dan entah kenapa hatinya tidak tenang.
Tak lama kemudian, pintu apartemen terbuka. Dominic masuk dengan raut wajah lelah, tetapi matanya langsung tertuju pada Hana yang masih menunggunya.
"Kamu nggak kerja?" Dominic bertanya, berjalan mendekati Hana dan duduk di sebelahnya.
Hana menggeleng pelan. "Aku nggak bisa tenang, Dad. Aku tahu kamu ketemu Dion… Gimana hasilnya?"
Dominic menghela napas panjang sebelum akhirnya mengusap wajahnya. "Dia marah besar, Sayang. Dia masih nggak bisa nerima ini. Dia menyalahkan kamu atas perceraian aku sama Rina."
Hana menunduk, menggigit bibir bawahnya. "Aku nggak mau jadi penyebab hancurnya keluarga kalian…"
Dominic langsung menggenggam tangan Hana. "Dengar, ini bukan salah kamu. Perceraian ini seharusnya terjadi sejak lama. Aku dan Rina udah nggak bisa dipertahankan lagi. Dion cuma butuh waktu buat nerima ini."
Hana menatap mata Dominic, berusaha menemukan keyakinan di sana. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang waktu. Ini adalah perang, dan Dion tidak akan menyerah dengan mudah.
Di tempat lain…
Sarah duduk di hadapan Dion dengan wajah penuh harapan, tetapi juga ketegangan. Perutnya yang mulai membesar membuatnya semakin sulit menyembunyikan kenyataan.
"Apa lo akhirnya sadar, Dion?" Sarah bertanya, suaranya dipenuhi emosi.
Dion menatapnya dingin. "Lo yakin anak itu memang anak gue?"
Sarah menegakkan punggungnya. "Kita bisa tes DNA kalau lo masih ragu. Tapi gue nggak akan ngebesarin anak ini sendirian. Lo harus tanggung jawab!"
Dion mendengus, mengusap wajahnya. "Gue akan tanggung jawab, tapi gue juga nggak bisa biarin Hana dan Ayah terus bersama."
Sarah menyipitkan mata. "Jadi, lo masih belum bisa nerima mereka?"
Dion mengepalkan tangannya. "Nggak akan pernah! Gue akan pastikan hubungan mereka hancur."
Sarah menatap Dion dalam diam, lalu tersenyum tipis. "Kalau begitu, mungkin kita bisa kerja sama, Dion…"
Dion menoleh dengan tatapan tajam. "Maksud lo?"
Sarah menyeringai. "Gue juga punya urusan yang belum selesai sama Hana. Kalau lo mau hancurin hubungan mereka, gue bisa bantu."
Dion menatap Sarah dalam-dalam. Ini mungkin bukan ide yang buruk.
"Baik," katanya akhirnya. "Kita mulai rencana kita sekarang."
Dan dari sanalah, badai besar benar-benar akan datang.
Malam itu, Hana tidak bisa tidur. Pikirannya terus memikirkan Dion, Sarah, dan ancaman yang mungkin datang dari mereka. Dominic sudah tertidur di sampingnya, tetapi Hana tahu, ini hanya ketenangan sebelum badai.
Saat itulah ponsel Hana bergetar. Sebuah pesan masuk.
Dion: Nikmati waktumu dengan Ayahku selagi bisa. Waktu kalian nggak akan lama.
Hana membeku. Tangannya bergetar saat membaca pesan itu.
Keesokan harinya, di kantor Dominic…
Dominic sedang duduk di kursinya saat pintu ruangannya terbuka. Pengacaranya masuk dengan ekspresi serius.
"Sidang cerai berikutnya sudah dijadwalkan, dan saya ingin memastikan apakah Anda benar-benar tidak akan hadir?"
Dominic mengangguk. "Biarkan Anda saja yang urus. Saya sudah muak dengan semua drama ini."
Pengacaranya menghela napas. "Baik, saya akan mengurus semuanya. Tapi ada satu hal lagi… Bu Rina akhirnya menerima perceraian ini. Dia tidak akan melawan lagi."
Dominic terdiam sesaat sebelum tersenyum sinis. "Bagus. Seharusnya dari dulu."
Di tempat lain…
Dion duduk di sebuah kafe, menunggu seseorang. Tak lama, Sarah datang dengan perut yang semakin membesar.
"Jadi, apa rencana kita?" Sarah bertanya tanpa basa-basi.
Dion menatapnya dengan dingin. "Gue mau Hana ninggalin Ayah gue. Lo bisa bantu?"
Sarah menyeringai. "Tentu saja. Gue punya sesuatu yang bisa bikin Hana hancur."
Dion menyipitkan mata. "Apa itu?"
Sarah mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya kepada Dion. "Bukti bahwa Hana bukan wanita baik-baik yang selama ini lo pikir."
Dion membuka amplop itu, membaca isi di dalamnya, dan matanya langsung membelalak.
"Ini… ini nggak mungkin!"
Sarah tersenyum puas. "Percaya atau nggak, itu kenyataannya. Sekarang tinggal lo yang putusin, Dion. Masih mau memperjuangkan Hana, atau mau lihat dia hancur?"
Dion menggenggam kertas di tangannya dengan erat.
"Aku akan pastikan Hana menyesal telah memilih Ayahku," gumamnya dengan suara dingin.
Badai yang lebih besar benar-benar akan datang.
Bersambung...