Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANA PINGSAN
...~Happy Reading~...
"Ah, malu sekali!" desis Nathan pelan, matanya menyapu sekeliling lapangan. Terlalu banyak pasang mata siswa-siswi yang memperhatikan mereka—dua orang yang tengah berdiri di tengah lapangan sebagai hukuman karena terlambat datang ke sekolah pagi tadi.
Sebagai wakil ketua OSIS yang dikenal disiplin dan tegas, Nathan merasa citranya sedikit ternodai hanya karena insiden kecil ini. Rasanya sangat memalukan, apalagi di depan banyak orang yang pasti akan membicarakan kejadian ini di kelas atau bahkan di media sosial sekolah.
Secara refleks, Nathan melirik ke samping, ke arah Hana yang berdiri diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tidak biasanya dia seperti ini, pikirnya. Biasanya, Hana akan mengomel atau berusaha mencari alasan untuk membela diri, tapi kali ini dia hanya terdiam.
Nathan mengerutkan kening, tatapannya mengamati wajah Hana yang tampak jauh lebih pucat dari biasanya. Ada sesuatu yang tidak beres. Baru saja ia hendak mengulurkan tangan untuk menyentuh pundaknya dan bertanya apakah dia baik-baik saja, tiba-tiba tubuh Hana ambruk begitu saja.
"Pingsan?!" Nathan refleks bergerak, tangannya nyaris terlambat menangkap tubuh Hana yang jatuh.
"Hana!" Nathan terperanjat, refleks menangkap tubuh gadis itu sebelum jatuh ke tanah. Tubuhnya terasa begitu ringan dan dingin, membuat Nathan semakin panik. Para siswa yang tadinya hanya menjadi penonton kini berlarian mendekat, melihat kondisi Hana yang tak sadarkan diri.
"Kasihan, kenapa dia bisa pingsan?" gumam salah satu siswa.
"Eh, cepat bawa ke UKS!" seru yang lain.
Nathan tidak berpikir dua kali. Dengan cekatan, dia membenarkan posisi Hana, lalu mengangkatnya ke dalam gendongan. Tanpa ragu, ia segera berlari menuju ruang UKS, diikuti beberapa siswa yang khawatir dan ingin tahu apa yang terjadi.
Di sisi lain lapangan, seseorang memperhatikan kejadian itu dengan tatapan penuh kebingungan dan kecemasan. Rei, yang berdiri tak jauh dari situ, menyaksikan bagaimana Hana tiba-tiba pingsan dan digendong oleh Nathan ke UKS.
Dahi Rei berkerut. "Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya pelan.
Pagi ini, ia dan Hana berangkat bersama ke sekolah, namun anehnya, Hana tidak masuk ke kelas seperti biasa. Dan sekarang, tiba-tiba dia sudah berada di lapangan bersama Nathan, menerima hukuman?
Nathan adalah sepupunya, tapi Rei tahu betul kalau sepupunya itu bukan tipe orang yang akan sengaja melanggar aturan, apalagi sampai dihukum di depan umum. Lalu, kenapa dia dan Hana bisa berada di sana bersama?
Ada terlalu banyak pertanyaan di kepalanya. Rei tidak bisa tinggal diam. "Aku harus mencari tahu," putusnya. Dengan langkah cepat, dia mengikuti arah Nathan membawa Hana.
Di ruang UKS, Nathan menurunkan Hana ke tempat tidur dengan hati-hati, memastikan kepalanya tidak terbentur. Seorang petugas UKS langsung datang memeriksa kondisi Hana dengan cermat.
Setelah beberapa saat, dokter UKS menghela napas dan berkata, "Dia pingsan karena kekurangan energi. Sepertinya dia belum sarapan atau hanya makan sangat sedikit pagi ini." Rei dan Nathan yang ada di sampingnya hanya terdiam mendengarnya.
Saat dokter UKS ingin keluar, Nathan bersama Rei yang sudah ada di sampingnya mengangguk memberi hormat.
Hana yang baru saja siuman menatap dua pria yang berdiri di dekatnya dengan tatapan lemah. Pandangannya masih sedikit buram, tubuhnya terasa lemas, tetapi dia bisa melihat dengan jelas bahwa Nathan dan Rei ada di sana.
Nathan, yang sedari tadi memperhatikannya dengan cemas, sedikit menghela napas lega karena Hana sudah sadar. Sementara itu, Rei tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya berdiri diam, namun sorot matanya terlihat lebih dalam dari biasanya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Rei tiba-tiba menarik lengan Nathan, memberi isyarat agar mereka keluar dari ruang UKS. Nathan sempat ragu, ingin memastikan keadaan Hana lebih dulu, tetapi melihat sikap Rei yang begitu serius, ia akhirnya memilih untuk mengikutinya.
Begitu mereka keluar dan pintu tertutup, Rei langsung berbalik menghadap Nathan dengan ekspresi penuh tanda tanya. Tanpa membuang waktu, dia bertanya dengan nada tegas dan langsung ke inti permasalahan, "Kenapa kalian bisa bersama?"
Nathan menatap Rei sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul, dan sejujurnya, inilah yang ia nantikan—momen di mana Rei akhirnya menunjukkan sedikit kepedulian kepada Hana, bukan hanya kepada Livy.
Bukankah istrinya itu adalah Hana?
"Kami terlambat bersama," jawab Nathan jujur, nadanya santai tetapi jelas. "Saat aku menuju gerbang sekolah, aku melihat Hana. Aku menghampirinya untuk berbicara, tetapi karena terlalu asyik ngobrol, kami tidak sadar waktu dan akhirnya terlambat."
Rei mengerutkan kening, pikirannya langsung dipenuhi banyak pertanyaan yang belum bisa ia ucapkan. Sejak kapan Nathan dan Hana bisa sedekat itu? Setahu Rei, mereka tidak pernah terlihat berbicara lama.
Sebelum Rei sempat melontarkan pertanyaan lain, pintu ruang UKS kembali terbuka. Hana melangkah keluar, tatapannya langsung tertuju pada dua pria yang berdiri di depan pintu.
Rei memilih untuk mengurungkan niatnya bertanya lebih jauh. Ia menghela napas pendek lalu melirik sekilas ke Hana yang masih lemas.
Tanpa banyak bicara, ia segera berbalik pergi menuju kelas. Sebagai ketua kelas, ia memiliki tanggung jawab, dan saat ini, yang lebih penting adalah mengantar Hana pulang.
"Rei, kau mau ke mana?" tanya Nathan, sedikit heran melihat sepupunya yang tiba-tiba pergi begitu saja.
Rei hanya menjawab singkat, "Aku izin sebagai ketua kelas untuk mengantar Hana. Dia anggota kelasku… juga istriku." ujarnya pelan namun penuh penekanan. Hana tidak mendengarkannya.
Nathan tidak menjawab, hanya memperhatikan punggung Rei yang menjauh bersama Hana.
Sementara itu, di dalam ruang kelas, Hana mulai dikelilingi oleh teman-temannya yang menunggunya. Darren, Lena, dan Amina menatapnya dengan ekspresi khawatir.
"Hana, kau tak apa kan?" tanya Darren dengan nada penuh perhatian.
Hana tersenyum kecil, merasa terharu melihat kepedulian teman-temannya. Ia mengangguk pelan, berusaha menunjukkan bahwa kondisinya sudah lebih baik. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat.
Setelah mengucapkan itu, Hana melirik Rei yang sudah siap untuk mengantarkannya.
Setelah memberi salam kepada semua teman temannya, ia meninggalkan ruang kelas untuk pulang bersama Rei. Tidak ada yang curiga dengan situasi itu, karena semua orang tahu bahwa Rei memang bertanggung jawab atas anggota kelasnya, dan itu termasuk dirinya.
Sepanjang perjalanan pulang, Hana hanya diam. Matanya menatap lurus ke jalanan yang masih cukup ramai.
Rei, yang berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arah Hana. Diamnya gadis itu membuatnya semakin penasaran.
Tiba-tiba, ia memecah keheningan dengan satu pertanyaan yang selama ini mengusik pikirannya.
"Sejak kapan kau dan Nathan akrab?" tanyanya, nada suaranya terdengar datar, tetapi penuh dengan rasa ingin tahu.
*
~Pelacur Milik Sang CEO sedang proses menulis yaaa .......