Mendapati keponakannya yang bernama Sisi divonis leukemia dan butuh donor sumsum tulang, Vani membulatkan tekad membawanya ke Jakarta untuk mencari ayah kandungnya.
Rani, ibu Sisi itu meninggal karena depresi, tanpa memberitahu siapa ayah dari anak itu.
Vani bekerja di tempat mantan majikan Rani untuk menguak siapa ayah kandung Sisi.
Dilan, anak majikannya itu diduga Vani sebagai ayah kandung Sisi. Dia menemukan foto pria itu dibuku diary Rani. Benarkah Dilan adalah ayah kandung Sisi? Ataukah orang lain karena ada 3 pria yang tinggal dirumah itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIRIP
Mobil yang dikendarai Dilan mulai memasuki jalan raya. Hari minggu seperti ini, jalanan tak macet seperti biasanya. Sisi yang duduk didepan, terlihat sangat antusias, matanya terus menelisik jalan dan deretan bangunan megah yang mereka lewati. Bertanya pada Dilan bangunan apa saja yang menjulang tinggi tersebut, dan dengan senang hati, Dilan menjawabnya. Pria itu meladeni setiap pertanyaan Sisi dengan diselingin candaan riang, tak terdengar malas apalagi terpaksa.
Dibelakang, Vani hanya diam saja. Memperhatikan Sisi dan Dilan yang menurutnya ada chemistry. Siapakah sebenarnya ayah Sisi? Dia tak boleh terlalu lama mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, karena Sisi harus segera mendapatkan donor.
Tak terasa, mereka sampai juga di kebun binantang. Setelah Dilan membeli tiket, mereka lalu masuk. Sisi berjalan lebih dulu, terlihat sekali kalau dia sangat bersemangat.
"Bi, fotoin Sisi dong, nanti kirim ke nenek." Sisi berpose didepan tulisan kebun binatang dengan senyum lebar. Setelah itu kembali mendekati Vani untuk melihat hasil jepretaannya. "Nanti kirim foto ini pada Nenek ya, Bi."
"Iya sayang," sahut Vani sambil mengangguk.
"Gimana kalau kita foto bertiga?" ajak Dilan.
"Mau Om, Sisi mau," sahut Sisi sambil loncat loncat girang.
Dilan mengambil ponsel disaku celananya lalu mengarahkan kamera depan kearah mereka bertiga.
"Apa gak papa?" tanya Vani.
"Maksud kamu?" Dilan mengerutkan kening.
"Aku gak mau tunangan Mas Dilan salah paham."
Dilan langsung tersenyum simpul. "Kami udah putus," sahutnya santai. "Ayo, senyum kearah kamera." Dilan menghitung 3, 2, 1 lalu mengambil gambar mereka bertiga. Mengambil beberapa kali dengan gaya yang berbeda. Tapi meski berganti-ganti gaya, Vani tetap terlihat kaku dan tak ada senyum, beda dengan Sisi dan dirinya yang selalu tersenyum lebar. Saat melihat sepasang kekasih lewat, Dilan memanggil mereka untuk dimintai tolong menangkap gambar.
"Yang agak mesra dong, dempetan dikit."Orang itu menggerakkan tanganya, memberi instruksi agar Vani lebih merapat pada Dilan. Tak sabar dengan gerakan Vani yang lambat, Dilan merangkul bahunya dan sedikit menarik agar mereka rapat. Tak pelak, Vani langsung melotot. "Ayo, cheese..." Mendengar instruksi itu, mau tak mau Vani tersenyum kearah kamera. Sisi yang ada didepan mereka, sudah berpose dengan gaya centilnya.
"Makasih," ujar Dilan sembari mengambil kembali ponselnya.
"Cantik banget sih kamu." Puji wanita yang baru memfoto tadi sambil menyentuh kepala Sisi. "Mirip banget sama papanya," lanjutnya sambil menoleh melihat Dilan.
"Dia bukan papanya Sisi," ujar Sisi.
"Oh, bukan ya." Merasa salah bicara, wanita itu membungkam mulutnya dengan telapak tangan. "Kirain papanya, mirip banget soalnya." Wanita itu dan kekasihnya lalu pamit, sementara Dilan, Vani dan Sisi, mulai berjalan menyusuri kebun binatang.
Sisi tampak girang saat memberi makan rusa. Tak ada raut takut sama sekali, dia malah beberapa kali menyentuh kulit rusa tersebut secara langsung. Bukannya Vani, justru Dilan yang sibuk memvidiokan Sisi.
Selesai dengan rusa, mereka ganti memberi makan jerapah. Dilan menemani Sisi naik keatas untuk memberi makan Jerapah, sedangkan Vani, dia jadi fotografernya.
Cukup lama mereka berjalan-jalan, melihat berbagai macam hewan sampai akhirnya berhenti untuk menonton pertunjukan gajah.
Sisi tak henti-henti bertepuk tangan dan berdecak kagum melihat gajah-gajah pintar itu. Dia juga meminjam ponsel Vani untuk merekam aksi para gajah, agar nanti bisa dia lihat lagi.
Saat pertunjukan akan usai, pelatih gajah memanggil penonton yang ingin ikut serta. Karena yang diminta ayah dan anak, tanpa pikir panjang, Dilan langsung angkat tangan pertama.
"Iya Papa, silakan maju sama anaknya." Dilan menggendong Sisi menuruni tribun lalu berjalan menuju tengah lapangan, dimana ada 4 gajah dan 2 orang instruktur disana.
"Hai sayang, perkenalkan diri dong, siapa namanya?" tanya salah satu instruktur sambil membungkuk kearah Sisi. "Oh namanya Sisi," ulang instruktur itu karena suara Sisi yang tak memakai microphone itu tak terdengar. "Mamanya yang mana nih?" Dilan langsung menunjuk kearah Vani. Ditempatnya duduk, Vani hanya bisa tersenyum simpul.
"Oh, yang itu mamanya. Mamanya iri gak nih, Sisi wajahnya plek ketiplek sama Papa?" Pertanyaan instruktur tersebut tak pelak membuat Dilan langsung memperhatikan Sisi. Hari ini sudah 2 orang yang bilang begitu. Apa dia dan Sisi memang semirip itu?
Dilan dan Sisi diberi kalung bunga oleh gajah. Keduanya juga berkesempatan memberi makan serta menaiki gajah tersebut. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan oleh Sisi.
Selesai dengan gajah, mereka lanjut jalan. Tapi Vani langsung mengajak berhenti saat melihat wajah Sisi mulai pucat.
"Sisi capek?" tanya Vani cemas.
Sisi menggeleng, tak mau kalau ketahuan capek, dia akan diajak pulang. Vani yang tahu Sisi berbohong, langsung membungkukkan punggungnya didepan Sisi. "Bibi gendong." Dia menepuk punggungnya agar Sisi naik.
"Sama Om Dilan aja yuk," Dilan ikut menawarkan diri. "Naik kebahu Om," dia berjongkok sambil menepuk bahunya.
Sisi lebih memilih Dilan, dengan dibantu Vani, dia naik ke pundak Dilan.
"Wah, Sisi jadi yang paling tinggi sekarang," seloroh Dilan. "Pegangan leher Om Dilan ya," titahnya. Mereka lalu lanjut jalan-jalan menyusuri kebun binatang.
"Kalau capek, biar aku yang gendong." Vani sedikit sungkan pada Dilan.
"Sedikit, tapi bakalan langsung ilang capeknya kalau ditransferin kekuatan."
"Maksudnya?" Vani mengernyit bingung.
Dilan mengulurkan telapak tangannya kedepan Vani. "Kayaknya kalau ada yang megangin, bakalan kuat lagi, gak oleng."
"Modus," celetuk Vani sambil tersenyum simpul. Namun begitu, dia tetap meraih tangan Dilan dan menggenggamnya.
"Kita udah kayak keluarga belum sih?" tanya Dilan sambil senyum senyum.
"Tanya aja sama mereka," Vani menunjuk dagu kearah pengunjung lain.
"Pak," Dilan memanggil pria yang tak jauh darinya.
"Ish, apaan sih," Vani melotot sambil membungkam mulut Dilan. "Masa nanya beneran. Aku cuma becanda." Melihat pria yang dipanggil Dilan tak menoleh, Vani melepaskan tangannya dari mulut Dilan.
Dilan terkekeh melihat ekspresi kesal Vani. Kembali dia meraih tangan Vani yang sempat lepas tadi, lalu menggenggamnya. "Lapar gak? kita makan dulu yuk." Vani langsung mengangguk. Sisi butuh makan karena sudah waktunya minum obat.
Ketika sedang makan, Dilan memperhatikan foto-fotonya dengan Sisi. Benarkah dia begitu mirip dengan anak itu? Tapi jika diperhatikan, dia memang mirip dengan Sisi.
Dilan memperhatikan Sisi yang sedang disuapi Vani. Meski dalam dunia ini, ada orang mirip tanpa ikatan darah, tapi tentu lebih banyak orang mirip karena ikatan darah. Sisi mirip dengannya, sedangkan Vani mirip dengan Rani? Mungkinkah jika Sisi dan Vani, ada hubungannya dengan Rani? Tidak mungkin, Dilan menggeleng cepat, membuang pikiran ngaconya. Rani dan Vani berasal dari daerah berbeda, mustahil mereka adik kakak.
"Om Dilan, makasih karena udah ngajak Sisi jalan-jalan," ujar Sisi setelah makanannya habis. "Hari ini, Sisi seperti punya ayah dan ibu." Dia menatap Dilan dan Vani bergantian.
Vani membuang muka kearah lain. Menyeka air mata yang tiba-tiba saja turun tanpa bisa dicegah.
mereka hrs menuai apa yg mereka tanam
tanpa tau kejelasan yg sesungguhnya ny.
kasihan Rani jd depresi gara2 ulah Ret o.
bersiap lah. karma menantiu Retno
kang Dilan..
Retno... apa yg kau tanam itu lah yg kau tuai
hanya Autor lah yg tau..
di biarin takot kena salahin di tolong takot si Dilan nyari kesempatan