"Dia membuang sebuah berlian, tapi mendapatkan kembali sesuatu yang kurang berharga. Aku yakin dia akan menyesali setiap keputusannya di masa depan, Illana."—Lucas Mathius Griggori.
Setelah cinta pertamanya kembali, Mark mengakhiri pernikahannya dengan Illana, wanita itu hampir terkejut, tapi menyadari bagaimana Mark pernah sangat mengejar kehadiran Deborah, membuat Illana berusaha mengerti meski sakit hati.
Saat Illana mencoba kuat dan berdiri, pesona pria matang justru memancing perhatiannya, membuat Illana menyeringai karena Lucas Mathius Griggori merupakan paman Mark-mantan suaminya, sementara banyak ide gila di kepala yang membuat Illana semakin menginginkan pria matang bernama Lucas tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Eclaire, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Situasi menegangkan.
Thomas Fault menepati janji, tiga minggu setelah Illana mengirimkan surel berisi detail kerjasama yang diajukannya, pihak perusahaan Thomas menghubungi untuk permintaan presentasi, peninjauan langsung proyek serta tuntutan beberapa detail yang wajib terpenuhi. Semua berjalan lancar, lalu hari yang ditunggu Illana dan seluruh pihak internal Cinnamon akhirnya datang.
Illana serta Thomas akan membubuhkan tandatangan pada berkas kontrak yang sudah mereka sepakati.
"Terima kasih, Tuan Thomas. Aku berharap Cinnamon dan Century dapat bekerjasama dengan baik membangun bisnis ini, terima kasih untuk kesempatan besar yang kamu berikan."
Orang-orang di balik meja rapat dari kedua pihak bertepuk tangan, mereka merayakan terikatnya kerjasama tersebut secara resmi. Siapa sangka Illana berhasil mendapatkan kolega yang setara dengan Daphne Yeline.
"Aku juga harus berterimakasih kepada Nona Illana serta tim kalian karena begitu sabar menghadapi beberapa revisi serta tuntutan yang kami inginkan. Kalian adalah tim yang hebat."
Perasaan penuh kebebasan itu seperti memeluk Illana, seluruh beban serta tekanan cukup berat yang diterimanya akhir-akhir ini berhasil menyingkir. Ia tersenyum lebar kepada semua orang, Nora bisa melihat bahwa atasannya begitu bahagia.
"Nona—"
"Bagaimana dengan minum bir malam ini, Nora? Kamu setuju, bukan?"
Mereka memasuki mobil setelah keluar dari gedung megah Century. Pekerja lain berpisah satu per satu menggunakan kendaraan mereka dan kembali ke gedung Cinnamon.
"Bir? Malam ini?" Nora terlihat ragu, ia memasang sabuk pengaman, perempuan itu mengemudi untuk Illana.
"Ya. Apa kau keberatan? Memiliki agenda lain?"
"Benar, Nona. Aku memiliki acara keluarga. Bagaimana jika akhir pekan?"
"Baiklah. Kamu juga harus mengatakan pada rekan tim, mereka wajib datang dan merayakannya."
"Tentu saja."
Mobil perlahan menjauh meninggalkan basement gedung, untuk sesaat Illana tak ingin memikirkan apa pun, dapat menjalin kerjasama dengan pebisnis yang diincarnya selalu menjadi sebuah kebanggan, seperti menerima prestasi besar.
Ia tidak pernah merasa sesenang ini sejak bercerai dari Mark, berbulan-bulan akhirnya sanggup beralih dari rasa sakit dan kembali fokus bekerja. Ia takkan lupa bahwa Cinnamon memiliki ratusan karyawan yang bekerja untuk keluarga mereka.
"Nona. Apa Anda ingin pergi makan siang?"
Illana menatap arlojinya, pukul sebelas lewat. "Kamu sudah lapar?"
"Bukankah Nona pernah berkata ingin mencoba 'omakase'? Aku melihat di media sosial bahwa ada restoran Jepang di sekitar sini, reviewnya cukup bagus, aku pikir Nona bisa mencobanya."
"Baiklah. Aku bisa membayar tagihannya, mari makan siang bersama."
"Baik." Nora tersenyum lebar dan mempercepat laju mobil tersebut.
Saat menikmati makan siang, Illana hampir melupakan seseorang yang telah membantunya hingga bisa bertemu dengan Thomas Fault tanpa hambatan, atau 'permintaan gelap' seperti seks dan lainnya.
Mengingat pria itu membuat Illana segera menghubungi Lucas, ia penasaran terhadap permintaan yang diinginkan Lucas kepadanya.
"Paman. Hari ini kami telah resmi menjadi partner bisnis, aku tidak lupa denganmu, jadi kapan kita bisa bertemu? Bagaimana malam nanti, apa kamu sibuk?" Ia berbicara melalui ponsel setelah menyingkir dari Nora, ia berdiri di depan restoran.
"Benarkah? Kalian sudah melakukan tandatangan kontrak?"
"Ya. Setengah jam lalu, masih sangat baru, bukan?"
"Baik, kita bisa bertemu. Jam berapa dan di mana?"
"Sepulang bekerja. Aku akan mengirim lokasi alamatnya jika sudah memutuskan."
"Baik."
"Sampai jumpa."
"Sampai bertemu, Illana."
***
Malam ini hujan membasahi sebagian besar wilayah di Jerman, termasuk Berlin.
Illana duduk di dalam sebuah kafe, tepat di samping kaca tebal pembatas area luar dan dalam. Ia bisa melihat situasi di jalan raya tak seramai aktivitas kendaraan seperti biasanya, mungkin karena turun hujan.
Sesekali ia melihat arloji serta situasi di luar bergantian, sudah setengah jam Illana duduk sendiri di sana, tapi Lucas belum muncul.
"Apa jalanan di tempat lain menjadi macet?"
Segelas teh persik hampir habis, ia sampai memainkan sendok untuk memotong lemon cake menjadi beberapa bagian pada satu piring kecil sebagai bentuk pengusir rasa bosan.
"Haruskah aku menghubunginya? Tapi, jika dia memang terjebak macet dalam perjalanan, bukankah sikapku cukup mengganggu?" Ia membiarkan dirinya resah menanti kemunculan Lucas di sini.
Sementara di tempat lain, hujan turun lebih deras pada lokasi di sekitar markas yang terletak cukup jauh dari kafe, untuk sampai di tempat ini harus melewati jalanan yang membelah hutan dengan pepohonan cukup lebat. Bahkan jika malam tiba, tak ada cahaya lampu menerangi jalan, siapa pun harus mengandalkan cahaya dari lampu sen mobil mereka.
"Pasti Illana menungguku terlalu lama, dia bisa kesal, bukan? Rudolf mengacaukan urusanku."
Saat itu mobil Lucas berhasil keluar dari area hutan, tapi ia belum menyadari bahwa pada pertigaan jalan—sebuah van putih telah menunggu bersama tiga orang di dalamnya.
Lucas baru menyadari setelah melihat spion di atas kepalanya, membuat pandangan pria itu menjadi lebih tajam dan waspada.
Lucas berdecih. "Bandit-bandit kecil mencoba mengajakku bermain? Kalian tidak tahu bahwa aku sedang dikejar oleh waktu, huh? Baiklah, mari bermain."
Ia menginjak pedal gas, menaikkan kecepatan meski hujan masih sangat deras serta jalanan begitu licin. Tak ada rasa takut yang menghambatnya.
Mereka bermain saling mengejar, Lucas tak membiarkan van tersebut menyalipnya, tapi pada satu titik ia sengaja bergeser dan memelankan laju mobil, membiarkan van tersebut berhasil menyalip.
Saat van berniat berhenti untuk menghadang kendaraan Lucas, pria itu justru kembali menginjak pedal gas, menabrak van dari samping tanpa mengurangi kecepatan. Ia mendorong van keluar dari area jalan raya hingga berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar.
"Argh!" Lucas ikut terluka akibat tindakannya sendiri. Kening pria itu berdarah setelah membentur kemudi cukup keras, bahkan kaca mobil bagian depan pecah akibat tekanan ketika mendorong van hingga terhenti oleh pohon.
"Sial! Kalian semua bajingan!"
Ia tetap keluar dari mobil, menghampiri van tersebut. Terlihat jelas kaca sisi kiri pecah berhamburan, bahkan pengemudinya tewas di tempat, beberapa bagian lain sudah tak berbentuk, tapi dua orang yang tersisa masih bisa keluar menyelamatkan diri.
Salah satu dari mereka mengarahkan pistol kepada Lucas ketika pria itu mendekat, tapi Lucas berhasil menendang tangannya sehingga pistol jatuh entah ke mana. Ia masih memiliki sisa tenaga untuk berkelahi dengan dua pria asing tersebut.
"Aku tak memiliki waktu untuk melakukan hal ini, tapi kalian memaksaku, keparat!"
Satu lawan dua, salah satunya mengeluarkan sebuah tongkat baseball dari dalam van, sepertinya sejak awal mereka memang menargetkan Lucas, terlebih jalanan di sekitar markas sangat jarang dilalui warga biasa, hanya para pengikut Lucas yang selalu melewati area tersebut.
Ia bertarung sekuat tenaga sampai pada satu titik bagian belakang kepalanya berhasil disentuh tongkat baseball, mengakibatkan darah keluar mengalir melewati tatto matahari di tengkuknya ketika pria itu menindih seorang pelaku dan memukuli wajahnya hingga pingsan.
Beruntung, tangan Lucas meraih sebuah pistol dari tanah dan segera menembak kaki pria yang memukulnya hingga tersungkur.
"Argh! Kalian benar-benar menghambat perjalananku." Ia beranjak seraya menyentuh tengkuknya, pada suasana gelap di area yang tak terjamah lampu jalan, ia belum menyadari darah keluar cukup banyak, tapi disamarkan oleh air hujan.
Lucas menghampiri musuh yang tersisa, mengapit lehernya dari belakang menggunakan lengan seraya menempelkan pistol di sisi kepala musuh.
"Katakan padaku siapa yang memintamu melakukan hal ini, katakan kepadaku atau aku akan menyiksa seluruh anggota keluargamu!"
"Fred-Freddy!"
DORR!!!
"ARGH!!!"
Lucas kembali menembaknya pada kaki lain, sehingga musuh kesulitan berjalan. Ia beranjak dan melempar jauh pistol tersebut.
"Aku takkan membunuhmu agar bisa bersaksi kepada Freddy. Katakan padanya supaya menemuiku secara langsung! Bukan dengan cara pecundang seperti ini!"
Lucas sempat mencoba menghidupkan mesin mobilnya, tapi benda itu telah mengalami kerusakan.
"Sial! Pasti Illana kecewa kepadaku."
Ia memilih keluar dan berjalan terhuyung menyusuri sisi jalan raya sembari terus menyentuh tengkuknya. Ia lebih mencemaskan Illana ketimbang tubuh penuh luka tersebut.
Beruntung, sebuah taksi melintas, supir terkejut melihat kondisi Lucas penuh lebam serta luka berdarah.
"Tuan, kita pergi ke rumah sakit—"
"Tidak! Pergi ke sebuah kafe. Cepatlah, aku sudah terlambat." Ia duduk di kursi penumpang, menyandarkan kepalanya.
"Namun, tubuh Anda dipenuhi banyak luka. Apa terjadi sebuah kecelakaan?"
"Sial! Apa tak mendengar permintaanku, huh? Pergi ke kafe!"
Supir mengalah meski sangat cemas, ia tetap mengikuti keinginan penumpangnya.
***
"Astaga! Apa yang dilakukan pria penuh luka itu? Mengapa dia datang kemari?"
"Siapa yang ingin ditemuinya? Mengapa tidak bergegas ke rumah sakit?"
Suara-suara bernada kecemasan dari pengunjung kafe di sekitarnya berhasil mendapatkan perhatian Illana, ia sempat berniat pergi, tapi meyakini bahwa Lucas akan datang, sehingga memilih bersabar dan bertahan.
Illana mengikuti arah pandang banyak orang. Ia mendelik setelah mengetahui pria penuh luka yang dimaksud mereka adalah Lucas.
Illana bergegas menghampiri pria itu, Lucas tetap berdiri di ambang pintu dan menjadi pusat perhatian pengunjung kafe.
"Illana." Suaranya begitu lirih, wajah Lucas terlihat sangat pucat karena darah terus keluar dari luka-lukanya.
Apakah manusia normal akan bersikap seperti ini? Seharusnya dia pergi ke rumah sakit dan menyelamatkan dirinya.
"Paman. Apa, apa yang terjadi kepadamu? Mengapa seperti ini? Kamu mengalami kecelakaan, huh?" Sulit merasa tenang menanggapi situasi ini, ia melihat darah seperti keringat yang membanjiri wajah serta leher Lucas.
"Aku menepati janji untuk datang, aku tidak ingin kamu kecewa jika aku terlambat terlalu lama."
"Aku baik-baik saja, mari pergi ke rumah sakit. Kamu harus segera dirawat!"
"Ya, tapi tunggu sebentar." Lucas tersenyum, terlihat menyedihkan. "Kamu harus mewujudkan permintaan ini, aku ingin mengucapkannya sekali saja meski besok harus mati, jadi tolong dengarkan, Illana."
Wanita itu menangis, mengapa situasi menjadi sangat rumit dan menegangkan, ia duduk selama satu jam demi menanti seseorang yang justru memberinya kejutan mengerikan.
Sepasang tangan Lucas menangkup wajah Illana, membiarkan darah menempel di sana, ia tetap tersenyum meski rasa sakit semakin menyerang kepala serta bagian tubuh lain.
"Illana, menikahlah denganku."
***