Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alia dan Pesona yang Mengikat
Hubungan Aldo dan Alia terus berkembang, meskipun perlahan, tapi terasa signifikan. Setiap kali mereka bertemu, suasana di antara mereka terasa lebih hangat, lebih akrab. Alia, yang dulu tampak menjaga jarak dan hanya memperlihatkan sisi seriusnya, kini mulai menunjukkan sisi yang lebih santai dan terbuka. Aldo merasa semakin nyaman berada di sekitarnya. Namun, ada satu hal yang tak bisa diabaikannya yaitu pesona Alia yang begitu kuat, yang tidak hanya memikat Aldo, tetapi juga banyak orang di kampus.
Alia memang terkenal, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena prestasi dan kepribadiannya yang tampak sempurna. Setiap orang yang mengenalnya, baik secara langsung maupun hanya dari kejauhan, pasti setuju bahwa Alia adalah sosok yang menarik perhatian. Bagi Aldo, hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana tidak? Di balik kedekatan mereka, masih ada banyak pria lain yang mengincar Alia, meskipun mereka tidak pernah berani mendekat seintens Aldo.
Hari itu, Aldo duduk di taman kampus sambil menunggu kelas sore. Angin sepoi-sepoi yang sejuk membuatnya merasa nyaman, meski pikirannya terus melayang ke arah Alia. Ponselnya bergetar di saku, menandakan ada pesan masuk. Aldo meraihnya dengan cepat, berharap itu dari Alia. Namun, yang muncul justru pesan dari Tio, salah satu teman dekatnya.
"Bro, gue denger-denger lo deket banget sama Alia sekarang. Gimana ceritanya tuh? Udah jadian belum?"
Aldo tersenyum kecil. Sepertinya gosip tentang kedekatannya dengan Alia mulai menyebar di kalangan teman-temannya. Ia tidak terkejut, mengingat Alia memang dikenal di seluruh kampus. Namun, Aldo tidak ingin terburu-buru memberi kesan yang salah.
"Belum jadian, masih deket aja. Biasa lah, pelan-pelan." Balas Aldo singkat.
Tidak butuh waktu lama, Tio kembali mengirim pesan. "Wah, lo beruntung banget, bro. Banyak yang ngincer dia, tau nggak? Hati-hati aja, jangan sampai ada yang nyalip."
Aldo menatap layar ponselnya cukup lama sebelum mengunci layarnya dan memasukkannya kembali ke saku. Ucapan Tio itu benar-benar mengingatkannya pada kenyataan. Meskipun sekarang ia dan Alia semakin dekat, tetapi perhatian orang-orang terhadap Alia tidak berkurang sedikit pun. Bahkan mungkin, semakin banyak orang yang mulai memperhatikan, terutama setelah melihat bahwa Alia mulai membuka diri terhadap Aldo.
Di satu sisi, Aldo merasa senang bisa dekat dengan gadis yang begitu istimewa. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menampik rasa cemas yang mulai menggelayut di pikirannya. Apakah kedekatannya dengan Alia akan bertahan? Bagaimana jika suatu hari nanti Alia merasa ada orang lain yang lebih baik dari Aldo? Pikiran-pikiran itu terus menghantui, meskipun Aldo berusaha untuk tetap percaya diri.
Sore itu, Aldo memutuskan untuk menelpon Alia setelah kelas selesai. Ia butuh mendengar suaranya, mungkin bisa mengurangi rasa cemas yang mulai tumbuh.
“Hey, Al. Lagi sibuk nggak?” Aldo memulai percakapan begitu Alia menjawab panggilannya.
“Hey, Do. Nggak juga sih, baru aja kelar kelas. Ada apa?” Suara Alia terdengar ceria di ujung telepon, membuat Aldo sedikit tenang.
“Nggak ada apa-apa, gue cuma pengen ngobrol aja. Tadi gue dapet pesan dari Tio, katanya gue beruntung banget bisa deket sama lo. Gue jadi mikir, bener juga, ya. Banyak orang di kampus yang suka sama lo, kan?”
Alia tertawa kecil. “Aldo, lo serius nanya itu? Gue nggak pernah mikirin orang-orang yang suka atau nggak suka sama gue. Buat gue, yang penting gue nyaman sama orang yang ada di sekitar gue. Dan lo salah satu dari sedikit orang yang bikin gue ngerasa nyaman.”
Kata-kata Alia itu terdengar tulus, dan Aldo bisa merasakannya. Namun, Aldo tidak bisa sepenuhnya mengusir rasa khawatir yang menghinggap di benaknya.
“Gue ngerti, Al. Tapi kadang gue mikir, gimana kalau ada orang lain yang lebih baik dari gue, yang bisa bikin lo lebih nyaman?”
Alia terdiam sejenak, seolah sedang merenungi pertanyaan Aldo. “Aldo, nggak ada yang namanya orang lebih baik atau lebih buruk. Yang ada cuma gimana kita saling memahami dan ngertiin satu sama lain. Lo nggak perlu khawatir soal itu. Selama lo bisa jadi diri lo sendiri, itu udah lebih dari cukup buat gue.”
Aldo menghela napas panjang. Jawaban Alia membuatnya merasa lebih tenang, meski rasa cemas itu belum sepenuhnya hilang. “Gue ngerti, Al. Maaf kalau gue jadi kepikiran yang aneh-aneh.”
“Nggak apa-apa, Do. Wajar kok. Gue seneng lo bisa ngomong jujur soal perasaan lo. Itu yang gue suka dari lo karena lo nggak pernah berpura-pura.”
Setelah percakapan itu, Aldo merasa sedikit lebih lega. Ia tahu bahwa Alia menghargai dirinya dan kedekatan mereka, tetapi bayangan tentang para pria lain yang juga mengagumi Alia terus membayangi pikirannya. Bagaimanapun juga, Aldo tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Alia adalah gadis yang begitu diinginkan banyak orang, dan ini membuatnya merasa ada beban tersendiri untuk menjaga hubungan mereka tetap berjalan dengan baik.
Hari-hari berikutnya, Aldo berusaha untuk tetap fokus pada hubungan yang ia bangun dengan Alia, tanpa terlalu memikirkan hal-hal yang bisa merusak perasaannya. Namun, tantangan itu ternyata tidak mudah. Suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman kampus, seorang pria yang Aldo kenal sebagai senior di fakultas mereka, menghampiri mereka.
“Hei, Alia!” sapanya dengan nada ceria. “Lama nggak ketemu, sibuk terus ya?”
Alia menoleh dan tersenyum. “Iya nih, sibuk skripsi. Gimana kabarnya, Mas Rio?”
Aldo hanya bisa mengamati sambil tetap berusaha tersenyum. Rio, senior yang dikenal karismatik dan pandai berbicara, mulai mengobrol santai dengan Alia. Meskipun Rio terlihat ramah, Aldo tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa pria ini punya ketertarikan lebih pada Alia. Cara Rio berbicara dan menatap Alia, meski terlihat wajar, tetap menimbulkan rasa tak nyaman di hati Aldo.
Percakapan itu berlangsung beberapa menit sebelum Rio pamit. Setelah Rio pergi, Aldo mencoba bersikap biasa saja, meski hatinya terusik.
“Rio itu senior yang populer banget ya,” komentar Aldo, mencoba terdengar santai.
Alia menoleh ke arah Aldo dengan tatapan penasaran. “Iya, dia memang orangnya asyik, banyak yang suka ngobrol sama dia.”
Aldo mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa ada yang mengganjal. Alia mungkin melihat Rio sebagai teman biasa, tetapi bagi Aldo, ada ketakutan tersendiri bahwa Rio, dengan pesonanya, bisa menjadi ancaman.
Malam itu, Aldo merenung sendirian di kamarnya. Ia tahu bahwa ia tidak seharusnya merasa terancam setiap kali ada pria yang mendekati Alia, apalagi jika Alia sendiri tidak mempermasalahkannya. Namun, rasa cemburu yang tumbuh di dalam dirinya tidak bisa sepenuhnya diabaikan.
Aldo menyadari bahwa ia perlu menghadapi perasaan ini dengan cara yang lebih dewasa. Jika ia terus-menerus membiarkan rasa cemburu itu menguasai pikirannya, hubungannya dengan Alia justru bisa terancam. Aldo tahu bahwa Alia adalah seseorang yang membutuhkan kepercayaan, bukan hanya dari dirinya, tetapi juga dari orang yang dekat dengannya. Jika Aldo tidak bisa memberikan kepercayaan itu, maka hubungan mereka akan goyah.
Keesokan harinya, Aldo memutuskan untuk berbicara dengan Alia tentang apa yang ia rasakan. Mereka bertemu di kafe kampus seperti biasa, dan setelah beberapa percakapan ringan, Aldo memberanikan diri untuk membahas topik yang selama ini mengganggunya.
“Al, gue mau ngomong sesuatu. Mungkin lo bakal mikir ini aneh, tapi gue pengen jujur sama lo,” kata Aldo, suaranya agak ragu.
Alia menatapnya dengan penuh perhatian. “Apa, Do? Lo kenapa?”
Aldo menghela napas sebelum melanjutkan. “Gue... gue nggak bisa bohong, gue kadang ngerasa cemburu tiap kali ada cowok lain yang deketin lo. Kayak kemarin, waktu Rio ngobrol sama lo, gue ngerasa... nggak nyaman.”
Alia terdiam sejenak, kemudian tersenyum tersenyum lembut. “Aldo, gue bisa ngerti perasaan lo. Gue tahu kadang gue dikelilingi banyak orang, dan mungkin ada cowok-cowok yang mencoba lebih dekat, tapi lo harus percaya sama gue. Kalau gue milih buat deket sama lo, itu karena gue nyaman sama lo. Bukan yang lain.”
Aldo mengangguk pelan, meski hatinya masih bergejolak. “Iya, gue tahu, Al. Tapi kadang, sulit aja buat nggak ngerasa terancam. Apalagi lo... ya, lo populer banget, dan gue cuma... Aldo.”
Alia tertawa kecil mendengar nada rendah Aldo yang terdengar tidak percaya diri. “Lo cuma Aldo? Yang bener aja. Lo itu orang yang bikin gue nyaman, yang bikin gue merasa bisa jadi diri sendiri. Itu udah lebih dari cukup. Gue nggak butuh Rio atau siapapun buat itu. Cuma lo.”
Aldo menatap Alia, merasa sedikit lega mendengar kata-katanya. “Lo yakin, kan?”
Alia mengangguk mantap. “Yakin, Do. Lagian, Rio itu temen biasa aja. Gue nggak punya ketertarikan apa-apa sama dia. Dan soal popularitas... gue juga kadang capek sendiri, kok. Gue lebih suka ngobrol santai kayak gini daripada harus terus-terusan jadi pusat perhatian.”
Aldo tertawa kecil, merasa sedikit bodoh karena terlalu memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu. “Iya, gue ngerti. Maaf, ya, kalau gue terlalu baper.”
“Gapapa, Do. Gue malah seneng lo mau jujur sama gue. Itu tandanya lo peduli, kan? Tapi inget, ya, gue nggak bakal kemana-mana. Gue di sini buat lo.”
Mendengar kata-kata itu, Aldo merasa hatinya lebih tenang. Meskipun rasa cemburu itu mungkin tidak akan sepenuhnya hilang, dia tahu bahwa Alia tulus dalam ucapannya. Dan yang paling penting, dia belajar bahwa kunci dari hubungan mereka adalah komunikasi dan kepercayaan. Seiring waktu, Aldo berharap bisa lebih percaya pada dirinya sendiri, serta pada perasaan yang sedang tumbuh di antara mereka berdua.
Aldo pun tersenyum, merasa hubungan mereka kini semakin kuat. Meskipun banyak tantangan yang mungkin akan datang, kini dia tahu bahwa selama mereka saling percaya dan terus terbuka satu sama lain, mereka bisa melewati semuanya.