Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Mencari pekerjaan terasa seperti berjalan di padang tandus bagi Vandra. Setiap langkah penuh harapan yang berujung penolakan. Surat lamaran sudah ia kirim ke mana-mana, tak ada satu pun mendapat balasan positif.
Nama baik Vandra yang dulu pernah tercoreng karena kasusnya, membuat banyak orang ragu. Bahkan teman-temannya sendiri ikut menjaga jarak.
“Maaf, Van, aku nggak bisa bantu. Perusahaan lagi susah juga,” ujar salah satu temannya, dengan pandangan canggung.
Vandra hanya tersenyum pahit. Ia tahu itu bukan sepenuhnya alasan. Dunia kerja memang keras, apalagi bagi seseorang yang baru keluar dari penjara.
Tabungan menipis, perhiasan kecil milik Erika yang dulu sempat ia simpan diam-diam pun sudah dijual. Uang pemberian orang tuanya hanya cukup untuk bayar kontrakan setahun. Selebihnya, ia hidup dari penghematan yang makin hari makin ketat.
Sore itu, di warung kopi kecil dekat terminal, Vandra duduk termenung. Tangannya memainkan sendok di dalam gelas kopi yang sudah dingin. Saat itu, terdengar suara seseorang memanggil dari arah belakang.
“Vandra! Eh, gila ... ini beneran kamu?”
Vandra menoleh, matanya membesar begitu melihat sosok pria berjaket kulit hitam yang mendekat. “Dion?”
Dion tertawa sambil menepuk bahunya. “Masih ingat sama drummer band kita dulu?”
“Ya ampun, udah lama banget, Bro!”
Tawa kecil itu menjadi hangat pertama yang Vandra rasakan setelah sekian lama. Mereka pun duduk dan berbincang panjang. Dion bercerita kini ia bekerja sebagai pengelola kafe live music di pusat kota.
Di tengah obrolan, Dion menatap Vandra lekat. “Eh, penyanyi di kafe aku lagi sakit habis kecelakaan motor. Kalau kamu mau ambil sementara, boleh. Semalam aja dibayar sejuta.”
Vandra nyaris tak percaya. “Serius, Bro?”
“Serius. Suara kamu kan dulu bagus banget. Masih bisa nyanyi, kan?”
“Masih, tentu aja!” jawab Vandra dengan mata berbinar. “Gila, rezeki banget nih!”
Tawa mereka pecah dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, dada Vandra terasa lapang.
Di kamar kontrakannya yang sempit, Vandra kembali memegang gitar yang sudah lama tak disentuh. Senar-senar sudah agak berkarat, tetapi suaranya masih jernih. Ia menyetem pelan, lalu memetik beberapa nada.
Nada-nada itu seolah membawa ingatan ke masa SMA, masa ketika ia dan Dion tampil di panggung kecil sekolah, disoraki teman-teman. Band mereka juga sering ikut lomba band.
Vandra juga menyanyikan beberapa lagu kenangan ketika bersama Alya. Dia memang suka berkaroke bersama Alya jika ada menghabiskan waktu berdua. Hatinya menegang. Nama itu masih meninggalkan bekas yang dalam.
“Sekarang, fokus dulu buat hidup, Van,” gumamnya pelan.
Ia membuka ponsel dan mencari daftar lagu yang sedang populer. Tangannya mencatat judul-judulnya di buku catatan lusuh. Setelah itu, ia menyalakan musik dari ponselnya, mendengarkan, dan berusaha menghafal liriknya satu per satu. Suara gitarnya mengalun sampai larut malam, menyatu dengan dengung kipas angin tua di sudut ruangan.
Jam enam sore, Vandra sudah siap berangkat. Ia mengenakan kaos putih di balut kemeja hitam sederhana dengan kancing terbuka. Lalu, celana jeans berwarna hitam dan sepatu warna putih. Sebelum keluar, ia sempat bercermin dan tersenyum kecil pada pantulan dirinya.
“Setidaknya malam ini aku punya arah,” ujar Vandra lirih.
Kafe tempat Dion bekerja cukup ramai. Lampu-lampu gantung temaram membuat suasana hangat. Aroma kopi dan asap rokok bercampur dalam udara.
Vandra naik ke atas panggung kecil di pojok ruangan. “Selamat malam semuanya,” ucapnya, suaranya sedikit bergetar di awal, tapi lalu mantap.
Vandra mulai menyanyikan lagu pertama, lagu pop yang sedang digemari. Suaranya halus namun hangat, penuh perasaan. Perlahan, para pengunjung yang semula sibuk berbincang mulai memperhatikan.
Setelah dua lagu, seorang pria paruh baya mendekat ke Dion dan berbisik, lalu memberi isyarat ke panggung. “Minta lagu ‘Dan’ dari Sheila On Seven, katanya.”
Vandra tersenyum. Ia mengenal lagu itu luar kepala. Begitu bait pertama keluar, ruangan seolah hening. Suaranya yang dalam menyapu setiap sudut kafe, menyentuh hati para pendengar.
Ketika lagu berakhir, tepuk tangan membahana. Beberapa pengunjung maju memberi uang tips ke wadah kecil di depan panggung. Dion hanya tersenyum lebar dari balik meja bar.
Malam itu, Vandra membawakan lebih dari sepuluh lagu. Ia bahkan lupa waktu, menikmati setiap nada yang keluar dari gitar tuanya.
Setelah pertunjukan usai, Dion menepuk pundaknya. “Keren banget, Bro. Kayaknya kamu bakal jadi penyanyi tetap di sini.”
Vandra tertawa lepas. “Amin! Makasih banget, Dion.”
Di perjalanan pulang, ia menghitung uang di saku. Ada sekitar dua juta rupiah, termasuk tips dari pengunjung. Jumlah yang tidak besar bagi kebanyakan orang, tetapi bagi Vandra, itu berarti harapan.
“Alhamdulillah, ada rezeki juga,” bisik Vandra sambil menatap langit malam yang penuh bintang.
Sesampainya di rumah, ia membuka pesan dari Erika di ponselnya. “Mas, semangat ya kerjanya. Aku senang Mas mulai bangkit lagi.”
Vandra tersenyum, memejamkan mata sejenak. Rasa lelah hilang seketika, diganti keyakinan baru.
“Mungkin ... ini awal yang baik buat aku dan Erika,” kata Vandra pelan.
***
Tiga hari setelah perjalanan bisnis itu, Erika kembali ke Jakarta. Di wajahnya terpancar kelelahan, tetapi juga kepuasan yang tidak bisa disembunyikan. Di sana dia merasa menjadi seorang nyonya kaya, menikmati fasilitas mewah.
Tas kecil di tangannya berisi dua lembar cek dalam jumlah besar. Lebih dari yang pernah ia pegang selama menikah dengan Vandra.
Begitu tiba di rumah kontrakan, Erika mendapati Vandra sedang duduk di ruang tamu dengan wajah letih sambil mendengarkan lagu. Laki-laki itu menatap istrinya sejenak, mencoba tersenyum meski matanya sayu.
“Kamu baru sampai?” tanya Vandra lembut.
“Iya. Capek banget, Mas,” jawab Erika sambil meletakkan tas dan merebahkan tubuh di sofa.
Vandra memperhatikan istrinya. Ada sesuatu yang berubah. Tatapan mata Erika lebih tajam, sikapnya lebih dingin. Seolah wanita itu membawa pulang dunia lain bersamanya.
“Aku tadi coba daftar kerja lagi, tapi belum ada panggilan,” ucap Vandra lirih.
Erika menatapnya sebentar, kemudian tersenyum tipis. “Sabar aja, Mas. Rezeki kan nggak ke mana.”
Namun dalam hati kecilnya, Erika berpikir, “Kalau pun dapat kerja, penghasilannya nggak akan sebesar yang aku dapat sekarang.”
Vandra mendekat, mengusap rambut istrinya dengan lembut. “Kamu kelihatan makin cantik, ya. Tapi, kok, kayaknya beda.”
Erika tertawa kecil, tapi tawanya kaku. “Mungkin karena make up, Mas.”
“Bukan cuma make up,” gumam Vandra. “Kamu kayak bukan Erika yang dulu.”
Hening. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar pelan. Erika memilih berpura-pura mengantuk, lalu berjalan menuju kamar.
Di dalam kamar, Erika membuka tas kecilnya. Tangannya bergetar ketika memegang dua lembar cek yang masing-masing berisi seratus juta. Senyum tipis pun muncul dari bibirnya.
“Dunia ini cuma menghargai orang yang punya uang,” bisik Erika pelan.
Malam itu, Vandra menatap istrinya yang tertidur membelakangi dirinya. Ia tak tahu kenapa hatinya terasa jauh. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
***
Erika kembali kerja ke kantor. Pak Rudi menyambutnya dengan senyum lebar di ruang kerja mewah yang menghadap ke kota.
“Kamu kerja luar biasa kemarin. Rekan bisnis kita di Medan sangat terkesan,” katanya sambil menatap Erika dengan tatapan menggoda.
Erika tersenyum sopan. Sekarang dia sudah tidak lagi gugup seperti dulu.
“Terima kasih, Pak. Saya hanya menjalankan tugas.”
“Kalau begitu, jalankan tugas berikutnya. Minggu depan, kita ke Surabaya. Dua malam saja.” Pak Rudi tersenyum manis.
Erika menatap pria itu lekat-lekat. Dalam tatapan itu, ada perhitungan yang matang antara harga diri, keserakahan, dan rasa takut.
“Baik, Pak,” jawab Erika akhirnya.
Ketika keluar dari ruangan itu, langkah Erika terasa mantap, walau hatinya sedikit berdebar. Ia tahu ke mana arah permainan ini akan berlanjut. Ia juga tahu selama uang mengalir, ia akan terus bermain.
"Aku harus punya banyak uang dan relasi. Dengan begitu, punya kekuatan untuk memberikan balasan kepadamu, Alya," batin Erika yang menaruh dendam.
***