Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : AYAH SAKIT?
Aby hampir tak mempercayai pendengarannya sendiri. Kalimat panjang yang baru saja diucapkan Embun membuatnya terpaku di tempat. Untuk beberapa saat, laki-laki itu seperti kehilangan akal sehatnya. Lidahnya bahkan terasa kaku dan sulit untuk mengucapkan sesuatu.
"Embun ... tapi—"
"Keputusanku sudah bulat dan nggak bisa lagi ditawar-tawar!" ucap Embun tegas.
Aby merasakan tubuhnya lemas saat itu juga. Entah untuk alasan apa, ia merasa tak senang dengan keputusan Embun yang terkesan mendadak dan mengejutkan.
"Aku nggak mau terus menjadi penonton kemesraan kamu dengan pacar kamu itu. Setelah kita bercerai, kamu bebas melakukan apa saja dengan dia," lanjut Embun.
Aby kembali terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Ia sadar, memang masalah ini berakar darinya.
"Aku tidak bisa menghalangi. Itu hak kamu," ujarnya pasrah.
"Makasih kamu mau mengerti keputusanku. Tenang aja, aku nggak akan menuntut apapun dari keluarga kamu. Aku cuma mau kita cerai. Nggak ada gunanya hidup dalam tali pernikahan yang tidak sehat seperti ini. Aku nggak bisa jadi istri pajangan kamu lagi."
Aby mengangguk pasrah. Baru saja akan bangkit dari duduknya untuk pulang ke rumah, suara deringan ponsel sudah terdengar.
Dengan segera, laki-laki itu mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana. Di layar tertera nama bunda, yang membuat Aby segera menggeser simbol hijau agar terhubung.
"Iya, Bunda."
"Aby kamu di mana?" Suara bunda terdengar panik dan gelisah. Napasnya terdengar sangat cepat.
"Aku di rumah Embun, Bunda," jawabnya dengan kerutan di kening. "Bunda kenapa kedengarannya panik?"
Aby langsung berdiri dari duduknya. hanya dengan mendengar nada bicara bunda, ia sudah menebak terjadi sesuatu yang serius. Melihat raut wajah suaminya yang tiba-tiba serius, Embun pun menatap penuh tanya.
"Ayah, Aby ... ayah barusan sesak napas dan tiba-tiba nggak sadar. Sekarang sudah di rumah sakit. Kamu ke sini ya, sekarang."
Isak tangis bunda yang terdengar jelas di ujung telepon membuat Aby merasa lemas pada seluruh tubuhnya. Sejak pagi ayah memang terlihat kurang sehat.
"Iya, Bunda. Aku ke sana sekarang."
Panggilan terputus. Aby memasukkan kembali ponsel ke saku celana.
"Ada apa, Mas?" tanya Embun, yang sudah menebak terjadi sesuatu dengan ayah mertuanya.
"Ayah dibawa ke rumah sakit. Bunda minta aku ke sana."
Embun menjadi sangat khawatir mendengar kabar tentang ayah mertuanya. "Aku ikut, Mas!"
"Ya sudah, kamu cepat ganti baju," pintanya, melihat Embun hanya menggunakan setelan piyama.
Mobil melesat cepat membelah jalan yang lengang malam itu. Aby mengemudi dengan kecepatan tinggi saking paniknya.
Sesekali Embun melirik suaminya sambil berpegangan pada jok.
"Pelan sedikit, Mas. Kamu bisa membahayakan kita dan orang lain." Embun memperingatkan, membuat Aby segera tersadar.
Pria itu pun mengurangi kecepatan berkendara. Panik berakibat pada kemampuannya dalam mengontrol emosi. Yang Aby pikirkan hanyalah secepatnya tiba di rumah sakit dan menemani bunda yang mungkin sedang menangis.
"Maaf, sudah membuat kamu takut. Aku panik."
Ponsel milik Aby kembali berdering. Dengan gerakan cepat, pria itu meraih benda pipih itu dari dashboard dan segera menggeser simbol hijau tanpa melihat nama pemanggil.
"Iya, Bunda," jawab Aby dengan sebelah tangan meletakkan ponsel pada daun telinga, sementara tangan satunya memegang setir.
"Bunda? Ini aku, Aby!"
Aby menghembuskan napas panjang setelah mengenali suara wanita di ujung telepon. Ia pikir bunda yang melakukan panggilan, yang ternyata adalah Vania.
"Maaf, Van. Aku sedang buru-buru. Bicaranya lanjut nanti aja."
"Memang kamu mau ke mana?" tanya Vania cepat, sebelum Aby memutus panggilan.
"Ayah masuk rumah sakit. Aku sedang di jalan ke sana."
"Ayah kamu sakit?" Suara Vania terdengar terkejut.
"Iya. Sudah ya. Aku buru-buru."
Tanpa menunggu balasan dari Vania, Aby memutus panggilan dan meletakkan kembali ponsel.
Setibanya di rumah sakit, Aby dan Embun saling berkejaran melewati lorong-lorong sunyi malam itu. Langkah keduanya terhenti tepat di depan sebuah unit di mana ayah mendapat penanganan dari dokter. Tak jauh dari sana terlihat bunda yang tampak sedang duduk di sebuah kursi panjang sambil menangis.
Embun segera mendekati sang mertua dan duduk si sisinya. Bunda yang masih terus terisak menjatuhkan tubuhnya di pelukan sang menantu.
"Ayah, Embun ...," lirih wanita paruh baya itu.
Embun hanya dapat memeluk dan mengusap punggung ibu mertuanya. "Bunda sabar, ya. Ayah pasti kuat. Kita berdoa sama-sama buat ayah."
Bunda menyahut dengan anggukan kepala, membuat Aby segera berjongkok di hadapannya.
"Ayah sebenarnya kenapa, Bunda?"
"Bunda juga nggak tahu. Mungkin ayah kepikiran sama galang yang sampai sekarang belum ada kabar. Tiba-tiba ayah ngeluh sesak dan dadanya sakit. Untung Mang Dadang masih ada di rumah, jadi bunda minta tolong di antar ke rumah sakit."
Meskipun bunda menjelaskan dengan suara yang tersendat-sendat karena suaranya bercampur isak tangis, namun masih terdengar jelas oleh Aby dan Embun.
"Tenang, Bunda. Dokter pasti berusaha memberikan yang terbaik untuk ayah," bujuk Embun.
Aby terdiam di tempat. Kelembutan dan ketulusan Embun terhadap bunda menciptakan rasa yang sulit ia pahami.
...........
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭