BIARKAN AKU JATUH CINTA
Ig @authormenia
Akbar diundang ke SMA dan bertemu dengan Ami yang muda dan cantik. Hatinya terasa kembali pada masa dia masih muda, bagaikan air dingin yang dituangkan air mendidih. Dia menemukan jiwa yang muda dan menarik, sehingga dia terjerumus dalam cinta yang melonjak.
Akbar menjalin hubungan cinta dengan Ami yang berumur belasan tahun.
Bagaimana hubungan dengan perbedaan usia 16 tahun akan berkembang?
Bagaimana seorang gadis yang memutuskan untuk menikah muda harus berjuang untuk mendapatkan persetujuan dari keluarganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Tumben
Ami selesai mengikuti kegiatan Rohis di hari jum'at terakhir ini bersama Kia. Karena senin, semua murid kelas X dan XI mulai mengikuti ujian. Mang Kirman tidak bisa menjemput karena sedang mengantarkan pesanan nasi kotak ke daerah Ciamis Utara. Jadilah ia akan pulang dengan memesan taksi online.
"Hei-hei, mau kemana? Kita bareng!" Ami menarik tangan Kia yang hendak kabur lebih dulu. Ia lebih awas melihat temannya itu yang selalu sungkan jika diajak pulang bersama. Ia mengajak Kia duduk di bangku Taman Jomblo untuk memesan dulu taksi online.
"Hai, Mi!" Almond yang datang dengan berlari, duduk di bangku yang ada di hadapan Ami. "Kenapa belum pulang? Nunggu aku ya?" sambungnya dengan percaya diri.
Ami urung membuka aplikasi. Menatap Almond dengan bibir mencebik. "Pede selangit kamu, Mon. Aku mau pesan taksi. Mang Kirman gak bisa jemput."
"Aku antar aja, Mi. Mobil jemputan udah datang. Yuk, mau sekarang?" Ajak Almond.
Ami menggeleng. "Jalur kita berlawanan arah, Mon."
"No problem. Sekalian pengen tau rumah kamu, Mi. Please, jangan nolak! Kita kan friend." Keukeuh Almond.
Ami berpikir sejenak. "Tapi harus sama Kia juga. Kia turunnya di lampu merah. Boleh ikut ya, Mon?"
"Nggak usah. Nggak apa-apa aku naik angkot aja." Kia berdiri lebih dulu. Ia tak berteman akrab dengan Almond. Berpapasan di koridor sekolah pun tak pernah bertegur sapa. Murid MiPA 1 itu terkesan angkuh menurutnya. Membuatnya sungkan jika harus menumpang.
"Kia, ayo ikut juga!" Ucap Almond tegas. Ia mengajak pergi sekarang. Jadilah bertiga berjalan menyusuri koridor menuju parkiran.
Saat Kia lebih dulu turun di lampu merah, Almond berpindah duduk yang tadinya di samping sopir beralih ke jok belakang di samping Ami. "Mi, nanti liburan mau kemana?"
"Aku mau ke Jakarta. Teteh aku udah lahiran. Pengen lihat keponakan baru." Ami tersenyum lebar. Teringat tadi melihat postingan kakak iparnya di grup keluarga. Mengirimkan sebuah foto bayi diiringi caption ucapan syukur atas kelahiran putra kedua bernama Rayyan Naufal Adyatama.
"Aku juga bakal pulang ke Jakarta. Nanti kita ketemuan ya, Mi?" Almond menatap dengan sorot mata berbinar.
"Beli pizza dan gulali," ucap Ami santai.
"ARTINYA?" Almond sudah tahu gaya joke Ami. Padahal belum dijawab tapi sudah ingin tersenyum lebih dulu.
"Kita lihat saja nanti." Sahut Ami diiringi kekehan.
"Beli gulali ke Cikarang. Gak mau nanti, harus jawab sekarang!" Balas Almond.
Ami melebarkan mata. "Wow, Emon. Sejak kapan kamu bisa pantun? Biasa lempeng kayak penggaris, kaku kayak kanebo kering," ledeknya.
Almond mendengkus. Ekspektasi akan mendapat pujian. Faktanya mendapat ledekan. "Gaul sama kamu jadi kebawa somplak gue. Tapi bagus sih, kamu bawa vibes positif," ujarnya sambil mengacungkan jempol diiringi tersenyum simpul.
Ami terkekeh. "Mon, kamu tuh tambah cakep kalo senyum. Biasakan banyak senyum gitu biar gak dikira anak sombong. Biar banyak teman. Kia aja tadi takut sama kamu. Padahal sebenarnya kamu tuh baik. Tapi orang lihat tampangmu killer."
"Nggak mau ah. Nanti dikira tebar pesona. Setelan gini aja banyak cewek caper. Apalagi kalo murah senyum, bisa pada baper," ujar Almond dengan santai dan percaya diri.
Ami urung membalas ucapan Almond karena ponsel dalam tasnya berdering. Ia merogohnya dan spontan berucap kaget saat melihat nama yang tampil di layar, "Ya ampun."
Almond menoleh dengan kening mengkerut. "Siapa, Mi? Kenapa gak diangkat?"
"Sodara vc. Nanti aja deh di rumah. Tanggung bentar lagi mau sampe," ujar Ami beralasan. Ia mengirimkan pesan begitu nada dering berhenti dengan sendirinya.
[Maaf Kak, lagi di jalan udah mau sampe rumah. Nanti aku chat kalo udah di rumah]
Sepintas Ami membaca balasan 'Oke' dari nama Kak Akbar yang sepintas tampil di layar atas.
Mobil pun tiba di depan rumah Ami. Almond yang ikut turun, memperhatikan sekeliling. "Mi, rumah makan itu punya Ami juga?" tanyanya penasaran melihat lahan antara samping rumah dan rumah makan adalah parkiran motor.
"Iya punya keluarga aku. Kapan-kapan makan ke sini, Mon. Ajak teman-teman or keluarga. Jangan lupa nanti kasih review di Mbah Ugel ya!" Ucap Ami sekaligus promosi.
"Oke, Mi. Nanti aku ajak teman ke sini paling abis ujian." Binar mata Almond menyiratkan antusias.
Ami masuk ke rumah usai mengucapkan terima kasih dan melihat mobil Almond melaju putar arah. Buru-buru naik ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia berkaca di cermin meja rias. Selembar tisu diusapkan ke wajah yang sedikit berminyak di bagian hidung.
[Kak, aku udah di rumah]
Namun pesan itu urung dikirimkan, dihapus lagi. Rasanya tidak percaya diri masih pakai batik seragam sekolah. "Mandi dulu ah," ujarnya bicara sendiri. Bergegas masuk ke kamar mandi.
Mandi cepat, pakai baju dan rok serta pasmina warna krem dililitkan di leher. Lantas menyapukan bedak tipis-tipis serta mengoles bibir dengan lip serum sehingga nampak merona pink lembab. Ami tersenyum di depan cermin. Kini ia percaya diri. Jempolnya pun menari, mengulang mengirim pesan kalimat tadi.
Ami tetap duduk di depan cermin dengan ponsel yang sudah dipasang di phone holder. Kembali memastikan penampilannya sambil menunggu ponsel berbunyi.
"Assalamu'alaikum, Kak." Ucap Ami usai dengan cepat menyentuh ikon video.
"Wa'alaikum salam." Wajah Akbar memenuhi layar. Kentara tersenyum tipis.
"Hm, ada apa Kak Akbar vc aku?" Ami merasa risih karena untuk beberapa detik lamanya, Akbar hanya memandang, belum berkata lagi.
"Gak ada yang penting sih. Tiba-tiba aja tadi ingat gombalan Ami waktu di kelas dulu. Jadi kangen pengen lihat orangnya dan denger suaranya lagi makanya vc. Kak Akbar ngeganggu tidak?"
Ami tersenyum simpul. "Nggak kok. Barusan pulang ekskul terus mandi dulu. Jadi sekarang udah santai."
"Pantesan fresh look dan makin cantik." Akbar tersenyum manis. Menatap lembut.
"Makasih." Ami tersipu malu. Bukan lagi Ami yang dulu. Yang biasanya dengan percaya diri menjawab 'Udah cantik dari orok'.
"Kalau Kak Akbar belum mandi, masih di kantor. Harap maklum kalau unfresh," ujar Akbar diiringi kekehan. Ia duduk santai di kursi kebesarannya.
Ami menjentikkan jari dengan mata berbinar. "Aman, Kak. Gantengnya gak pudar kok. Ibarat badak makan ikan hiu."
"Artinya?" tanya Akbar dengan senyum masih menghias wajah. Ini yang dirindukan dari seorang Ami. Gombalannya yang selalu ada stok.
"Badak makan ikan hiu. Mendadak I love you. Hihihi." Ami terkikik.
Akbar tertawa lepas. Tidak salah ia lebih dulu mengusir Gita dan Leo dari ruangannya. Karena wibawanya menjadi luntur jika berhadapan dengan Ami. Orang lain tidak boleh melihatnya seperti ini.
"Maaf ya, Kak. Just kidding." Ami mengacungkan dua jarinya. Bagaimana pun ada sungkan karena mencandai orang yang tidak sebagai dengannya.
"Jangan minta maaf. Kamu menyenangkan, Mi. Makasih lho udah bikin Kak Akbar terhibur. Jadi moodboster buat meeting malam ini." Akbar berkata jujur dari hati.
Ami tersenyum dan mengangguk. "Es bonbon campur kopi. I was born to make you happy. Hehehe."
Akbar tertawa lepas lagi. Ia geleng-geleng kepala. Hilang kata untuk menjawab gombalan Ami yang membuat hatinya menghangat dan penuh keriaan.
Tok tok tok.
"Amiii." Suara panggilan Aul terdengar usai pintu diketuk. Bahkan kemudian gagang pintu diputar.
Ami menoleh ke arah pintu dengan wajah kaget. "Kak, udahan dulu ya! Aku dipanggil Teh Aul," ujarnya kembali menatap layar.
"Oke. Thank you untuk waktunya ya, Mi. Happy weekend, Imut." Akbar mengedipkan sebelah mata, kemudian lebih dulu berucap salam.
Ami sejenak terpana dengan nafas tertahan. Kedipan yang membuat jantungnya berdenyut dengan debaran kencang.
Ami bergegas membuka pintu usai menjawab salam dan mengunci layar. "Ada apa, Teh?" Ia menatap kakaknya usai menetralkan wajahnya yang sempat memerah.
"Tumben pintu dikunci segala." Aul lebih dulu menyampaikan keheranannya. Menatap dengan menautkan kedua alisnya.
"Lagi pakai baju, kan abis mandi." Ami beralasan.
"Ayo kita makan! Sekalian jadi juri ya. Teteh nemu buku resep jadul punya Ibu di gudang. Barusan nyobain bikin sop gurame ala buku. Bumbunya ada yang beda sama resep bisa." Aul mengajak Ami turun.
"Aku sih yes." Ami mengekori langkah Aul keluar dari kamar.
Aul menghentikan langkah. Memutar tubuh. "Harus jadi juri serius, Mi. Ini mau dimasukin menu cafe nanti."
Ami cengengesan. "Pokoknya Teh, kalau aku makan sampai habis itu berarti enak. Lulus audisi Chef Aulia," ujarnya dengan membulatkan telunjuk dan jempolnya.
Aul tersenyum samar, menyembunyikan rasa senangnya karena pujian Ami. Namun kemudian dahinya mengkerut memperhatikan penampilan adik bungsunya itu. "Ami mau pergi kemana?"
"Nggak kemana-mana. Kenapa emang?" Ami beralih menatap bingung.
"Ini dandan cantik kayak mau keluar." Aul memperhatikan dari atas sampai bawah.
Ami menelan ludah. Lupa, biasanya kalau di rumah pakai kaos oblong dengan celana jogger. Ini malah mengenakan blouse warna pink dan rok motif floral "Oh ini, lagi pengen dandan aja. Hayu lah keburu dingin sop gurame nya." Ia mendorong lengan Aul agar melanjutkan berjalan menuruni tangga.