Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Disebuah Rumah Sakit, Dina dengan perut membesar, mengerang kesakitan. Dari sela-sela kakinya yang telah memerah akibat darah yang merembes keluar.
"Siapkan ruang operasi, pasien harus segera dioperasi" Teriak dokter yang berjaga kepada para perawat yang ikut mendorong brankar menuju ke ruang operasi. "Panggil dokter Ester dari obgyn" teriaknya lagi.
"Dokter Fina, saya sudah menghubungi bagian obgyn untuk segera menuju ruang operasi" teriak salah seorang suster.
"Pertama-tama, kita harus menghentikan pendarahannya terlebih dulu. Kalau tidak ibu dan bayi yang dikandung tidak akan selamat" seruan dokter Fina terdengar oleh Ronny yang mengikuti mereka dibelakang.
Sontak, pria itu langsung meraih tangan dokter wanita itu, "Lakukan apapun untuk menyelamatkan anak saya. Saya tidak peduli kalaupun saya harus kehilangan istri saya" ucapan Ronny membuat kening dokter Fina berkerut, tapi dia tidak mengatakan apapun untuk membalas ucapan Ronny, karena prioritas utamanya adalah menyelamatkan pasien yang ada dihadapannya sekarang.
"Silahkan anda tunggu diluar" ucap seorang suster, setelah mendapat isyarat untuk menyingkirkan Ronny dari hadapan dokter Fina.
Diluar ruang operasi, Ronny duduk dengan kalut. Apa yang terjadi hari ini, merupakan kesalahannya. "Bagaimana kalau dia tidak selamat?" tanya wanita yang duduk disampingnya takut - takut.
Ronny menoleh, seketika tatapan matanya berubah melunak, "Jangan khawatir" ucapnya.
"Justru akan jauh lebih baik bagi kita, jika wanita itu mati. Dengan begitu, tidak akan ada yang tahu tentang kejadian hari ini" ucap Ronny lagi.
Wanita itu menjadi sedikit lebih tenang setelah mendengar ucapan Ronny kepada dirinya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya ketika dirinya menyandarkan kepalanya di bahu pria yang telah menjadi kekasihnya selama 2 tahun terakhir.
"Ya, Ronny memilihku daripada perempuan rendahan seperti Dina. Tidak mungkin perempuan seperti Dina bisa mengalahkanku" seringainya lagi.
"Sebaiknya kau sekarang pulang, tidak ada yang bisa kau lakukan disini. Selain itu, aku juga harus menghubungi keluargaku. Kita tidak mau kalau sampai papa mengetahui hubungan diantara kita berdua, bukan?" bujuk Ronny.
"Tapi, aku masih ingin bersama denganmu" rengek Tari manja.
"Tolong mengerti posisiku sekarang. Tidak akan terlihat baik bagiku, jika kita terlihat bersama disaat Dina sedang berjuang antara hidup dan mati. Setelah semuanya selesai aku akan menemuimu, ini untukmu kau belilah tas yang sudah lama kau inginkan" kata Ronny.
Tari menurut dan segera meninggalkan Ronny sendirian setelah menerima kartu ditangannya.
***
Lampu ruang operasi bersinar tajam, memantul di atas alat-alat bedah yang tertata rapi. Suara monitor detak jantung terdengar teratur, tapi aura tegang menyelimuti seisi ruangan. Dina terbaring di meja operasi, matanya setengah terpejam karena pengaruh anestesi, rasa cemas diwajahnya tak bisa disembunyikan lagi dari kerut di dahinya. Di sisi tubuhnya yang terbuka, dokter dan perawat bergerak cepat. Wajah mereka diselimuti keseriusan yang mencekam.
"Tekanannya turun!" suara dokter anestesi memecah keheningan, menandai awal dari krisis yang tak terduga. Mesin yang sebelumnya berdetak stabil, mulai berbunyi cepat—sebuah peringatan. Aliran darah begitu deras, lebih banyak dari yang diperkirakan, menggenangi kain steril dan membasahi lantai.
Para perawat saling bertukar pandang, sementara dokter bedah mengerahkan seluruh fokusnya untuk menemukan sumber perdarahan. "Cepat, lebih banyak klem," ujarnya tegas, tetapi di balik nadanya tersimpan kekhawatiran. Waktu seakan melambat, setiap detik terasa begitu lama.
Dina berjuang di antara kesadaran yang mulai kabur, napasnya pendek dan berat. "Ini bukan perdarahan biasa. Kita harus bertindak cepat atau kita akan kehilangannya," bisik Fina, yang bertanggung jawab sebagai dokter utama dengan tegas, sambil mengisyaratkan perawat lainnya untuk menyiapkan transfusi darah darurat.
Tim medis bekerja keras berusaha mengejar waktu. Suara alat medis dari logam mulai berdenting, napas mereka terdengar berat di balik masker bedah. Setiap gerakan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, tujuan mereka hanya satu, menyelamatkan nyawa ibu dan juga bayi yang sedang dikandung.
"Ayo, kita pasti bisa selamatkan dia. Fokus!!!" bisik Fina pada dirinya sendiri, saat tangannya bergerak terampil membedah tubuh Dina, dibantu pleh rekan sejawatnya, namun tak dapat dipungkiri jika saat ini detak jantungnya berpacu kencang.
Waktu terus bergulir, seakan berpacu dengan takdir yang mulai samar. Mereka tahu, detik-detik itu bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati. Suasana di ruang operasi semakin tegang. Perawat dengan cekatan mengganti kantong darah yang mulai kosong, menggantinya dengan kantong darah lain yang perlahan mengisi tubuh Dina di meja operasi. Warna merah yang pekat mengalir melalui selang, memberikan harapan baru di tengah situasi yang begitu genting. Monitor detak jantung masih berbunyi, namun iramanya kini semakin tak menentu. Para dokter tetap tenang di luar, namun di dalam hati mereka, waktu terasa seperti musuh yang bergerak cepat.
“Tekanan darahnya mulai naik, tapi kita belum keluar dari masalah,” gumam Fina sambil memegang erat alat medis di tangannya. Di sebelahnya, seorang perawat menyeka keringat yang mengalir di dahi sang dokter. Tangan Fina berusaha tetap stabil, meskipun ketegangan jelas terlihat di wajahnya. Mereka semua tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa mengakhiri segalanya.
“Sedikit lagi... Kumohon sedikit lagi.....” kata Fina, suaranya teredam oleh masker bedah yang dikenakannya. Jari-jarinya menari dengan cekatan di atas luka operasi, seperti seorang maestro yang mengarahkan orkestra di ambang klimaks simfoni. Darah yang mengalir mulai bisa dikendalikan, tetapi mereka masih harus berhati-hati.
Detik-detik berlalu begitu cepat terasa sangat lama. Tiba-tiba, suara mesin berubah lagi—kali ini lebih stabil, lebih tenang. Monitor detak jantung kembali berdetak dengan irama yang teratur. Para dokter saling menatap, ada harapan di mata mereka. “Kita berhasil mengendalikan perdarahannya,” kata Fina dengan nada lega yang tak bisa dia sembunyikan.
Seorang perawat mengambil langkah maju, mendekati monitor dan mencatat hasil vital yang kini mulai membaik. Dia melirik Dina yang terbaring lemah namun mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Di sudut ruangan, suara tangisan kecil terdengar—bayi yang baru lahir. Tangisnya menggema di seluruh ruang operasi, memecahkan keheningan yang selama ini terasa begitu menekan.
“Bayinya selamat!” seorang suster berseru, membawa si kecil yang terbungkus kain steril mendekati inkubator yang sudah dipersiapkan. Bayi itu menangis keras, suaranya seperti sebuah kemenangan setelah perjuangan panjang. Dina masih tak sadarkan diri, tetapi tubuhnya kini stabil, perlahan berjuang untuk pulih dari pergulatan hidup dan mati.
“Akhirnya,” kata Fina dengan napas lega, melepaskan sarung tangan bedahnya. Seluruh ruangan terasa seolah mengembuskan napas yang telah ditahan selama berjam-jam. Mereka berhasil. Sang ibu, yang hampir terenggut oleh maut, kini berada di ambang pemulihan.
Para perawat mulai merapikan alat-alat, suara gemerisik kain steril menggantikan ketegangan yang sebelumnya menggantung di udara. Dokter obgyn menoleh sejenak ke arah bayi yang kini terbungkus rapi dalam inkubator kecil. Tangisnya telah mereda, tetapi suaranya tadi menjadi bukti nyata bahwa hidup baru telah hadir, bahkan di tengah bayang-bayang krisis.
Ruang operasi yang tadi terasa mencekam kini dipenuhi oleh keheningan damai. Para petugas medis, meski letih, berbagi tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah melewati batas tipis antara kehidupan dan kematian, dan kembali dari sana dengan kemenangan.
Di luar ruang operasi, Ronny yang telah menunggu dengan cemas, melihat pintu terbuka. Fina, dokter yang memimpin operasi keluar dengan wajah yang masih lelah tapi penuh harapan. "Istri Anda selamat, dan bayi Anda baik-baik saja."
Wajah Ronny menegang, raut wajahnya menunjukkan rasa tidak suka dengan kabar yang baru saja dia dengar, "Jadi istri saya selamat? Dia tidak meninggal?" tanya Ronny.
"Ya, istri anda selamat, dan putra anda juga lahir dengan sehat" kata Fina dingin.
Ronny memukul tembok kosong disampingnya, wajahnya tampak frustasi.
"Baiklah, terima kasih atas informasinya, saya permisi, saya harus memberi tahu keluarga yang lain" kata Ronny seraya berlalu meninggalkan Fina sendirian.
"Bajingan!!!" bisiknya lirih, manakala dia mengingat bekas memar yang memudar disekujur tubuh Dina. Sebagai seorang profesional, dia bisa menebak bahwa pasien yang ada didepannya mengalami tindak kekerasan sebelumnya.
"Dokter Ester, sepertinya pasien merupakan korban kekerasan. Ditubuhnya terdapat banyak bekas memar dan lebam yang sudah memudar. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Fina pada Ester, dokter obgyn yang membantunya dalam operasi.
"Sebaiknya kau tidak melakukan apapun, kau tahu kan siapa pasien ini? Dia adalah menantu dari orang yang memiliki pengaruh tinggi. Kalau kau masih ingin mempertahankan pekerjaanmu, lebih baik kau menutup mata soal ini" saran Ester.
"Tapi aku seorang dokter, bagaimana aku bisa mengabaikan hal ini?" seru Fina.
"Fina, aku paham bagaimana perasaanmu. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa kau atasi, dan tidak semua pasien yang membutuhkan bantuan harus kau tolong. Kau sudah melakukan kewajibanmu menyelamatkan nyawanya, selebihnya sebaiknya kau tidak ikut campur. Tidak akan ada hal yang baik, kalau terlibat dengan keluarga mereka" Ester berlalu setelah mengatakan hal itu pada Fina.
****
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina