Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua belas
Ketukan sepatu pada lantai dingin berwarna putih seakan menemani gadis yang terduduk manis itu. Sesekali tangan kanannya ia angkat sejajar dengan dagu untuk melihat benda hitam yang melingkar pada pergelangan tangannya.
Sudah satu jam berlalu.
Satu jam di mana seharusnya Karel sudah muncul di hadapannya untuk menepati janji laki-laki itu. Ah- sebentar, apakah itu bisa di katakan sebagai sebuah janji?
Januarinya kembali bermain, bersamaan dengan kepalanya yang terus bergerak ke kanan juga ke kiri untuk menemukan Di mana keberadaan laki-laki itu.
Ia menghala nafas pelan. Apa Karel akan kembali mengabaikan permintaannya setelah ia melancarkan aksi kabur itu?
Senyumnya perlahan terukir tipis sebelum terkekeh pelan. Sepertinya iya yang terlalu berharap pada Karel yang memang selalu mengabaikannya.
"Kak,,,"
Panggilan pelan yang kemudian mendapat balasan dari seorang perempuan di sampingnya itu berhasil membuatnya tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal dan kembali menampilkan raut tidak enaknya.
"Maaf aku boleh pinjem ponselnya nggak?"
Jujur jika dia berada di posisi perempuan itu, ia pasti akan membalas dengan tatapan was-was. Hidup di zaman yang penuh dengan kata kriminal tentu akan membuat siapa saja waspada untuk memberikan benda pribadinya kepada orang yang tidak dikenal.
Tapi karena kebodohannya yang percaya saja karena akan datang di saat ponselnya masih berada di tangan Elia, membuatnya mau tidak mau menerima saja dianggap sebagai seorang kriminal.
Yang ia takuti hanya satu. Ia takut jika nantinya Karel datang di saat dirinya sudah meninggalkan pusat perbelanjaan-tempat di mana mereka berjanji untuk bertemu.
"Oh, iya boleh kok."
Syukurlah, dilihat dari tatapan tulus juga seniman lebar yang diberikan perempuan di sampingnya itu berhasil membuatnya sedikit mengalah nafas lega.
"Maaf ya, jadi ngerepotin," keluhnya tidak enak.
"Gak apa-apa kok, santai aja."
Ia kembali tersenyum kikuk sebelum pada akhirnya memasukkan nomor Karel secara lancar di atas layar yang menyala itu.
Kalau diminta menghafal nomor Karel, itu adalah hal yang mudah bagi Kania. Lagi pula, selama dirinya hidup, hanya Karel saja yang berhasil membuat dirinya ingin menghafal sebuah angka. Bahkan ia tidak bisa mengingat nomor telepon Elia atau bahkan Farhan, orang tuanya sendiri. Harusnya Karel beruntung karena nomornya dihafal oleh gadis cantik sepertinya kan? Karel juga pasti muak kali sama Lo, batinnya menambahkan.
Nada dering pertama...sunyi.
Nada dering kedua... Masih tidak ada jawaban.
Nada dering ketiga... Tentu belum ada jawaban juga.
Angkat telepon gue aja nggak pernah, apalagi angkat telepon nomor yang nggak dikenal.
Ia kembali menghalang nafas pelan. Sudahlah, lebih baik menonton film seorang diri saja. Sudah susah payah kabur dari rumah, masa ia kembali begitu saja karena Karel mengabaikannya.
"Udah telpon nya?" Perempuan yang berada di sampingnya itu menatapnya heran.
Ya, mau gimana lagi?
"Usah," balasnya dengan senyuman." Sekali lagi makasih ya," ucapnya sopan, sebelum kemudian bangkit berdiri dan kembali mengayunkan langkahnya dengan tenang.
Kecewa? Bisa dibilang terbesit terasa untuk hal itu.
Marah? Tidak, ia tidak bisa marah dengan kebiasaan Karel yang selalu mengabaikannya.
Ia terlalu biasa dengan Karel yang selalu mengabaikannya. Ia hanya terlalu biasa untuk berhadapan dengan Karel yang membutuhkannya. Ia terlalu biasa untuk menghadapi karir yang tak pernah peduli jika kenyataannya ia juga membutuhkan laki-laki itu.
Langkah pastinya seketika terhenti bersamaan dengan pemandangan yang baru saja ia lihat di depan sana. Genggaman tangannya pada tali tas secara tidak sadar menguat. Giginya seketika bergemelutuk menahan sesuatu yang kembali meruak di dalam dirinya.
"Karel,,"
Kerongkongannya terasa tercekat seketika. Panggilan pelan yang langsung dihadiahi dengan tatapan tak terduga itu berhasil membuatnya panas dingin seketika.
"Eh, Kania!"
Bukan, bukan suara Karel yang membalas panggilannya. Itu suara Sania. Suara khas yang seketika terdengar begitu menyakitkan di telinganya.
Perlahan namun pasti senyumnya mulai kembali terukir di sana. Ia kuat bukan? Buktinya berhadapan langsung dengan Sania yang menggandeng tangan Karel saja ia masih bisa menunjukkan senyumannya.
"Mau nonton film apa?" Kania mulai kembali membuka suara.
"Roman-"
"Gue ada tiketnya." Kania lebih dulu menyela ucapan Sania. Ia kemudian merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan tiket yang ia pesan setengah jam yang lalu. " Pakai aja," ucapnya kemudian mengulurkan benda itu ke hadapan Sania.
"Loh?" Sania kebingungan." Emang lo nggak mau nonton?"
Kania kembali menarik nafasnya kuat sebelum mengeluarkan udara itu kembali secara perlahan, dengan sebuah senyumannya yang semakin terlihat terpaksa.
"Mau,," ia membalas." Tapi pakai aja, orang yang janjian sama gue udah punya janji sama orang lain," akunya.
"Yah-"
"Udah pakai aja! Daripada gue buang-buang duit!" Kania menarik paksa lengan Sania dan memberikan tiketnya itu secara cuma-cuma padanya.
"Aduh, gue bayar aja ya-"
"Gak usah!" Kania kembali menghentikan pergerakan Sania yang baru saja akan mengeluarkan dompetnya." Anggap aja gue lagi baik hari ini."
"Serius?" Sania semakin merasa tidak enak.
Kania mengangguk dengan wajah yang masih menampilkan senyuman terpaksa." Iya, have fun ya!" serunya kemudian berbalik meninggalkan mereka.
Apakah tahu rasanya menjadi orang yang penuh sandiwara? Percayalah, rasanya sangat menyakitkan.
-----
Saja kehadiran Kania di belakang bar empat jam yang lalu, Andra harus mengucapkan kata syukur berulang kali. Bersyukur karena gadis itu masih bisa mengerjakan tugas dengan baik, di saat ia yakin ada sesuatu yang mengganggu perasaan gadis itu.
"Hei!" Ia memanggil dengan sedikit berteriak. Bukan marah, tapi dia yakin jika tidak memanggilnya dengan cara berteriak, Kania tidak akan mendengarnya.
Sesuai dugaannya, pikiran Kania memang sedang tidak ada di tempat. Hal itu jelas terbukti dengan Kania yang masih asyik mencuci meski teriakannya itu sudah menyadarkan beberapa temannya yang sama-sama berada di belakang Bar.
"Hei!" Ia menepuk pelan bahu gadis itu seolah membantu akan pikirannya yang tidak ditempat.
"Eh- iya."
Tuh kan! Kania saja terlihat terkejut akan panggilan juga tepukan itu. Bukankah itu sudah sangat jelas bahwa Kania memang tidak mendengar panggilannya.
"Istira- tangan Lo kenapa?" Andra menawarkan alisnya. Ia menarik paksa tangan gadis itu sebelum berdecak." Lo gak sadar?" tanyanya, kemudian menunjukkan jari manis Kania ke hadapan gadis itu.
Saking fokusnya dengan pikirannya sendiri, Kania sampai tidak sadar akan luka gores yang sudah mengeluarkan cairan merah itu.
"Maaf-maaf!" Kania menyahut tidak enak. Ia menyalakan keran air yang berada di hadapannya dan membiarkan luka gores itu perlahan pudar dari darah.
Andra menghela napas pelan." Urus dulu luka Lo di dalam-"
"Gak usah!" Kania menyahut panik." Maaf gue agak ke distract!" Ucapnya kemudian dengan wajah tidak enak.
"Istirahat," koreksi Andra kemudian." Lo gak sadar udah jam berapa?" tanyanya dengan alis yang terangkat satu.
Dan seakan sadar dengan kata-kata itu, Kania melirik cepat pada jam yang berada di tangannya." Ah, gak sadar," balasnya seraya menunjukkan deretan giginya.
Andra kembali berdecak." Sau jam ya. Berarti jam sepuluh balik lagi ke sini!"
Kania kembali mengangguk mengerti. Ia kemudian mulai melangkahkan kakinya, sebelum kembali berhenti kalah kedua matanya berhasil menemukan Karel yang sedang duduk manis di salah satu sofa. Ah, hari ini pikirannya penuh dengan Karel.
Ia mengelap tangannya pada kain yang menggantung di lehernya, sebelum menghela napasnya pelan. Sepertinya kalau tidak akan menyadari kesalahan nya pada Kania hari ini.
Ia kembali melangkahkan kakinya dengan pasti menuju bagian belakang klub malam itu. Seperti biasa, yang ia lakukan pertama kali setelah mendudukkan tubuhnya adalah mengeluarkan kotak rokoknya.
Hampir seharian ini mulutnya terasa hambar karena tidak menghisap benda itu. Padahal sempat ada niatan untuk dirinya tidak menyentuh benda itu karena janjinya pada Karel. Tapi berhubung Karel juga tetap tidak peduli, maka ia juga akan sama-sama tidak peduli jika kenyataannya Karel tidak menyukai gadis yang merokok.
"Asik!"
Seruan keras yang seketika mengudara bersamaan dengan kehadiran Laras yang entah dari mana asalnya itu berhasil membuat Kania menatap kesal gadis itu. Untung saja dia bukan orang yang latah atau orang yang memiliki penyakit jantung.
"Setan!" omelnya. Ia kemudian menarik segenting logo dari kotak putih itu dan menyalakan benda itu di detik berikutnya.
Laras terkekeh, kemudian menarik kursi di hadapan Kania dan melempar kas kecilnya ke atas meja. " Gimana nontonnya sama Karel tadi? Ia bertanya dengan alisnya yang bergerak naik turun bermaksud
menggoda.
Karel lagi. Rasanya hari ini Kania sudah malas sekali mendengar nama Karel. Coba saja membicarakan Karel pada esok hari, pasti ia akan kembali semangat.
"Pertanyaan Lo salah, harusnya lo tanya, gimana rasanya dicuekin Karel lagi?"
"Lah, emang kenapa?" Laras memasang wajah bingung. Ia masih mengingat jelas wajah sumbernya Rachel kemarin ketika membanggakan diri akan menonton film bersama Karel. Lalu, Kenapa wajah sumringah itu terganti dengan raut masam seperti ini?
Kania mencebik." Udah ah! Capek ngomongin Karel mulu!"
"Yakin?" Laras kembali menggodanya." Soalnya nggak ada sejarahnya lo capek ngomongin Karel."
"Laras!" Kania menyela dengan galak." Bisa diem gak?!" Perintahnya.
Laras terbahak, ia mengangguk -anggukan kepalanya sembari memperhatikan Kania yang mulai menyesap rokoknya.
"Kania gak datang ya?" tebak Laras.
Seolah sudah tahu jawaba yang akan di berikan Kania, Laras kembali mengulas senyum tipis. Jawaban itu susah terlihat dari raut wajah Kania yang seolah membenarkan tebakannya.
"Belum mau nyerah kan?" tanyanya kembali dengan nada menggodanya.
Kali ini Kania menghela napasnya pelan. Ia menaruh rokoknya pada asbak yangs empat ia ambil di belakang Bar tadi kemudian menautkan kedua tangannya. "Sebenarnya pengen,," ia menyahut pelan. " Tapi ibarat udah masuk ke sumur,, ya gue butuh orang lain untuk membantu gue keluar."