Kim Woo-jin masih bertahan membaca komik romansa remaja karena tertarik pada karakter Shimizu Miyuki, teman masa kecil karakter utama laki-laki dalam cerita. Namun, seperti yang sering terjadi, teman masa kecil biasanya hanya berperan sebagai pemanis di awal kisah dan tidak terpilih sebagai kekasih hingga akhir cerita.
Fenomena ini sudah menjadi klise dalam komik bergenre 'Harem,' yang merujuk pada karakter utama laki-laki dan para gadis-gadis yang menyukainya. Sebuah pola yang, meski berulang, tetap berhasil menarik perhatian pembaca.
"Selalu sama seperti yang lain, hanya saja sifatnya sangat baik dan polos. Tapi menerima semuanya dengan senyuman saat ditolak, sungguh hebat sekali. Awal cerita mereka selalu bersama seperti tidak terpisahkan, tapi setelah SMA, banyak gadis yang mendekati Protagonis Sampah," gumam Kim Woo-jin.
(Penulis : Sudah lama ya nggak ketemu xixixi~ aku sibuk dan lupa password, baru inget dan dah lupa lanjutan cerita yang aku buat ... selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayang_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teh dan Perasaan
Teh dan Perasaan
Ren sangat menyadari siapa wanita anggun yang kini menyuguhkan teh kepadanya. Dengan gerakan lembut dan penuh kehangatan, wanita itu tampak seperti versi dewasa dari Miyuki, dengan wajah yang serupa namun dihiasi oleh kematangan usia yang memancarkan wibawa dan kebijaksanaan. Matanya yang tajam, namun penuh kelembutan. Sosoknya memancarkan aura tenang, dan kehadirannya seolah menjadi cerminan masa depan Miyuki.
Ren merasa sedikit gugup, tetapi dia berusaha menyembunyikan perasaannya sambil menerima cangkir teh yang disodorkan. Suara wanita itu, yang menanyakan: 'apakah teh itu sesuai selera', terdengar menenangkan, membuat Ren semakin yakin bahwa inilah ibu Miyuki, seseorang yang memiliki kemiripan fisik tetapi juga karakter yang mirip dengan putrinya.
"Kalian belum lama ini berteman?" tanya Michiko sambil menatap Ren dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Ren yang duduk dengan tenang di sofa, tersenyum sopan sebelum mengangguk. "Ya, Michiko-san. Kami baru berteman belum lama ini," jawabnya dengan nada santai namun sopan.
Michiko menyipitkan mata, senyumnya melebar. "Ah, begitu ya? Aku senang sekali putriku punya teman yang tampan. Bukankah begitu, Yuki-chan?" katanya sambil melirik putrinya dengan senyum penuh arti.
Miyuki yang sedang menuangkan teh sedikit tertegun mendengar panggilan itu. Wajahnya memerah pelan-pelan, dan tangannya yang memegang teko sedikit gemetar. "Ibu... jangan panggil aku seperti itu di depan orang lain," ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan, tanpa menatap siapapun.
Michiko terkekeh kecil, menyembunyikan tawanya di balik tangan. "Kenapa, sayang? Kamu malu karena ada Ren-kun di sini, ya?" godanya dengan nada lembut namun penuh arti.
"Ibu..." Miyuki menunduk dalam, menatap secangkir teh di depannya. Suaranya hampir tak terdengar. "Bukan seperti itu... aku hanya..." Kalimatnya terputus, dan dia menggigit bibir bawahnya dengan gugup.
Ren yang sejak tadi memperhatikan tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Aku rasa... panggilan itu cukup imut, sebenarnya," katanya, nadanya ringan namun hangat.
Miyuki menoleh, menatap Ren dengan mata terkejut dan pipi yang semakin memerah. "A-apa? Kamu berpikir begitu?" tanyanya pelan, suaranya terdengar gugup namun lembut.
Michiko menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Miyuki menunduk lagi, mencoba mengalihkan fokus pada teh yang ia tuang, meski hatinya berdetak semakin cepat.
Michiko terus mengamati keduanya dengan penuh minat, menikmati interaksi yang berlangsung di hadapannya. Sementara itu, Miyuki berusaha keras menenangkan dirinya. Dia menuangkan teh ke cangkirnya sendiri, meskipun tangannya sedikit gemetar. Setelah beberapa saat dalam keheningan, akhirnya dia berbicara.
"Ren-kun," panggilnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Tehmu... apakah sudah cukup manis?" Miyuki melirik sekilas ke arah Ren sebelum cepat-cepat menunduk, matanya kembali tertuju pada cangkirnya sendiri.
Ren tersenyum kecil mendengar panggilan itu.
Dia mengangkat cangkirnya, mencicipi teh yang disuguhkan, lalu mengangguk dengan senyum hangat. "Ini sempurna. Rasanya sangat enak, Miyuki-chan," ucapnya dengan nada tulus, membuat wajah Miyuki semakin merona.
Miyuki merasa dadanya berdebar-debar mendengar panggilan itu.
"Terima kasih," jawabnya lirih, kedua tangannya diam-diam meremas ujung roknya di bawah meja. Pipinya memerah, tetapi dia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dengan menunduk dalam.
Michiko, yang sejak tadi tersenyum puas melihat dinamika tersebut, memutuskan untuk memperhangat suasana dengan sedikit bumbu. "Ya ampun~ Yuki-chan kami, jarang membuatkan teh untuk orang lain. Kamu ini spesial, ya," ucapnya dengan nada menggoda.
Miyuki langsung menoleh ke arah ibunya dengan mata melebar, panik. "Ibu... tolong jangan katakan hal seperti itu," pintanya dengan suara pelan namun penuh rasa malu.
Ren hanya bisa tersenyum canggung, berusaha menjaga suasana tetap nyaman. "Ah, saya beruntung sekali. Terima kasih banyak, Miyuki-chan," katanya sopan.
Miyuki tidak menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, sementara rona merah di pipinya semakin sulit disembunyikan. Dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa ibunya harus mengatakan hal itu di depan Ren.
Michiko terkekeh kecil, puas dengan reaksi mereka.
"Baiklah, baiklah. Aku tidak akan mengusik lagi. Tapi, Ren-kun," lanjutnya dengan nada yang sedikit lebih serius, "jagalah pertemanan kalian, ya. Putriku memang pendiam, tapi dia sangat berharga bagi kami."
Ren menatap Michiko dengan penuh rasa hormat, kemudian mengangguk tegas. "Tentu saja, Michiko-san. Saya akan berusaha menjadi teman yang baik untuk Miyuki-chan."
Miyuki diam-diam mencuri pandang ke arah Ren. Kata-kata itu membuat hatinya terasa hangat. Dia tahu Ren bersungguh-sungguh, dan entah kenapa, hal itu memberinya sedikit ketenangan.
Namun, saat Ren menoleh dan tersenyum padanya, Miyuki kembali salah tingkah. Dia buru-buru menyeruput tehnya, berharap dapat menyembunyikan pipinya yang semakin memerah.