Pelacur mahal milik Wali Kota. Kisah Rhaelle Lussya, pelacur metropolitan yang menjual jiwa dan raganya dengan harga tertinggi kepada Arlo Pieter William, pengusaha kaya raya dan calon pejabat kota yang penuh ambisi.
Permainan berbahaya dimulai. Asmara yang menari di atas bara api.
Siapakah yang akan terbakar habis lebih dulu? Rahasia tersembunyi, dan taruhannya adalah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arindarast, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bitter honey
Arlo menarik napas panjang, asap rokok terakhirnya mengepul di udara malam yang dingin. Ia meletakkan puntung rokoknya di asbak kecil yang terpasang di dinding balkon. Kehangatan tubuh Rhaell di sampingnya, memberikan ketenangan yang selama ini ia rindukan.
Ia menoleh ke Rhaell, wajahnya diterangi cahaya remang-remang lampu balkon. Wajah Rhaell tampak tenang, damai. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, sebuah pengertian yang mendalam, yang membuatnya merasa dipahami.
Ia merasa beban berat di pundaknya sedikit berkurang, seakan Rhaell telah membantunya menanggung beban itu.
“Tidak semua masalah bisa diselesaikan di atas ranjang, Haell”
Rhaell terkekeh pelan, suaranya lembut memecah kesunyian malam. Ia mengangkat tangannya, menarik lembut jari-jari Arlo yang masih terulur di samping tubuhnya.
“Aku tahu, Arlo,” jawabnya, suaranya penuh pemahaman. “Tapi terkadang, sentuhan fisik bisa memberikan tenaga untuk menghadapi masalah yang lebih besar.” Ia menatap Arlo dengan tatapan yang dalam, memahami kerumitan yang ia hadapi. “Dan aku ingin menawarkan itu, setidaknya untuk donatur yang memberi kehidupan pada pelacur sepertiku.”
Arlo tertawa, “donatur?” ulangnya, senyum terukir di bibirnya. Ia menarik Rhaell lebih dekat, hingga tubuh mereka bersentuhan. “Kamu memang unik, Haell.”
Rhaell tersenyum, matanya berbinar di bawah cahaya remang-remang. “Lah, memang iya kan?” jawabnya, suaranya manja. “Kamu memberiku banyak donasi. Beasiswa Edgar juga.”
Arlo menggelengkan kepala, senyumnya tetap terukir di bibir. “Memang sudah hakmu, Rhaell. Kebebasanmu sepenuhnya hilang karena tidakan bodoh adikku… dan, kamu bisa pensiun dari dunia malam menggunakan uang itu. Mencari pekerjaan lain yang tidak beresiko atau membangun bisnismu sendiri?”
Rhaell menunjuk ke arah sebuah gedung perhotelan yang terlihat dari balkon. Cahaya lampu gedung itu memantul di matanya yang berbinar. “Uang yang kamu kasih... bisa untuk beli gedung yang itu, tidak?” tanyanya, suaranya bersemangat, namun masih dengan nada lembut.
Arlo tersenyum, menatap gedung hotel mewah yang dimaksud Rhaell. Gedung itu memang megah, menjulang tinggi di antara bangunan-bangunan lain di kota.
“Mungkin,” jawab Arlo, suaranya tenang. Sejenak ia terdiam, menimbang, sebelum menambahkan, “Mungkin bisa dua.”
Rhaell tertegun sebentar, kelopak matanya sedikit terangkat, menunjukkan kejutan yang tercampur dengan senyum kecil. Ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu.
Sebuah perubahan halus terjadi dalam diri Rhaell. Pandangannya tentang kekejaman Arlo yang selama ini menghantuinya mulai memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih bisa dipercaya.
Bukan hanya karena tawaran materi, tetapi karena tindakan dan cara bicara Arlo yang menunjukkan penyesalan dan tanggung jawab. Ia melihat secercah harapan di balik sikap Arlo yang selama ini membuatnya merasa terkekang.
Mereka berdua larut dalam keheningan, menikmati kedekatan yang baru tercipta, ketika tiba-tiba suara riuh rendah terdengar dari dalam rumah, diselingi tawa anak-anak.
“Sienna minta pulang,” kata Atlas, sekretaris Arlo, muncul di ambang pintu balkon, sedikit terengah-engah. “Habis main petak umpet sama Edgar di taman, terus keinget sama Daddy-nya.” Suara riang gembira Sienna dan Edgar terdengar mengikuti Atlas.
Mereka masuk ke dalam rumah, suara tawa anak-anak semakin dekat. Sienna, gadis kecil berambut kepang Rapunzel, berlari menghampiri Rhaell, memeluk kakinya dengan erat.
“Cia!” seru Sienna, suaranya riang. “Besok kita main lagi ya?”
Rhaell tersenyum, membungkuk untuk memeluk Sienna. “Tentu, Sayang. Besok Cia dan Om Edgar main lagi sama Sienna ya.” Ia mengusap lembut rambut Sienna. “Cia sayang Sienna.”
Sienna melepaskan pelukannya, matanya berkaca-kaca. “Sienna juga sayang Cia.”
Setelah mereka pamit, Rhaell dan Arlo berdiri di ambang pintu, saling memandang. Keheningan singkat tercipta, diselingi suara langkah kaki Atlas dan Sienna yang menjauh.
“Aku akan menghubungimu,” kata Arlo, suaranya lembut. “Kita bisa makan siang bersama?”
Rhaell tersenyum, pikirannya melayang. Dia melihat perubahan sekejap dalam hubungannya dengan Arlo dan menyadari kebenaran kalimat
‘Semakin lembut perlakuan pria, semakin menurut seorang wanita.’
...****************...
Sinar matahari pagi menyinari wajah Rhaell, menyilaukan matanya yang masih setengah terpejam. Jam sembilan pagi. Ponselnya berdering nyaring, memecah kesunyian pagi yang tadinya nyaman.
Sebuah panggilan tak terduga, mengganggu ketenangan yang baru saja ia temukan semalam. Seketika, perasaan kesal menggelegak dalam dirinya. Ia menggeram pelan, meraih ponselnya dengan gerakan agak kasar. Nama “Nyonya Besar” terpampang di layar.
Meskipun kesal karena panggilan yang mengganggu waktu tidurnya, sebuah rasa hangat dan rindu langsung menyeruak.
Ia mengangkatnya, suara ibunya yang ceria langsung terdengar. “Cia, Sayang! Mama lagi piknik sama ibu-ibu arisan, lho!” suara ibunya riang, diiringi tawa dan kicauan burung yang terdengar begitu jelas di ujung telepon. “Lagi metik stoberi, banyak banget! Segar dan manis! Kamu pasti baru bangun tidur ya.”
Rhaell tersenyum, membayangkan ibunya, di tengah hamparan kebun stroberi yang luas, dikelilingi teman-temannya yang ramah, menikmati suasana pedesaan yang segar dan damai.
Bayangan itu begitu kontras dengan kehidupannya di kota. Sebuah gelombang hangat, bercampur dengan rasa bersalah, memenuhi dadanya.
Ia bisa membahagiakan ibunya, memberikan kehidupan yang lebih baik, tetapi dengan uang yang ia peroleh dari pekerjaan haram.
“Cia Kangen banget, Mah,” ucap Rhael “Kangen masakan Mama, kangen cerita-cerita Mama, kangen... kangen Mama memeluk Cia.” Air mata tiba-tiba saja menggenang di pelupuk matanya.
Di seberang telepon, ibunya terdiam sejenak. Beliau bisa merasakan getaran rindu di dalam suara putri yang ia lahirkan, penuh dengan kemanjaan dan sedikit cengeng.
“Mama juga kangen banget sama kamu, Sayang,” jawab ibunya, suaranya sedikit bergetar. “Kapan-kapan pulang ke rumah, Cia. Nanti Mama siapin semua makanan kesukaanmu.”
“Iya, Mah. Nanti kalo ada jadwal kosong, Cia pulang, kok. Cia janji.” Rhaell berusaha menahan isakannya.
“Bener ya? Awas aja kalo bohong lagi. Tahun kemarin katanya mau pulang sama pacar kamu, tapi alesan kamu, tiketnya habis. Beli tiket sekarang aja, bisa kan, Cia. Nanti ajak sekalian pacarmu, Mama mau kenal.” lanjut ibunya, suaranya sedikit lebih serius. “Edgar gimana? Dia nggak ngerepotin kamu, kan? Kalian harus saling jaga lho ya.”
Rhaell tidak lagi terkejut saat ibunya menyenggol kisah cintanya yang sudah kandas, dan berakhir untuk tidak menjawab pertanyaan itu. “Edgar baik, Mah. Akhirnya dia dapet beasiswa kedokterannya. Nanti Haell kirim foto Edgar.”
“Beneran, Cia? Wah Mama seneng banget dengernya… untung dia ikut kamu pindah ke kota, jadi bisa dapet beasiswa. Eh, Cia, Mama harus tutup telepon dulu, nih. Mama mau petik stroberi lagi sama ibu-ibu. Jangan lupa jaga kesehatan, ya, Sayang. Mama sayang kamu.”
"Iyaudah iya, selamat bersenang-senang ya Nyonya Besarku… jangan lupa habisin uang yang Cia kirim, ya! Cia juga sayang Mama.” Rhaell menutup telepon, matanya berkaca-kaca. Ia merenungkan hidupnya saat ini, di antara gemerlap kemewahan dan bayang-bayang kegelapan. Ia bertanya-tanya, apakah pilihannya benar? meskipun diperoleh dengan cara yang penuh dosa?
Di tengah semua itu kenangan pahit tentang ayahnya yang selalu selingkuh dari ibunya, memenuhi pikirannya.
Bayangan ayahnya yang pulang larut malam, noda bercak lipstick wanita lain yang melekat di bajunya, dan air mata ibunya yang selalu disembunyikan, berputar di kepalanya.
Kenangan itu membuatnya menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar mempercayai cinta. Cinta, baginya, hanyalah sebuah ilusi, sebuah kebohongan yang selalu berakhir dengan luka.
Setelah beberapa saat terdiam, pikirannya melayang pada Arlo. Wajah Arlo, senyumnya, dan kehangatan yang ia rasakan semalam, kembali muncul di benaknya. Ia tersentak. Ia harus melupakan perasaannya pada Arlo. Ia tidak boleh jatuh cinta lagi. Ia tidak boleh mengulangi kesalahan ibunya, mempercayai cinta yang hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Ia harus tetap melindungi dirinya dari hal-hal yang bisa melukai.
“Siapa lagi sih ini! Kenapa pagi-pagi banyak banget yang nelpon,” gerutu Rhaell sambil melihat nomor tak dikenal yang baru saja masuk.
“Halo, Princess Lucia!” suara ceria seorang anak kecil memecah gerutuan Rhaell. Suara itu begitu familiar, sehingga Rhaell langsung tahu siapa yang menelepon.
“Sienna?” Rhaell bertanya, suaranya masih diwarnai sedikit kekesalan pagi hari, namun kini sudah bercampur dengan rasa geli.
"Iya, Cia! Ini Sienna! Cia lagi apa?” Sienna bertanya dengan semangat, suaranya penuh dengan antusiasme khas anak kecil. Rhaell bisa membayangkan Sienna sedang melompat-lompat kegirangan sambil memegang ponselnya.
“Baru bangun tidur, Sayang. Kenapa, telepon pagi-pagi banget?” Rhaell bertanya, suaranya sedikit lebih lembut. Ia sudah melupakan kekesalannya.
“Nanti Cia jadi kesini, kan? Kata Daddy, nanti Cia dijemput Daddy.” Suara Sienna masih riang, namun ada nada sedikit cemas di baliknya.
Rhaell terkejut. Ia tidak ingat ada janji untuk dijemput Marco. Sebelum Rhaell sempat menjawab, suara Marco terdengar di seberang sana, mengambil alih telepon dari Sienna. “Rhaell?”
“Marco?” Rhaell bertanya, suaranya sedikit bingung. “Maksudnya apa ya?”
Ada jeda sedikit sebelum Marco menjawab, seperti jalan menjauh dari Sienna. “Arlo pasti membayarmu lebih untuk bermain dengan Sienna, kan? Aku jemput sekarang ya… hmm, kalau bisa pakai lingeri merah kesukaanku.” Bisiknya menggoda di akhir kalimat.
Bersambung…
luv ❤❤❤
tu kan mo arah ke ❤❤ gituu 😅🤗