“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM13
"Nad, sumpah ... aja-aja ada kelakuan lo." Melodi tertawa.
"Ada-ada aja, Jaenab," sahut Nadia cepat.
Ruangan rumah sakit yang tadinya terasa sunyi dan hanya mengandalkan suara detak jam di dinding serta dengungan alat-alat medis yang menemani suasana, kini berubah drastis karena kehadiran Nadia.
Ruangan itu seakan penuh warna warni layaknya pelangi yang akan menampilkan hal-hal yang indah saja untuk Melodi.
"Itu ... lo ngapain pakai sepatu begituan?" Melodi masih tertawa, meskipun suaranya terdengar lemah.
"Yaaa, lo kayak nggak tau aja, Mel. Permintaan endorse ke gue tuh pada di luar nurul semua." Nadia mencebik. "Untung aja bayarannya lumayan."
"Asik nih, cair ...."
"Otak gue noh yang cair, meluber-luber." Nadia menarik kursi di sisi ranjang dan duduk dengan satu kaki yang bertumpu di atas lutut. "Gimana kondisi lo, Mel? Mendingan?"
Melodi duduk di tempat tidurnya, bersandar dengan beberapa bantal untuk menopang tubuhnya yang semakin terasa lemah. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi ia tetap memaksakan senyum. Buku harian kecil yang tadinya dalam genggaman, kini tergeletak di pangkuannya, pena terselip di halaman terakhir yang baru saja ia tulis.
"Ya ... begini lah, Nad. Udah kayak nggak ada semangat hidup," jawab Melodi pelan.
"Eitss, jaga bibir lo, jangan asal jeplak. Jangan sampai gue yang udah terverifikasi sebagai kembaran Ariel Tatum, berubah jadi Ariel Tantrum gara-gara omongan lo yang bikin darah tinggi gue kumat." Nadia menjepit bibir Melodi dengan ujung jarinya.
Aldrick menarik pelan tangan Nadia. "Sakit bibir bini gue, Nad," protesnya.
"Eitss, lo juga jangan pegang-pegang gue, Drick. Jangan sampai ular gue matuk nih!"
Ketiganya sama-sama menyemburkan tawa. Sampai akhirnya, mereka bertiga serentak menutup mulut ketika pintu ruangan di dorong pelan. Dokter Andra muncul dari sana, mendekati ranjang Melodi.
Aldrick yang tadinya duduk di kursi di sisi tempat tidur, kini berdiri. Matanya menatap lurus ke arah Dokter Andra, jantungnya berdegup kencang. Tentu bukan karena jatuh cinta, melainkan karena kecemasan yang sudah menguasai diri.
Dokter Andra berdiri di samping Nadia, beberapa perawat berdiri di belakang nya.
"Bagaimana keadaan anda, Bu Melodi?" Dokter Andra mengulas senyuman tipis.
"Masih sama seperti sebelumnya, Dok. Hanya saja, kepala saya makin sering terasa pusing." Melodi merapihkan ujung selimut nya.
Dokter Andra manggut-manggut. "Itu hal yang normal."
'NORMAL DENGKULMU UAMBRUUUK!' teriak Nadia di dalam hati dengan wajah menahan dongkol. Namun, ekspresinya langsung berubah ketika Dokter Andra menoleh dengan senyum pepsodent.
Tatapan Dokter Andra beralih ke Aldrick. Sorotnya berubah serius. "Pak Aldrick, saya sudah mengatur jadwal operasi untuk Bu Melodi. Operasi akan kita laksanakan paling lambat tiga hari lagi, setelah persediaan darah terpenuhi. Kemudian —"
Manik Dokter Andra beralih pada sebuah catatan yang ia bawa. Ia membaca kembali tulisannya sendiri. Namun, ada hal yang mengganggu nya sejak tadi. Mata dokter tampan itu menatap lurus ke lantai, lalu melirik ke arah kaki Nadia. Manik berbingkai kacamata itu tiba-tiba mendelik, napasnya naik turun.
"U-ULAAAAR!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di kantornya, Aldrick berusaha untuk mengejar pekerjaan yang tertunda, wajahnya tampak sangat kusut. Beban pikiran, kurang istirahat, seolah menyandera seri di wajah tampannya. Ia berusaha menyelesaikan semuanya secepat mungkin agar bisa kembali ke rumah sakit sebelum sore. Tapi, saat sedang fokus di mejanya, seseorang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk.
“Aldrick,” suara itu terdengar lembut tapi penuh niat. Aldrick menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri di pintu.
Karin, menatapnya lembut. Wanita itu masih kerap menggoda Aldrick dengan cara yang halus tapi mencolok.
“Ada apa?” Tanya Aldrick singkat, kembali menatap layar komputernya.
Wanita itu melangkah mendekat, lalu duduk di meja Aldrick tanpa diundang. “Kamu kelihatan capek. Mungkin kamu butuh istirahat. Atau ... butuh teman ngobrol?”
“Aku baik-baik aja.” Jawab Aldrick tanpa menoleh. Suaranya sinis dan ketus.
Wanita itu tersenyum, lalu tanpa ragu menggenggam tangan Aldrick. “Rick, aku cuma mau bilang ... kalau ada apa-apa, aku selalu ada buat kamu.”
Aldrick menegang. Ia menarik tangannya cepat, wajahnya datar dan dingin. “Aku nggak butuh apa-apa. Terima kasih.”
Wanita itu tidak menyerah. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, wajahnya hanya beberapa inci dari Aldrick.
“Kamu yakin?” Bisik Karin lembut, menciptakan suasana sensual.
Aldrick menatapnya sengit. Tangannya menyambar ponsel yang bergetar di atas meja. Nama sang ibu tertera di layar, lalu ia kembali menatap muak ke arah Karin.
"Tolong keluar, aku ada telepon penting," ketusnya.
Ujung bibir Karin terangkat satu. "Jangan sungkan untuk bercerita pada ku ya." Bibirnya semakin mendekati telinga Aldrick. "Seperti dulu."
Setelah berkata demikian, Karin berlalu. Ia melangkah menuju pintu dengan bokong sintalnya yang berguncang. Aldrick membuang pandangannya, perut pria itu benar-benar mual.
"Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa?" Tanya Aldrick ketika mengangkat telepon dari sang ibu.
"Wa'alaikumsalam ...," sahut Ajeng di ujung sana. Nadanya terdengar kesal. "Istrimu yang nggak berguna itu di mana sih, Drick?"
"Astagfirullah, kenapa Ibu manggil Melodi dengan sebutan begitu?" tanya Aldrick tak suka.
"Ya abisnya, Ibu hampir setengah jam gedor-gedor pintu. Tapi, nggak dibukain. Keluyuran pasti ya? Sama temennya yang gendut itu?" sinis Ajeng.
"Nadia namanya, Bu. Ibu ada perlu apa ke rumah?" tanya Aldrick.
"Kok ngapain? Memangnya perlu apa-apa untuk berkunjung ke rumah anak sendiri?" suara Ajeng tajam.
"Bukan begitu, tumben aja. Sudah pasti ada apa-apa," balas Aldrick.
"Mau lihat aja, masak apa istrimu itu hari ini. Sebab, Ibu dapat informasi dari Vina, katanya kamu makin kurus. —Pasti dia nggak ngurusin kamu dengan baik," tuding Ajeng. "Telepon dia sekarang, suruh pulang!"
Aldrick meraup kasar wajahnya. Vina, nama itu lagi yang mengundang huru-hara. Sepupunya itu kerap mengadu domba. Dan sudah jelas, Vina mendapatkan informasi tentang dirinya dari Karin.
Aldrick bersandar, memejamkan matanya sejenak. "Melodi lagi di rumah sakit, Bu."
"Rumah sakit? Sakit apa emangnya? Buang-buang duit anak ibu aja itu perempuan, pura-pura sakit palingan!"
*
*
*
rata2 perempuan banyak kena gerd,kalau kata org awam asam lambung.itu karena dampak utamamya stres.tekanan batin.
jadilah suami yg bijak. dosa kalau sampai istrimu mengemis kasih sayang
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪