Dear, Anak Majikan

"Nggak semua orang bisa jadi apa yang mereka mau, Ellaine."

Nada suaranya datar, tapi rasanya kayak tamparan.

"Maaf, gue nggak...."

"Lo nggak perlu minta maaf," dia senyum dengan percaya diri, tapi gue masih bisa lihat kesedihan di matanya. "Gue baik-baik aja sama diri gue sekarang, sama apa yang gue lakuin."

Dia ngomong itu dengan penuh keyakinan, tapi gue tahu itu bohong.

Jadi kepala perusahaan Batari?

Itu bukan sesuatu yang pernah dia bilang sebagai cita-citanya waktu kecil. Gue ngelihat dia dari sudut pandang yang beda sekarang, dia kelihatan kesepian, kayak... nggak bahagia.

Gue nggak pernah kepikiran sebelumnya kalau mungkin, kekuasaan bukan sesuatu yang dia inginkan, tapi sesuatu yang terpaksa dia ambil.

Gue ingat senyumannya dulu, bagaimana dia selalu excited banget bercerita tentang gambarannya.

Sekarang?

Dia keliatan rapuh, seperti butuh cinta yang tulus.

Tanpa mikir panjang, gue taruh gelas air di meja dan jalan ke arahnya. Dia langsung ngelihatin gue dengan ekspresi kaget, turunin tangannya dari dada. Gue rangkul dia, nempelin wajah gue ke dadanya.

"Lo udah ngelakuin yang terbaik."

Dia sempet bengong beberapa detik sebelum akhirnya merangkul balik. Wangi parfumnya bikin hati gue tenang. Gue bisa denger detak jantungnya, cepat dan kuat.

Gue nggak tahu udah berapa lama kita kayak gini, tapi gue menikmati setiap detiknya. Pas akhirnya kita menjauh, tangan gue masih ada di badannya. Kita deket banget.

Antari menghadap gue, wajahnya makin deket, bibirnya hampir nyentuh punya gue, gue langsung noleh secepat mungkin.

Gue mundur selangkah, mau pergi. Tapi dalam hitungan detik, dia nangkep pergelangan tangan gue, tarik gue balik ke arahnya. Tangannya yang satu lagi menyanggul wajah gue sebelum bibirnya nabrak bibir gue.

...Boombbb. ...

Sensasi itu langsung meledak di kepala gue. Otak gue nge-freeze, tapi tubuh gue langsung merespon, balas ciumannya. Bukan ciuman lembut. Ini ciuman liar, penuh kerinduan bertahun-tahun. Bibir kita gerak dalam ritme yang sama, cepat dan penuh gairah.

Gue tarik rambutnya, makin mendekati dia, sementara tangannya sudah merangkul pinggang gue erat. Nafas kita makin berat, gerakan kita makin berantakan, tapi gue nggak peduli. Gue nggak pernah dicium kayak gini, nggak pernah ngerasain sesuatu yang segila ini.

Jenggotnya membaret halus di kulit gue, dan entah kenapa, itu terasa enak banget.

Antari makin nekan badan gue ke dia, dada gue nempel di dadanya. Walaupun kita masih pake baju, gue bisa ngerasain segalanya. Bibirnya lembut, basah, dan terasa sempurna di gue. Ada rasa whiskey di lidahnya, dan dia nyentuh bibir gue sebelum nyium gue lagi, lebih dalam, lebih panas.

Gue nggak bisa berhenti.

Tangan Antari turun dari pinggang gue ke bokong, dia nekan gue lebih deket sampai gue hampir nggak bisa napas. Gue nahan desahan, tapi percuma.

Gue bisa ngerasain betapa kerasnya dia nempel di perut gue. Itu bikin gue panas dalam cara yang nggak pernah gue rasain sebelumnya. Dia ngangkat gue, nempatin gue di atas meja dapur, masih mencibir gue tanpa henti. Sekarang dia berdiri di antara paha gue, bikin kita makin deket.

Gue mabuk dalam sensasi ini. Setiap inchi tubuh gue kesetrum. Tangan Antari masuk ke dalam sweater gue, membelai punggung dan pinggang gue. Sentuhannya panas, bikin gue merinding.

Kita menjauh sebentar buat ambil napas, lalu nyambung lagi, makin rakus, makin gila. Tangannya naik ke dada gue, jempolnya nyelip ke dalam bra, ngusap lembut puncaknya, bikin gue mendesah lagi.

Tanpa sadar, gue mulai merobohkan badan gue ke dia, ngerasain seberapa keras dia di bawah sana. Gue tahu ini bahaya. Gue tahu gue bermain api.

Tapi bagaimana caranya gue berhenti sekarang?