Setelah aku selamat dari kecelakaan itu, aku berhasil untuk bertahan hidup. Tetapi masalah yang kuhadapi ternyata lebih besar daripada dugaanku. Aku tersesat dihutan yang lebat dan luas ini. Aku mungkin masih bisa bertahan jika yang kuhadapi hanyalah binatang liar. Tapi yang jadi masalah bukanlah itu. Sebuah desa dengan penduduk yang menurutku asing dan aneh karena mereka mengalami sebuah penyakit yang membuat indera penglihatan mereka menjadi tidak berfungsi. Sehingga mereka harus mencari "Cahaya" mereka sendiri untuk mengatasi kegelapan yang amat sangat menyelimuti raga mereka. Mereka terpaksa harus mencari dan mencari sampai bisa menemukan mata mereka yang hilang. Dan akhirnya mereka bertemu dengan kami. Beberapa penumpang yang selamat setelah kecelakaan itu, harus bertahan hidup dari kejaran atau mungkin bisa kusebut penderitaan mereka atas kegelapan yang menyelimuti mereka. Berjuang untuk mendapatkan "Cahaya Mata" mereka kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bermalam
Kami tiba disebuah bangunan yang seperti sekolahan. Terlihat dari bentuknya yang memanjang dengan satu lantai dan tidak terlalu banyak ruangan didalamnya. Sekitar bangunan ini juga sudah banyak ditumbuhi oleh tanaman liar yang sudah mulai menjulang tinggi hingga menyentuh lututku.
"Sepertinya mereka sudah tidak mengejar kita lagi. Mungkin malam ini kita bisa beristirahat disini dengan tenang," ucap Pak Bonadi dengan napas yang masih terengah-engah. Aini pun turun dari gendonganku dan aku sedikit merenggangkan pundakku yang kaku sebab berat badan Aini yang ternyata lebih berat sekarang.
"Pegel ya, Kak? Maaf deh," ucap Aini tersenyum malu kearahku. Aku hanya menghela napas dan membalas senyumannya.
Kami mulai memeriksa setiap sudut ruangan ini untuk memastikan tidak ada salah satu dari mereka. Kami berpencar menjadi beberapa kelompok. Aku bersama Aini dan Vivi mengecek sebuah ruangan yang berada diujung lorong sekolahan ini.
"Apa gak ada lampu kah disini? Gelap banget soalnya," gerutu Vivi sembari menyipitkan matanya.
"Coba aku cek dulu," Aku mencoba meraba ke seluruh dinding berharap aku menemukan sebuah sakelar lampu.
"Hmm sepertinya sekolahan ini belum ada listrik. Kabelnya aja pun gak ada," gumamku sembari pandanganku menyapu seluruh langit-langit di koridor bangunan ini.
Kami pun mencoba untuk masuk ke sebuah ruangan yang letaknya berada diujung lorong.
"Sepertinya ini kek semacam sekolahan SD deh? Bangkunya aja kecil-kecil kek cuman pas buat diduduki sama temen-temennya Aini," ucap Vivi sembari memperhatikan dengan seksama sebuah kursi berukuran kecil itu.
Dinding ruangan terlihat sedikit retak sebab dimakan usia dan terdapat beberapa lumut yang menempel disana. Lantainya yang terbuat dari cor juga sudah mulai banyak ditumbuhi oleh rumput liar.
"Beneran nih kita bisa tidur disini malam ini?" sungut Vivi merasa tidak nyaman.
"Ya mau gimana lagi, Vi? Gak ada tempat lain juga soalnya," jawabku mencoba untuk berpikir logis.
"Kalo kamu gak nyaman harus tidur dilantai, kita bisa pake meja-meja kecil ini sebagai alas kita nanti. Nanti biar aku bersihin. Sekalian juga buat Aini nanti," sambungku.
"Ehm iya deh," sungut Vivi.
Kami menyusuri seluruh ruangan ini. Dibagian belakang kelas, terdapat sebuah rak berisi buku-buku seperti buku paket sebagai sarana pembelajaran.
"Bisa dibawa nih keknya buat ngisi-ngisi kegabutan," gumamku sembari membaca salah satu buku walau tulisan di dalamnya tidak terlalu bisa dibaca sebab gelapnya ruangan.
"Ehm aku bawa yang ini deh," ucap Vivi sembari mengambil sebuah buku di rak bagian atas. Dia membawa sebuah buku paket Bahasa Indonesia yang cukup tebal halamannya.
"Kalo aku bawa yang ini aja," ucap Aini sembari membawa sebuah buku berjudul Kumpulan Cerita Rakyat yang berada di rak di depannya.
"Kalo udah selesai, mending kita segera balik. Kali aja Pak Bonadi udah nyariin kita," ucapku. Mereka mengangguk lirih.
Sebelum meninggalkan ruangan ini, aku kembali mengecek ke setiap sudut kelas ini jikalau terdapat sebuah sedikit petunjuk yang berharga untuk ke depannya. Entah itu sebuah peta atau mungkin kalo beruntung aku bisa menemukan makanan.
Kami kemudian menuju ke tempat Pak Bonadi berada. Suasana tempat ini tidak terlalu mencekam daripada pedesaan tadi. Walaupun terlihat terbengkalai, tetapi tempat ini masih bersih dari mayat-mayat zombie itu. Sang rembulan juga belum tertutupi oleh awan. Membuat keadaan sedikit lebih terang walaupun tanpa cahaya lampu yang menyinari.
Beberapa langkah kemudian, kami melihat Pak Bonadi serta Mas Haris yang berdiri di depan sebuah papan pengumuman. Mereka terlihat sedang memandangi salah satu brosur disana.
"Desa Soca. Ternyata desa ini bernama Desa Soca," gumam Pak Bonadi sembari bertopang dagu.
"Menemukan sesuatu, Pak?" tanyaku.
"Disini hanya tertulis SD 1 Desa Soca," jawab Pak Bonadi sembari masih fokus memperhatikan sebuah surat undangan yang tertempel pada papan pengumuman itu.
"Juga tidak dijelaskan di kecamatan atau kabupaten mana desa ini," sambungnya.
"Oh iya. Gimana pengecekan kalian? Apa ada sesuatu yang menarik?" tanya Pak Bonadi.
"Di lorong sebelah utara tidak ada apa-apa pak. Tidak ada mayat zombie juga disana. Tapi rata-rata ruangan disana sudah mulai ditumbuhi oleh rumput liar. Tidak terlalu bagus buat istirahat," jawabku.
"Begitu ya?" ucap Pak Bonadi singkat.
"Yasudah kalau begitu, mari kita menuju ke tempat yang lainnya," ajak Pak Bonadi.
Kami pun berjalan menuju ke ruangan lain. Disela perjalanan, Pak Bonadi menanyakan sesuatu kepada Mas Haris,
"Apa yang membuatmu sangat berani, Nak?"
"Berani bagaimana, Pak? Apa maksudnya?" Mas Haris balik bertanya.
"Tentang caramu melawan para zombie-zombie itu. Aku kagum padamu." Puji Pak Bonadi.
"Mungkin karena kebiasaan, Pak. Aku di perguruan diajari untuk disiplin dan diajarkan untuk tidak takut akan hal apapun selama itu baik," jawab Mas Haris.
"Begitu ya? Sepertinya memang belum saatnya kau untuk mengatakan yang sebenarnya," ucap Pak Bonadi seakan mengetahui rahasia yang tidak ingin diungkapkan oleh Mas Haris.
"Mungkin bapak benar," sahut Mas Haris singkat.
Beberapa saat kemudian, kami melihat Kak Evelyn, Kak Willie, juga Kak Ayu berdiri didepan sebuah ruangan.
"Apa kalian sudah mengecek ruangan ini?" tanya Pak Bonadi.
"Sudah, Pak. Ruangannya juga tidak terlalu kotor. Kami sudah membersihkannya." jawab Kak Ayu dengan senyum hangat yang selalu terpancar di wajahnya. Pak Bonadi kemudian masuk untuk melihat ruangan itu.
"Wah ini lebih dari cukup sebagai tempat untuk beristirahat," ucap Pak Bonadi terlihat nyaman akan ruangan ini.
"Yoi. Siapa dulu dong yang nemuin? Willie!" sahut Kak Willie sembari membusungkan dada.
"Hahaha kerja bagus, Nak," ucap Pak Bonadi diiringi tawa yang menghiasi wajahnya.
Ruangan ini terlihat seperti aula sekolah. Tanpa ada bangku sedikitpun dan beberapa kursi hajatan di dalamnya. Disatu sisi, terdapat sebuah pondasi yang agak ditinggikan disana. Persis seperti sebuah tempat atau aula pertemuan.
"Kami juga menemukan sebuah tikar di dalam lemari sana pak. Sepertinya juga masih bersih," ucap Kak Ayu.
"Luar biasa. Kita benar-benar bisa beristirahat dengan tenang disini," ucap Pak Bonadi.
Kemudian kami pun mulai menata tempat ini hingga senyaman mungkin untuk dijadikan tempat bermalam sementara. Aku menuju ke ruangan sebelah untuk mencari beberapa bangku sebagai alas untuk tidur nanti dikarenakan tikarnya yang tidak terlalu luas. Tidak cukup untuk kami ber-sebelas nanti.
Tikar sudah digelar, bangku-bangku sudah ditata sedemikian rupa, untuk sekarang tinggal menunggu Pak Juari dan yang lainnya kembali.
"Mereka pergi kemana?" tanya Vivi.
"Mereka tadi menuju belakang sekolahan, Vi. Katanya mau mencari makanan untuk kita nanti." Jawab Kak Ayu. Vivi hanya membulatkan bibirnya dengan sempurna.
Kami bercerita kecil untuk melepas penat sembari menunggu kepulangan Pak Juari dan yang lainnya. Beberapa saat kemudian, Pak Juari dan rombongannya pun telah kembali. Mereka membawa seekor ayam hutan yang ukurannya cukup besar.
"Wah gede banget. Terimakasih, Pak!" seru Vivi kegirangan.
"Yasudah kalo begitu, kalian segera buat api untuk makan nanti. Biar kami yang membersihkannya terlebih dahulu," ucap Pak Juari.
"Diujung sana terdapat sebuah sumur pak. Aku lihat airnya juga masih cukup jernih," ucap Kak Ayu.
"Begitu ya? Semua ini lebih dari cukup," ucap Pak Juari mengakhiri percakapan.
Kami pun segera membagi tugas. Beberapa saat kemudian, api sudah selesai dinyalakan di halaman bangunan ini. Pak Juari juga sudah membawa ayam yang sudah dibersihkan tadi. Kami pun segera memakannya sampai habis. Bahkan Kak Willie pun memakan sampai ke tulang-tulangnya.
"Kesambet apaan lu, Wil? Bersih banget makannya," ledek Mas Haris.
"Sialan lu. I m so starving now!" sahut Kak Willie dengan logat Inggris yang terkesan asal-asalan.
"Starving nenek lu surfing!" sahut Mas Haris hingga membuat kami semua tertawa melihat kekonyolan mereka berdua.
Kami pun makan bersama dan kehangatan suasana menyelimuti kami semua. Dengan diiringi canda dan tawa yang menenangkan, sejenak bisa melupakan sebuah teror zombie yang kapan saja bisa datang.
thor...sehat2 yah cuaca lagi buruk..banyak yg sakit...