The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09.) Restu Orang Tua
Chapter 9: Restu Orang Tua
Program perdana kolaborasi YMB dengan Disbudpar Bawera bertajuk sosialisasi wirausaha muda yang berlangsung selama 3 hari telah berjalan sukses. Press release yang dikeluarkan oleh pihak YMB maupun Disbudpar langsung menjadi pembicaraan hangat yang terus diperbincangkan oleh masyarakat yang menyambut baik adanya program tersebut. Bahkan warga dari kabupaten yang lain pun juga ingin kegiatan tersebut juga diselenggarakan di negaranya.
Dan ketika para peserta yang antusias mengikuti kegiatan tersebut mulai membagikan momen mereka mengikuti pelatihan ke sosial media, topik panas baru yang berkaitan dengan kegiatan tersebut pun ikut naik.
Momen Kedekatan Mbak Kalila YMB dengan Mas Bupati Satya.
‘Saya juga berminat.’ Isi sambutan Mas Bupati Satya di pembukaan Sosialisasi Wirausaha Muda Bawera yang bermakna ganda.
Kenal lebih dekat dengan Mbak Kalila YMB yang dapat sun hangat dari Mas Bupati Satya.
Aku menutup laman berita bertagar Bawera yang mengaitkan diriku dengan Mas Satya. Hanya dari satu potongan video milik peserta yang menunjukkan momen Mas Satya mencium pipiku saat bersalaman, langsung menjadi pembicaraan hangat di dunia maya. Ditambah ada yang mengunggah potongan video sambutan Mas Satya di bagian tertentu yang semakin mengobarkan topik pembicaraan.
“Emangnya Mas Satya ga pernah cipika-cipiki sama cewek selama jadi Bupati?”
Saat ini Mas Satya sedang berada di apartemenku karena kami sepakat untuk menghabiskan weekend dengan menonton film bersama. Di rumah tentu saja, karena aku sedang menghindari keramaian setelah menjadi topik pembicaraan hangat di kabupaten dan kota Bawera.
Mas Satya menyerahkan sebaskom popcorn yang baru saja keluar dari microwave kepadaku. Lantas ia duduk mepet tubuhku di sofa yang menghadap layar tv besar di ruang santai apartemenku ini.
“Status Mas dulu masih lajang, Yang. Dan Mas ga mau menimbulkan skandal yang bisa memengaruhi penilaian masyarakat pada cara kerja Mas sebagai Bupati karena masalah sepele. Jadi jawabannya adalah tidak.”
“Jadi kalau sama aku gapapa gitu jadi skandal?” cibirku.
Mas Satya merangkulku gemas. “Bukan skandal, Yang. Mas emang mau kasih teaser ke warga kalau ini loh calon ibu bupati mereka.”
Aku mendengus. “Tapi kan jadi pembicaraan panas, Mas. Kalau Papa sama Mama dengar gimana? Bisa habis kamu Mas karena pacarin anaknya tanpa ijin. Mereka kan suka hubungan-hubungan backstreet gitu.” tanyaku penasaran.
“Besok senin kita ke Jakarta yaa… Mas ada kerjaan sekalian kita ketemu langsung sama Om dan Tante.” ajak Mas Satya tiba-tiba.
Aku mencubit perutnya kesal. “Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?”
Mas Satya tertawa mendengar keluhanku. “Bukan gitu konsepnya, Yang.”
“Kalau pejabat tuh waktunya harus fleksibel sebenernya. Mereka harus siap sedia menghadapi segala perubahan jadwal situasi yang mungkin terjadi. Makanya kadang masyarakat awam itu taunya pejabat waktunya selalu sibuk dan kalau bikin acara selalu mendadak. Ya karena kita juga berusaha agar bisa selalu hadir, Yang.”
Aku menjauhkan tubuhku dari Mas Satya hingga rangkulannya terlepas. “Yang akan jadi istrimu nanti ga enak dong, Mas. Harus mengikuti ritme kerja suaminya yang fleksibel. Sayangnya pengertian fleksibel disini lebih ke eksploitasi waktu kan ya. Banyakan sama kerjaan daripada sama pasangannya.”
“Ya engga dong. Mas kan bisa bagi waktu dengan bijak, Yang. Jadi ga ada tuh definisi fleksibel sama dengan waktu yang tereksploitasi sepenuhnya.”
Mas Satya menarikku kembali ke dalam pelukannya. “Lagian yang akan jadi istri Mas kan cuma Kalila Adipramana aja. Dan Mas pastikan gadis kesayangan Mas ini tidak akan pernah merasa tersisih ketika berdiri mendampingi Mas.”
Pipiku memerah mendengar rayuan Mas Satya.
“Melamar aja belum, udah di klaim aja jadi calon istri.” celetukku.
Mas Satya mencium pipiku gemas. “Makanya, besok senin ke Jakarta yaa… Ketemu Om sama Tante buat minta kamu jadi pendampingku.”
Aku mengerucutkan bibir tidak setuju. “Harusnya private propose aku dulu, Mas.” rajukku.
Mas Satya mengecup bibirku. “Nanti. Restu orang tua dulu dikantongi, baru melamar kamu secara privat.”
“Aku maunya yang romantis dan anti mainstream yaa.” pintaku.
“Iyaa sayang.” janji Mas Satya yang kembali menciumku lebih dalam.
Kami tidak berangkat ke Jakarta bersama, karena jadwal kerja Mas Satya yang ‘fleksibel’ membuatnya harus singgah dulu ke ibukota provinsi. Meski begitu, Mas Satya sudah menyesuaikan waktu kami tiba di bandara Soetta agar tidak saling menunggu terlalu lama karena menggunakan pesawat yang berbeda.
Aku mengedarkan pandangan di lounge eksekutif untuk mencari keberadaan Mas Satya yang sudah mendarat 45 menit yang lalu. Dari sofa yang terletak di pojok, Mas Satya melambaikan tangan memintaku mendekat.
Sesampainya aku di hadapannya, Mas Satya langsung memeluk tubuhku dengan erat. “Kangen banget, Yang. Maaf ya, Mas ga bisa menemani di perjalanan. Mas Jite mendadak minta bertemu pagi ini.” bisiknya.
Aku menepuk-nepuk punggungnya sayang. “It’s okay. Jakarta kota kelahiranku. Aku juga sering naik pesawat sendiri, bahkan sampai ke luar negeri.”
Mas Satya menjauhkan tubuhnya untuk menatapku. “Langsung ke rumah kamu?”
“Mas masih ada agenda kerja yang lain ga?” tanyaku memastikan.
Mas Satya menggeleng. “Besok agenda kerja Mas di Jakarta. Untuk hari ini semua agendanya bersama Kalila.”
Aku tersenyum mendengar jawaban yang dilontarkannya dengan nada menggoda. Kucium pipinya cepat untuk menunjukkan rasa senangku. Mas Satya lantas merangkulku untuk berjalan menuju lobby dimana ajudannya sudah siap dengan alphard hitam untuk mengantar kami.
Perlu waktu sekitar satu jam lebih untuk mencapai kediaman Adipramana yang berada di kawasan widya chandra. Di sepanjang perjalanan kami berbincang santai alih-alih tidur untuk membunuh waktu.
“Gimana, Mas? Gugup ga mau ketemu Papa sama Mamaku?” tanyaku penasaran.
Mas Satya tersenyum. “Agak deg-degan sih, Yang. Padahal Mas juga cukup sering ketemu Om sama Tante.”
Aku meliriknya curiga. “Pantes aja aku merasa Mas tuh tau cara memperlakukanku biar tetap senang. Jangan-jangan setiap ketemu kalian bicarain tentang aku ya?” tuduhku.
Mas Satya tertawa. “Siapa yang tahan ga cerita kalau punya putri yang cantiknya kaya princess gini?” godanya. “Tenang aja, Yang. Om sama Tante ga mungkin ngomongin aib anaknya kemana-mana. Lagian bidadari emang punya aib ya?”
Aku tertawa senang. “Bidadari banget ya?” kataku. “Stok panggilan gombalannya ada banyak banget ya, Mas?”
Tak terasa mobil yang kami tumpangi sudah sampai di depan pagar kediaman Adipramana. Setelah memastikan identitas para penumpang mobil ini, terlebih melihat diriku yang duduk di barisan kedua, satpam yang bertugas mempersilahkan kami untuk lanjut masuk ke dalam.
Papa dan Mama masih berada di kamarnya. Aku mengajak Mas Satya untuk menunggu di ruang keluarga saja. Sementara ajudan yang mengikuti Mas Satya menunggu di luar ditemani oleh ajudan Papa.
“Ini dia, Pa… Anak sulung yang ga pulang-pulang sejak awal merantau. Harus jadi bahan gosip dulu ya, Kak?”
Papa dan Mama masuk ke ruang keluarga dengan sindiran bercanda yang dilontarkan Mama. Aku bergegas berdiri dan menghambur memeluk Papa.
Mas Satya juga ikut berdiri untuk menyalami Mama dengan sopan, karena Papa masih kukuasai.
“Liat itu, Mas Satya… Kalau udah sama Papanya gitu, lupa sama yang lainnya. Lupa juga tadi di lounge bandara mesra-mesraan sampai buat heboh jagat maya.” sindir Mama kembali.
Aku langsung menarik tubuhku dari pelukan Papa. “Apaan mesra-mesraan di bandara… Mama ini ngaco.”
“Eh, ada ya buktinya… Ntar kakak cek langsung aja di X, rame banget.”
Mama menarik Papa untuk berdiri di sampingnya. Mas Satya dengan sigap menyalami Papa dengan sopan, lalu berdiri tepat di sampingku.
Papa mengajak kami untuk duduk di sofa sembari mengobrol santai.
“...Tujuan saya bertamu malam-malam begini adalah meminta restu Om dan Tante selaku orang tua dari Kalila untuk berhubungan secara serius sebagai kekasih. Kedepannya saya ingin melamar Kalila menjadi istri saya di waktu yang tepat, secepatnya.”
Papa tersenyum mendengar permintaan ijin yang akhirnya disampaikan Mas Satya setelah kita mengobrol cukup lama.
“Kami cukup mengenal baik pribadi Mas Satya yang sebenarnya. Bahkan Tara sama Chintya sempat ingin menjodohkan kalian berdua jika sampai tahun depan masih tidak terlihat wujud kekasih kalian masing-masing.”
“Dan sebelum rencana tersebut terlaksana, kalian berdua malah datang sendiri kemari untuk meminta restu. Walau harus bikin heboh di dunia maya dulu ya?”
Kami tertawa.
“Sebagai orang tua kami mendukung segala keputusan yang kalian ambil. Kami sepakat memberi restu untuk kelancaran hubungan kalian.”
“Jadi mau kapan, Mas Satya melamarnya? Di waktu yang tepat atau secepatnya?”
Mas Satya tertawa mendengar godaan Papa. “Karena restu sudah dikantongi, saya rasa semua waktu adalah waktu yang tepat. Jadi secepatnya saya akan memboyong keluarga saya untuk melamar Kalila secara resmi.”