Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 12
Malam menjelang ....
Kelana baru saja mandi karena sedari siang ketiduran. Ia pun sedang memakai bajunya di kamar, di tengah Bening yang sedang serius di meja belajarnya.
"Kamu lagi apa?" tanya Kelana.
"Lagi ngerjain PR matematika, om," sahut Bening yang masih fokus.
Menilik Bening berlama-lama, Kelana pun tak menyangka karena Bening lah gadis pertama yang melihat dan menyentuh miliknya. Namun ia heran karena Bening malah menyukainya.
PLAK!
Kelana menampar pipinya sendiri.
‘Sadar, Bening itu masih terlalu kecil. Lagian mana mungkin Bening mau sama orang yang dipanggil om-om? Sekali lagi, Bening bukan tandingan om-om,’ batin Kelana, menyadarkan diri sendiri.
“Om kenapa pukul pipi sendiri?” tanya Bening.
“Ada nyamuk,” sahut Kelana, lantas bercermin untuk merapikan rambut basahnya.
Namun lagi-lagi Kelana melihat Bening dari pantulan kaca. Pahatan wajah dan lekukan tubuh Bening yang sangat sempurna itu membuatnya meneguk saliva.
‘Bening sudah sah jadi istrimu, boleh kali sentuh-sentuh dikit,’ bisikan telinga kiri.
‘Jangan, Bening masih dibawah umur. Masih untung dia mau bantu kamu. Kamu kan udah janji nggak akan rusak masa depan Bening,’ bisik telinga kanan.
PLAK!
Kelana kembali menampar pipinya untuk kembali ke alam sadarnya.
“Banyak nyamuk, om?” tanya Bening.
“Iya.” Gegas Kelana menyemprotkan parfum agar cepat keluar dari kamar.
SROOOOT!
Di sambut Bening yang menyemprotkan obat nyamuk di seluruh ruangan. “Nyamuknya pasti mati, om.”
Kelana tertegun melihat Bening yang sangat polos, hingga tak mungkin ia tega menyakiti fisik mau pun hatinya.
“Sudah selesai PR-nya?” tanya Kelana.
“Udah.”
“Kita ke bawah. Kamu pasti lapar, kan? Tadi waktu saya selesai mandi, ibu kamu suruh kita makan.”
“Oke, ayo.” Bening keluar duluan dengan raut riangnya.
Kelana mengikuti langkah Bening dari belakang. Ia melihat porsi tubuh Bening yang sangat mengganggu pikirannya. Ia pun sangat tak menyangka sudah punya istri dua, namun tak bisa disentuh semua.
“Selamat malam ibuuuuu ...,” sapa Bening pada Ajeng yang sedang menata piring di meja makan.
“Malam, Bening. Makan dulu, Nak,” titah Ajeng.
“Woke.”
“Eit!” Ajeng mengangkat telunjuknya saat putrinya hendak duduk.
“Kenapa, Bu?” tanya Bening.
“Mulai sekarang, kamu harus belajar jadi istri yang baik, Bening. Kamu harus melayani semua kebutuhan suami kamu,” tutur Ajeng.
“Melayani gimana, Bu?” tanya Bening.
“Tidak perlu, Bu. Saya bisa melayani diri sendiri,” sahut Kelana yang mulai duduk.
“Enggak, Mas. Saya harus bisa mendidik putri saya agar menjadi istri yang baik. Saya nggak mau posisi Bening tersingkirkan dari istri ke dua. Apalagi Mas Kelana sangat mencintai Mbak Dara, saya nggak mau Bening jadi janda,” jelas Ajeng.
“Dara bukan lagi wanita yang saya cintai. Sekarang saya akan lebih memprioritaskan Bening. Saya akan bantu Bening menggapai cita-citanya.”
“Jadi artis?” Ajeng terkejut.
“Ya, nanti saya usahakan agar Bening bisa ikut casting. Bening sudah punya modal wajah dan tubuh yang sangat cocok jadi artis. Bening juga punya bakat akting yang bagus.”
“Mas Kelana serius?” Ajeng berbinar.
“Serius, saya akan modali Bening sampai sukses.”
“Alhamdulillah Ya Allah.” Ajeng mensujudkan dahinya di atas meja. “Terima kasih, Mas Kelana. Terima kasih karena Mas Kelana mau bantu Bening.”
“Sama-sama, lebih baik kita makan.”
“Tunggu, Mas –“ Ucapan Ajeng membuat Kelana urung mengambil nasi.
“Bening, kamu layani suami kamu dengan baik. Ambilkan makanan, siapkan minumnya, juga harus patuh pada semua perintah baik suami kamu,” ucap Ajeng pada putrinya.
“Ambilin makanan buat om Kelana?” Bening yang masih berdiri itu pun menunjuk nasi.
“Iya, ibu mau kamu lebih baik dari Mbak Dara. Mbak Dara itu wanita yang udah dipacari Mas Kelana selama 1 tahun lebih. Mas Kelana itu sangat cinta sama Mbak Dara sampai apa pun selalu Mas Kelana lakukan untuknya. Ibu juga ingin kamu dicintai Mas Kelana, Nak,” ungkap Ajeng.
“Cinta? Om Kelana bisa cinta saya?” tanya Bening pada Kelana.
“Jangan banyak tanya, saya udah lapar dari siang belum makan,” sahut Kelana.
“Bening, tolong layani sebagai istri,” titah Ajeng.
“Oke.”
Akhirnya Bening melakukan tugasnya sebagai istri seperti yang Ajeng inginkan. Gadis itu mengisi piring dengan nasi berukuran jumbo, mengambil 3 potong ayam goreng, mengambil 4 sendok sambel ijo, mengambil sayur brokoli, mengambil kerupuk, mengambil 3 potong tempe goreng, dan mengambil ikan pindang.
“Selamat makan om suami.” Bening meletakan piring yang menggunung makanan itu, di tengah Kelana yang melongo.
“Kamu mau kasih makan suami atau kasih makan kuda nil?” tanya Kelana.
“Memangnya om kuda nil?”
“Ini porsi makan kuda Nil, Bening.”
“Oke, biar saya yang jadi kuda nil. Saya udah biasa makan dengan porsi kuda nil, om. Kata Bapak, biar cepet tinggi.” Bening pun meletakan piring menggunung itu di mejanya sendiri, lantas mengambil puring baru lagi.
“Kamu mau habiskan semua itu?” tanya Kelana.
“Iya, Mas. Bening kalau makan memang banyak. Dari kecil memang sudah diajarkan makan banyak sama bapaknya. Maafkan Bening ya, Mas,” sahut Ajeng.
“Oke, nggak papa. Mau abis satu mejikom juga nggak papa. Yang penting Bening sehat,” sahut Kelana.
“Bening, Mas Kelana jangan di kasih ikan, ya. Suami kamu suka biduran kalau makan ikan,” ucap Ajeng.
“Oke,” sahut Bening yang urung mengambil ikan. “Ini makanan untuk om suami.” Lanjut meletakan makanan porsi normal di hadapan Kelana.
“Oke, terima kasih. Selamat makan.”
Kelana akhirnya bisa melahap makannya, dengan pandangan yang tak henti beralih dari Bening yang juga mulai makan. Pria itu pun sampai geleng-geleng kepala melihat porsi makan istri pertamanya yang tak lazim, sangat beda dengan Kadara yang sering makan sedikit, bahkan sering tak habis karena harus diet.
“Ngomong-ngomong kenapa Bu Agus belum pulang, Mas?” tanya Ajeng yang juga ikut makan.
“Ibu masih ngurusin pernikahan di sana, Bu. Biarin aja, lagian ibu juga yang mau pernikahan itu berlanjut,” sahut Kelana.
“Kalau Tante Dara ke sini, om Kelana mau tidur di kamar siapa?” tanya Bening.
“Di kamar kita.”
“Ganti-gantian aja nggak papa kok, Mas. Mau bagaimana pun Mbak Dara juga kan istrinya Mas Kelana. Takutnya Mbak Dara marah sama Bening,” sahut Ajeng.
“Katanya ibu mau saya memprioritaskan Bening?” sahut Kelana.
“Iya, Mas, benar. Tapi prioritas dalam bentuk adil. Mau bagaimana pun Mas Kelana sudah punya istri dua yang harus adil. Saya hanya takut Mas Kelana lebih mencintai Mbak Dara daripada Bening, mengingat cinta Mas Kelana pada Mbak Dara yang sangat besar. Tapi kalau Mas Kelana bisa adil pada Bening juga, saya bisa terima.”
"Jadi om Kelana tidur di kamar Tante Dara juga?" tanya Bening.
"Jangan panggil Tante, Bening. Mbak Dara bisa marah. Panggil Mbak aja. Jangan panggil Mas Kelana om juga. Panggil Mas, Abang, Kak, sayang, atau panggilan hormat lainnya," sahut Ajeng.
"Tapi udah terbiasa panggil om," gumam Bening sangat pelan.
"Intinya Bening nggak boleh marah kalau sewaktu-waktu Mas Kelana mau tidur sama Mbak Dara. Bening harus ngerti posisi Mas Kelana yang udah punya istri dua dan harus adil pada ke dua istrinya. Tapi kalau Bening nggak dapat hak yang sama seperti hak yang diberikan pada Mbak Dara, Bening boleh marah dan bilang ke ibu," jelas Ajeng.
Bening mangut-mangut paham. "Jadi om bukan hanya tidur di kamar kita? Tidur di kamar mbak Dara juga?" tanya Bening pada Kelana untuk memastikan.
“Nanti saya pikirkan.”
“Kalau om Kelana tidur sama Mbak Dara, om Kelana mau ngapain sama Mbak Dara? Apa mau melakukan hubungan suami istri kayak di film-film?” tanya Bening.
"Film suami istri apa yang kamu tonton?" tanya Kelana.
“Ya tentu, Bening. Mas Kelana juga pasti akan sentuh Mbak Dara sama seperti Mas Kelana sentuh kamu,” sahut Ajeng.
“Ciyeeee yang mau sentuh istri,” goda Bening.
“Bening –“ Ucapan Ajeng terhenti karena melihat seseorang yang datang.
“Assalamualaikum,” ucap Agustina yang baru pulang.
“Ibu?” Kelana terkejut melihat penampilan ibunya yang kelelahan, wajah keringatan, bahkan sanggulnya sudah hampir copot melambai-lambai.
“Kamu tega banget nggak jemput ibu, Kelana. Ibu sampe pulang naik angkot,” ujar Agustina, lantas ikut duduk di kursi makan.
“Ibu pulang sendiri?” tanya Kelana.
“Ya tentu enggak, ibu pulang sama istri ke dua kamu.”
“Kadara ikut?” Kelana menilik pintu yang tak ada siapa-siapa.
“Ya pasti ikut. Mau bagaimana pun Dara kan udah sah jadi istri kamu. Untung ibu bisa kasih alasan kalau kamu nggak enak badan, sampe Dara dan keluarganya terpaksa harus ngerti.”
“Terus Daranya mana?”
“SURPRISE!” teriak Kadara yang baru masuk sambil kesulitan membawa koper, Ajeng dan Bening pun terkesiap melihat istri ke dua yang sudah datang.
“Mas Kelana, aku kangen.” Kadara memeluk Kelana dari belakang.