Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Keynan mengerjapkan matanya perlahan, merasakan pusing yang menusuk di kepalanya. Ia mengerang pelan, memijat pelipisnya untuk meredakan rasa sakit yang mengganggu. Tarikan napasnya dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, saat pandangannya mulai fokus, sesuatu yang lain membuatnya tersentak.
Napasnya terasa berat, saat mengetahui dirinya yang berantakan dan yang paling mengejutkan, ia bertelanjang dada.
Refleks, Keynan langsung bangkit dari sofa, tempat ia tidur. Tapi begitu ia bergerak, sensasi perih menyengat di punggungnya. Rasa sakit itu bukan hanya fisik, melainkan juga meninggalkan jejak samar di pikirannya.
"Apa yang terjadi?" gumamnya pelan, mencoba merangkai ingatan yang terasa kabur.
Samar-samar, bayangan seorang wanita muncul dalam benaknya. Mata itu … mata yang basah oleh air mata. "Axeline?" lirihnya.
Seperti tersambar petir, Keynan terperanjat.
"Shit!"
Tanpa berpikir panjang, ia bergegas keluar dari ruangan dengan langkah yang terburu-buru. Namun, di depan pintu, Andrian sudah menunggunya, segera menghalanginya dengan ekspresi terkejut.
"Tuan, Anda mau ke mana dengan penampilan seperti ini?"
Keynan terhenti. Napasnya memburu, kepalanya masih terasa berat, dan ia baru menyadari betapa berantakannya dirinya saat ini. Ia mengumpat pelan sebelum berbalik menatap Andrian dengan tatapan tajam.
"Cepat siapkan bajuku."
Tanpa menunggu jawaban, Keynan kembali masuk ke dalam ruangan, meninggalkan Andrian yang hanya bisa menghela napas dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi semalam?
Keynan memilih untuk membersihkan diri, berharap air dingin bisa meredakan kekacauan di kepalanya. Ia berdiri di bawah shower, membiarkan air mengguyur tubuhnya yang masih terasa lelah dan nyeri. Namun, begitu rasa perih di punggungnya terasa, ingatannya perlahan kembali.
Potongan-potongan kejadian tadi malam berkelebat di pikirannya. Axeline, tangisannya dan cara ia memohon dan mencoba menghentikannya, membuat darah Keynan berdesir. Rahangnya mengatup rapat, lalu seketika ia menggeram marah.
Tanpa pikir panjang, ia menghantam dinding dengan kepalan tangannya. Sekali, dua kali. Sampai buku-buku jarinya memerah. Tapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa benci yang kini ia tujukan pada dirinya sendiri.
"BRENGSEK!! KAU BENAR-BENAR BRENGSEK, KEYNAN!"
Suara teriakannya menggema di dalam kamar mandi, tenggelam dalam derasnya air yang masih terus mengalir. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan penuh amarah dan penyesalan.
Ia menunduk, membiarkan air itu mengalir di tubuhnya. Ia mencoba mendinginkan kepalanya yang terasa panas oleh rasa bersalah. Namun, sesakit apa pun ia memukul dinding, tidak ada yang bisa menghapus kenyataan bahwa ia telah melakukan hal yang tidak seharusnya.
Setelah beberapa saat, ia mendongak perlahan, wajahnya yang basah kini penuh dengan tekad.
"Aku harus bicara dengan Axeline."
Tanpa membuang waktu, Keynan mematikan shower dan keluar dari kamar mandi. Ia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Andrian, lalu berdiri di depan cermin. Matanya menatap bayangannya sendiri yang kini ia benci.
Setelah menarik napas panjang, ia melangkah keluar dari ruang pribadinya dan duduk di kursi kebesarannya. Tangannya bertaut di depan meja, rahangnya mengatup rapat sebelum mengeluarkan perintah dengan suara dingin.
"Minta manajemen departemen untuk mengumpulkan anak magang di aula sekarang!"
Andrian, yang berdiri tegap di hadapannya, segera mengangguk. "Baik, Tuan." Tanpa banyak bertanya, ia menunduk hormat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah.
Begitu pintu tertutup, Keynan menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya di kursi, menutup matanya sejenak.
Niatnya selama ini adalah menghindar. Pergi ke luar negeri bukan hanya untuk melanjutkan pendidikan, tapi juga untuk menjauh, untuk membunuh perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.
Ia pikir, jarak bisa membuatnya melupakan segalanya. Bisa menghapus debaran yang tidak pantas itu dari hatinya. Tapi ternyata, semua sia-sia karena begitu ia kembali, hanya butuh satu tatapan saja untuk menghancurkan semua pertahanan yang susah payah ia bangun selama ini.
Sebisa mungkin, ia berusaha mengabaikan Axeline, berharap wanita itu menjauh dengan sendirinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Sekarang, ia telah melakukan sesuatu yang membuat segalanya berantakan. Bukan hanya hubungan mereka, tapi juga dirinya sendiri.
Dan Keynan tahu, setelah ini, tidak akan ada lagi jalan untuk kembali.
Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu membuat Keynan tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas, menekan kembali emosi yang sempat memenuhi pikirannya.
"Masuk!"
Pintu terbuka perlahan, dan Andrian melangkah masuk dengan sikap hormat. Setelah menundukkan kepala sedikit, ia menyampaikan laporannya.
"Mereka sudah berkumpul di aula, Tuan."
Keynan hanya mengangguk pelan. Lalu tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya dan melangkah keluar. Sementara Andrian, seperti biasa, berjalan di belakangnya.
Saat tiba di aula, suara obrolan para anak magang yang semula memenuhi ruangan langsung mereda. Semua orang terdiam, berdiri tegak dengan wajah tegang begitu melihat sosok Keynan memasuki ruangan.
Matanya tajam menyapu mereka satu per satu, mencari sosok yang sejak tadi ada di pikirannya. Tapi, ia tidak menemukannya.
"Apa hanya ini?" tanyanya, dengan suara yang terdengar dingin dan berat.
Andrian melirik daftar absensi sebelum menjawab, "Ada dua orang yang tidak bisa hadir, Tuan."
Keynan mengalihkan pandangannya ke arah Andrian. "Siapa? Dan apa alasannya?"
Sejenak, Andrian tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, "Stefany dan … Axeline. Mereka izin karena sakit, Tuan."
Jantung Keynan berdebar tak nyaman. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Sakit? Apakah karena kejadian semalam? Apa yang sebenarnya terjadi padanya sekarang?
Tatapan Keynan menggelap. Ia menarik napas dalam, mencoba menekan emosi yang tiba-tiba meluap. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keynan berbalik dan pergi dari aula.
Andrian hanya bisa menghela napas panjang, merasa bingung dengan sikap atasannya.
"Untuk apa tadi dia menyuruhku mengumpulkan anak magang?" pikirnya. Ia mengira Keynan akan memberikan arahan atau setidaknya berbicara sesuatu. Tapi ternyata, pria itu justru pergi begitu saja tanpa penjelasan apa pun.
Sementara itu, Keynan kembali ke ruangannya. Pintu tertutup dengan sedikit keras.
Pikirannya kacau. Ia berjalan mondar-mandir dengan tangan yang sesekali mengepal, berusaha mengendalikan diri. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan semuanya, semakin jelas bayangan semalam memenuhi benaknya.
Hingga akhirnya, pandangannya jatuh pada sofa di sudut ruangan. Sofa itu menjadi saksi bisu dari perbuatannya.
Ia menatapnya lekat, dan seketika tubuhnya menegang saat melihat noda merah samar yang tertinggal di sana.
Jantungnya berdegup kencang, dan tanpa sadar, emosi kembali menguasainya.
"BRENGSEK!"
Keynan menggeram marah, tinjunya menghantam meja dengan keras.
Ia membenci dirinya sendiri, membenci apa yang telah ia lakukan, membenci fakta bahwa sekarang, tidak ada jalan untuk mengubahnya.
Napasnya memburu. Ia menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri. Butuh beberapa detik baginya untuk kembali berpikir dengan jernih.
Tidak peduli seberapa besar rasa bersalahnya, tidak peduli seberapa besar ia ingin menghindari kenyataan. Dengan tekad yang mulai terbentuk, Keynan menarik napas dalam dan berbisik pada dirinya sendiri,
"Bagaimanapun juga, aku harus bicara dengannya."