“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Hukuman Dari Wira
Bik Rahma tergopoh-gopoh keluar saat Tiwi memberitahukan ada keributan di halaman mansion. Wanita paruh baya itu mengangga melihat Wira membopong Chaca, sementara Aqila digendong Dzaki dan mulai tampak ingin menangis.
“Chaca,” gumam Bik Rahma pelan. Ia tak berani menatap Wira saat berpapasan dengannya. “Ya Allah, apa yang terjadi sama Chaca?” batin Bik Rahma ketar ketir.
“Bik Rahma urus Aqila sebentar!” perintah Wira dengan sorot mata elangnya yang tajam.
Bik Rahma hanya mengangguk, tidak banyak bertanya mengapa dan kenapa. Kemudian ia melirik ajudan Wira membawa stoller milik Aqila beserta tasnya saat mau mengambil alih Aqila dari gendong Dzaki.
“Apa jangan-jangan Chaca ketahuan mau kabur sama Tuan Wira. Kalau iya ... wah gawat ini. Apa yang akan terjadi sama Chaca,” gumam Bik Rahma pelan sembari menenangi Aqila yang mulai rewel.
***
Dua jam setelah kejadian, kedua orang tua Wira sudah mengetahui jika Chaca tadi sore sempat mau kabur membawa Aqila kabur. Dan kini Bik Rahma sedang diinterogasi di ruang keluarga.
Aqila saat ini duduk di pangkuan Mama Maryam sembari mengunyah biskuitnya. Sementara itu, wanita paruh baya itu tertunduk, tidak berani menatap satu persatu orang yang ada di depannya.
“Katakan pada saya, Bik Rahma? Kalau Chaca tadi sore berniat untuk membawa Aqila kabur, kan!” sentak Wira terlihat emosi.
Bik Rahma tersentak kaget, kedua tangannya yang berpangku saling bertautan, rasa takutnya semakin menjadi-jadi.
“Katakan pada saya, Bik!” Suara Wira semakin meninggi sembari menggebrak meja dengan majalah bisnis yang ia pegang.
“Maaf, Tuan.” Bik Rahma mengatup kedua tangannya di dada. Matanya tampak berkaca-kaca saking takutnya.
Wira yang biasanya tidak terlihat garang hari ini benar-benar memperlihatkan sisinya yang berbeda, dan sudah tentunya membuat orang yang selama ini tidak pernah tahu menjadi ketakutan.
“Saya sangat kecewa dengan kamu, Bik, jika tetap saja menutup mulut seperti ini,” sambung Mama Maryam buka suara.
“Ma-Maafkan saya, Nyonya. Tolong maafkan Chaca.” Hanya kata maaf yang bisa ia sampaikan, meski di lubuk hatinya ingin berbicara panjang dan membantu keponakannya untuk lepas dari jeratan keluarga Brawijaya.
“Tidak ada kata maaf, terutama untuk Chaca yang ingin membawa kabur cucu satu-satunya keluarga Brawijaya!” tegas Wira dengan suaranya menggema.
Rahang Bik Rahma mengatup, tidak mampu berkata apa pun lagi. “Chaca berhak membawa anaknya ke mana pun, karena dia ibunya.” Ingin sekali Bik Rahma berkata seperti itu, tapi sayangnya tertahan di tenggorokan saja.
“Mulai detik ini tindak tanduk Bik Rahma dibawa pengawasan ajudan saya. Dan mulai detik ini akan ada nanny yang membantu Bik Rahma mengasuh Aqila. Untuk saat ini Chaca saya hukum!”
Degh!
Bik Rahma memberanikan diri menatap tuan mudanya. “Dan, jangan sesekali Bik Rahma membantu bahkan menolong Chaca jika masih mau bekerja di sini. Kecuali Bik Rahma sudah enggan bekerja di sini!” ancam Wira serius, tidak main-main.
Wanita paruh baya itu tampak tergugu, hatinya dilema, ia pun tidak naif jika bekerja di keluarga Brawijaya tempat yang paling nyaman baginya, apalagi gajinya cukup besar karena sudah hampir tujuh tahun mengabdi.
Ancaman Wira memang sungguh-sungguh. Nyatanya saat ini kamar Chaca dikunci dari luar dan dijaga oleh salah satu ajudan. Sementara wanita yang terkena obat bius tampak damai tertidur di atas ranjang.
“Tuan Wira, saya mohon jangan siksa Chaca, maafkan Chaca,” pinta Bik Rahma agak memelas.
“Itu urusan saya! Masih untung Bik Rahma tidak turut saya hukum!” Pria itu lantas berdiri lalu menatap Aqila yang ada di pangkuan mamanya. Baby cantik itu nyengir menunjukkan deretan gigi susu seakan sedang diajak bercanda sama Wira, sementara Wira menatapnya penuh makna.
“Kita jangan sampai kecolongan lagi, Mah,” ujar Wira sebelum meninggalkan ruang keluarga.
“Mmm ... Wira, hari ini kamu menginap di sini, ‘kan?” tanya Mama Maryam.
“Ya, aku dan Adel malam ini menginap di sini. Sekalian aku akan mengurus Chaca,” balas Wira, tampak sangat membenci ketika menyebut adik iparnya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aqila malam ini tidur bersama oma dan opanya, tidak lagi dengan mamanya sesuai keputusan bersama Wira dengan kedua orang tuanya, kalau Aqila akan dijauhkan dari Chaca dalam waktu yang tidak ditentukan.
Dan, kini sosok pria itu ada di depan kamar Chaca, ajudan yang menjaga bergegas membukakan pintu. Pria itu pun melangkah masuk disusul oleh maid yang membawa nampan berisikan makanan.
“Taruh di sana, setelah itu kamu keluar dari sini!” titah Wira dengan aura dinginnya, seraya menunjuk ke meja sofa.
“Baik, Tuan,” jawab maid tersebut sembari mencuri pandang ke arah ranjang. Chaca masih memejamkan matanya.
Selepas maid tersebut menaruh nampan buru-buru ia ke luar dari kamar, dan menutupnya.
Tinggallah Wira dan Chaca di dalam kamar. Wira melangkah mendekati ranjang, sejenak ia menatap dalam wajah Chaca yang tampak tenang. Setelah itu, barulah ia duduk di tepi ranjang, jemarinya langsung mengecek nadi wanita itu, lalu hembusan napas.
Di saat pria itu sedang mengecek hembusan napas wanita itu dengan mendekati wajahnya, Chaca melenguh pelan dengan gerakan wajahnya terangkat ke atas, pria itu menahan napas. Hidung mereka bersinggungan, dan perlahan-lahan Wira bisa melihat bola mata di balik kelopak matanya yang tertutup bergerak-gerak pelan.
Pria itu lantas menarik dirinya. Namun, tetap duduk di tepi ranjang menanti wanita itu membuka matanya. Dan benar saja dalam hitungan menit kemudian Chaca membuka kelopak matanya.
“Lama juga kamu tidurnya ya, saya pikir kamu akan mati menyusul almarhum suamimu,” sindir Wira dengan sorot matanya seolah-olah mengintimidasinya.
Chaca yang belum sepenuhnya sadar diri, kembali terpejam sembari menarik napasnya dalam-dalam. Ia tak menyangka kakak iparnya ada di hadapannya. Usai itu ia kembali membuka kelopak matanya dan melihat ke segala arah.
“Aqila ... anak Mama ... Aqila, Sayang.” Chaca meraba sisi ranjangnya yang kosong sembari memanggil nama anaknya, lalu ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya.
“Mau kamu berteriak memanggil anakmu. Tetap saja Aqila tidak ada di sini dan tidak akan pernah lagi bersamamu.”
Chaca yang baru saja beranjak dari atas ranjang mulai terasa limbung, kepalanya pusing efek dari obat bius masih ada. Tapi, demi mencari keberadaan anaknya ia berusaha untuk tetap berdiri tegak.
“Aqila, kamu di mana, Nak!” panggil Chaca dengan langkah tertatih-tatih menuju pintu.
“Sudah saya katakan anakmu tidak ada di sini! Dan kamu tidak akan pernah melihatnya lagi!” sentak Wira sembari melangkah cepat menuju pintu, lalu menarik lengan Chaca.
“Akh!” pekik Chaca, tubuhnya yang limbung hampir saja terjatuh jika Wira tidak mengapai tubuhnya. Dan kini wanita itu dalam pelukan Wira.
Dalam persekian detik mereka berdua beradu pandang. Wira menatap tajam wanita yang telah melahirkan Aqila, sementara tatapan Chaca jika dilihat lebih dekat, jelas penuh dengan luka yang dipendamnya selama tiga tahun ini.
“Di mana anak saya, Pak Wira? Kembalikan anak saya!” pinta Chaca dengan sedikit mengeluarkan sisa tenaganya.
Pria itu tersenyum miring. “Kamu tidak akan bisa bertemu dengan anakmu lagi, jika tidak mau menikah dengan saya, Chaca Ayunda!”
Bersambung ... ✍️
lanjut