"Seharusnya aku tahu, kalau sejak awal kamu hanya menganggap pernikahan ini hanya pernikahan kontrak tanpa ada rasa didalamnya. Lalu kenapa harus ada benihmu didalam rahimku?"
Indira tidak pernah mengira, bahwa pada suatu hari dia akan mendapatkan lamaran perjodohan, untuk menikah dengan pria yang bernama Juno Bastian. Indira yang memang sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Juno, langsung setuju menikah dengan lelaki itu. Akan tetapi, tidak dengan Juno yang sama sekali tidak memiliki perasaan apapun terhadap Indira. Dia mengubah pernikahan itu menjadi pernikahan kontrak dengan memaksa Indira menandatangani surat persetujuan perceraian untuk dua tahun kemudian.
Dua tahun berlalu, Indira dinyatakan positif hamil dan dia berharap dengan kehamilannya ini, akan membuat Juno urung bercerai dengannya. Namun takdir berkata lain, ketika kehadiran masa lalu Juno yang juga sedang hamil anaknya, sudah mengubah segalanya.
Apa yang akan terjadi pada rumah tangganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma Kirana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Mana suamimu?
****
Indira terkejut begitu dia mendapatkan kabar kurang menyenangkan dari adik suaminya, bahwa kakek dari suaminya yang sudah dianggapnya sebagai kakek sendiri, masuk rumah sakit.
"Cepetan lo kesini sama Kak Juno. Kakek nungguin lo," suara seorang wanita terdengar judes dan tidak sopan kepada Indira yang merupakan kakak iparnya.
"Iya, kakak dan kak Juno akan segera kesana. Kamu kirimkan alamat rumah sakit dan ruangannya ya, Jen." Indira berkata dengan lembut, meskipun Jenny berkata tak sopan padanya.
"Iya gue kirim," jawab Jenny dengan malas.
"Kalau gitu kakak siap-siap dulu ya. Assalamu-"
Tut... tut... tut...
Belum sempat Indira menyelesaikan salamnya, telpon itu sudah ditutup lebih dulu oleh Jenny. Indira sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya, karena dia sudah terbiasa dengan sikap Jenny padanya. Karena tidak hanya Juno saja yang tidak suka dengan pernikahan ini, melainkan Jenny dan ibu mertuanya. Mereka tidak menyukai Indira yang berasal dari kampung dan merasa Indira tidak setara dengan keluarga Bastian. Indira hanya beruntung saja, karena kakek Juno menjodohkannya. Jika bukan karena persahabatan kakek Juno dan mendiang kakek Indira, perjodohan bahkan pernikahan ini tidak akan terjadi. Namun, kakek Juno sangat menyayangi Indira, sehingga dia tetap bertahan didalam keluarga Bastian.
"Aku harus kasih tahu mas Juno."
Suara adzan yang berkumandang membuat Indira terdiam ditempatnya, niatnya urung sementara untuk memberitahu suaminya. Dia pun memutuskan untuk melaksanakan shalat magrib terlebih dahulu. Indira pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lantas setelah itu dia melaksanakan shalat magrib sendiri di kamarnya yang cukup luas.
Sedangkan di kamar lain, Sheila dan Juno tampak bergumul untuk ke sekian kalinya diatas ranjang. Namun, kali ini Juno lebih berhati-hati, karena takut calon bayinya kenapa-kenapa. Jangankan untuk shalat magrib, Juno dan Sheila bahkan tak ingat ini jam berapa.
"Sayang, apa kamu serius mau bercerai dengan wanita itu?" tanya Sheila yang saat ini posisinya berada diatas tubuh polos Juno. Dia menatap kekasihnya dengan manja.
"Iya, tentu saja. Dua bulan lagi, aku akan menceraikannya."
"Hem, begitu ya."
"Kenapa kamu menanyakan hal yang sudah kamu tahu jawabannya, sayang?" ucap Juno seraya membelai pipi Sheila dengan lembut.
"Nggak apa-apa. Aku cuma kepikiran aja, selama dua tahun ini...kalian kan hidup bersama. Apa kamu nggak ada rasa sama wanita itu?" tanya Sheila sambil memalingkan wajahnya menghindari Juno. Kata-katanya menyiratkan kesedihan.
"Sayang, apa kamu cemburu pada wanita kampung itu? Jangan mengada-ada, aku tidak mungkin jatuh cinta sama dia. Ada rasa pun tidak. Selama ini aku selalu menjaganya buat kamu, percayalah padaku sayang?" bujuk Juno dengan tatapan lembut dan suara hangatnya pada Sheila, wanita yang dia cintai.
"Apa benar begitu? Selama dua tahun, kamu nggak pernah ada rasa sama dia? Atau... apa kamu pernah tidur sama dia?" tanya Sheila dengan tatapan mata yang menaruh curiga pada Juno. "Nggak mungkin dua tahun nikah, kamu nggak ngelakuin apapun sama dia, Jun!" imbuh Sheila lagi yang kali ini membuat Juno terdiam seribu bahasa.
Tiba-tiba saja potongan bayangan dirinya tidur dengan Indira satu bulan yang lalu, kembali terlintas di kepalanya. Segera, dia menyingkirkan hal itu dari kepalanya dan menganggapnya tak pernah terjadi.
"Sayang, kenapa kamu malah ngelamun? Apa jangan-jangan benar kalau kamu sama dia udah-"
Bibir Juno segera menyambar bibir Sheila, sebelum wanita cantik itu berbicara lebih banyak.
"Nggak sayang! Nggak ada apa-apa diantara aku sama dia. Lagian mana mungkin aku ada apa-apa sama cewek kampung itu, sedangkan aku memiliki semuanya yang ada pada diri kamu. Wanita kampung itu nggak ada seujung kuku pun dibandingkan dengan kamu. Jangankan tidur sama dia, untuk melihat wajahnya saja aku jijik!"
"Aku cinta kamu sayang, selama dua tahun ini aku bahkan menjaga keperjakaan aku buat kamu," tutur Juno yang tidak sepenuhnya jujur. Dia mungkin menjaga hatinya, tapi tidak dengan tubuhnya. Dia pertama kali melakukan hubungan dengan Indira, istri sahnya dan itu pun karena tidak disengaja.
'Jangan sampai Sheila tau kalau aku pernah berhubungan sama wanita kampung itu'
"Ya sudah, aku percaya sama kamu Jun. Lagian kamu bener juga sih, mana mungkin kamu tergoda sama istri kamu yang kampungan itu," ucap Sheila yang tampaknya percaya dengan perkataan Juno. Pria itu merasa lega karena Sheila percaya pada perkataannya.
"Ya udah, kita mandi yuk? Badanku udah lengket, sayang."
"Mandiin." Sheila berkata dengan manja.
"Iya, ayo!"
Juno menggendong tubuh Sheila yang polos itu, lalu membawanya ke kamar mandi. Dia memperlakukan Sheila dengan lembut dan hangat. Berbeda sekali dengannya, saat dia memperlakukan Indira.
"Ya Allah... rasanya sakit sekali... dadaku sesak," ucap Indira sambil memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Rupanya wanita itu mendengar semuanya dari balik pintu, saat dia akan memberitahu Juno tentang kakeknya.
Dia mendengar dan melihat semuanya, dimana suaminya mengatakan jijik padanya. Padahal dia sekarang sedang mengandung benihnya.
"Mama harus bagaimana nak? Kalau papamu tau tentang kehadiran kamu, apa yang akan papamu katakan? Apa dia akan menolakmu? Atau dia akan menerimamu? Karena kamu punya saudara lain juga," gumam Indira dengan pikiran yang berat dan hati yang berkecamuk. Dia jadi ragu untuk memberitahu Juno tentang keberadaan anak mereka. Bagaimana juga nasib bayinya kelak?
Sesak rasanya, ketika Indira memikirkan Sheila yang juga sedang hamil anak suaminya.
Selang beberapa menit, Indira terpaksa menggedor pintu kamar suaminya dan memberitahu suaminya tentang kondisi sang kakek. Dia tidak bisa berlama-lama lagi, karena katanya kakek Juno sedang menunggunya. Tidak ada jawaban dari Juno di dalam kamarnya, hingga membuat Indira pun menyerah dan memilih pergi seorang diri.
"Oke, aku pergi sendiri Mas. Jangan bilang kalau aku tidak memberitahu kamu. Silahkan kamu bersenang-senang, berzina dengan wanita itu!" teriak Indira kesal, tapi sayangnya Juno tidak mendengarnya, karena dia masih melakukan sesi panasnya bersama Sheila dikamar mandi. Bahkan panggilan telepon yang beberapa kali bergetar pun dia abaikan. Saat ini fokusnya adalah Sheila.
Hati Indira sakit, membayangkan apa yang terjadi di antara suaminya dan wanita itu didalam sana. Ingin sekali dia masuk ke dalam sana dan menghentikan perbuatan nista yang mereka lakukan, tapi dia tidak kuat melihatnya lagi.
Hatinya tak sekuat itu.
Indira pergi ke rumah sakit seorang diri tanpa Juno. Dia terpaksa naik ojeg agar lebih cepat sampai ke sana. Beberapa menit kemudian, Indira sampai di rumah sakit, dia bergegas pergi ke tempat Kakek Juno (Pak Edwin) dirawat. Didepan sebuah ruangan, terlihat seorang wanita berambut pendek berdiri dan menatapnya sinis.
"Lo darimana aja sih! Dari tadi kakek nunggu lo!" sentak gadis muda itu kepada Indira. Dia adalah Jenny, adik perempuan Juno yang baru menginjak kelas 3 SMA.
Indira terlihat khawatir, "Ma-maaf tadi jalanan macet. Kakek dimana?"
"Kakek didalam sama Mama," jawab Jenny ketus.
Indira pun masuk ke dalam ruang rawat itu, hatinya remuk redam melihat pria tua dengan rambutnya yang sudah memutih terbaring diatas ranjang dan terpasang beberapa alat medis disampingnya. Disana sang kakek tak sendiri, dia bersama dengan ibu mertua Indira yaitu bu Winda.
"Assalamu'alaikum," ucap Indira sembari berjalan mendekati ranjang kakeknya.
"Waalaikumsalam... Indi," jawab pria tua itu lemah. Sementara Bu Winda sama sekali tidak menjawab salamnya dan menunjukkan wajah tidak bersahabat.
Saat Indira akan mencium tangannya, Bu Winda menarik tangannya.
"Indi, mana suamimu nak?" pertanyaan Pak Edwin, membuat Indira tersentak kaget dan tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia menjawab bahwa suaminya sedang bersama kekasihnya yang sedang hamil?
*****
penyesalan mu lagi otw juno