NovelToon NovelToon
Fading Stitches

Fading Stitches

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Trauma masa lalu / Careerlit
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: AMDee

Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11

Ketika Aline tiba di depan asrama Dr. Gita, Aline dikejutkan oleh kedatangan Margin bersama dengan rekan kerjanya, Ruby.

"Sudah lama sekali, ya, kita tidak bertemu." ucap Ruby sambil menepuk pundak Aline.

Aline hanya tersipu. "Kak Ruby apa kabarnya?"

"Aku selalu baik, Aline. Kamu sendiri bagaimana? Sehat-sehat saja, kan?"

"Yah, seperti yang kakak lihat sekarang ini. Aku baik, kok."

Aline mencoba tersenyum tapi itu hanyalah senyuman palsu.

"What's wrong, darling? Kenapa wajahmu muram?"

Aline menggelengkan kepalanya. "Aku nggak apa-apa, Mar."

Aline menghela napas panjang.

"Duh, cuacanya panas sekali. Ayo kita berteduh."

Mereka lalu berjalan ke sebuah gazebo yang dipenuhi oleh bunga anggrek berwarna-warni dari jenis yang berbeda-beda.

Saat Aline mendudukkan tubuhnya, ia mendapati salah satu tanaman yang kelihatannya mulai rusak. Mungkin karena kebanyakan disiram air atau karena tidak cukup terkena cahaya matahari jadi daun-daunnya layu dan berguguran.

Aline yang melihat itu tidak bisa tinggal diam. Ia berdiri dan memberikan perawatan pada tanaman tersebut.

"Kau bunga paling cantik di taman ini. Tolong jangan mati." bisik Aline pada kelopak bunga anggrek itu.

"Aline. Sini, duduk dulu. Kamu baru pulang kuliah, loh, pasti kamu capek, kan?" Ruby membuka paper bag yang berisi makanan dan minuman kesukaan Aline di atas meja kecil. 

"Ayo, Aline. Cuci tanganmu dan bergabunglah dengan kami. Coba lihat ini, Ruby membelikan semua makanan kesukaanmu sewaktu kami dalam perjalanan pulang, loh." seru Margin.

"Ayo, Aline. Kita makan bareng-bareng!"

Aline hanya bisa melirik strawberry cake dan es teh lemon di meja panjang itu. Ia menghela napas berat. "Maaf, Mar. Sepertinya aku tidak berselera makan."

"Tidak berselera makan atau sengaja tidak mau makan?"

Seseorang berbicara, tapi itu bukan suara Ruby ataupun Margin. Aline melirik kanan dan kirinya. Di dekat taman anggrek itu, tepatnya di kandang kelinci seorang wanita tengah berdiri di sana.

"Dr. Gita!" jerit Aline.

"Oh, lihat itu, sepertinya semangat Aline sudah kembali." ucap Margin, sembari menyeruput minuman dinginnya.

Ruby menggeleng-gelengkan kepala melihat Aline yang berlari menghampiri Dr. Gita.

"Dia lincah seperti biasanya." Ucapan Ruby langsung disambut dengan anggukkan kepala Margin.

"Dokter ke mana saja? Dokter tahu tidak, semalam aku pergi ke rumah sakit untuk menemui Dokter, tapi Dr. Gita tidak ada. Dokter tahu tidak, kemarin itu aku...”

"Ssh... jangan keras-keras. Nanti ibu kelinci yang di sana stres. Kasihan, kan, bayi-bayi yang ada dalam perut kelincinya. Kamu bicaranya pelan-pelan saja, oke?"

Aline mengangguk dan menutup mulutnya. Gadis itu jadi kelihatan seperti anak kecil yang masih polos.

"Ayo, kita bicara di sana!" ajak Dr. Gita.

Dr. Gita mencuci tangannya, setelah itu mereka berjalan ke tempat di mana Margin dan Ruby sedang duduk dan membicarakan tentang pekerjaan mereka.

...•••...

Aline menghabiskan minuman di gelas plastiknya. Ia menghela napas panjang kemudian menceritakan semua keluhannya terhadap Dr. Gita. Ia bercerita tentang hari pertamanya di kampus dan tentang kekecewaannya karena sore itu Luna tidak jadi datang ke kampusnya.

Dr. Gita, Margin dan Ruby saling pandang. Mereka memahami perasaan Aline. Karena itu Ruby mulai bercerita tentang pengalaman kuliahnya hingga pertemuan Ruby dengan Margin dan Dr. Gita.

"Jadi dulu Kak Ruby tidak berniat menjadi model dan Fashion Stylist?" tanya Aline.

"Sama sekali tidak kepikiran. Terlebih lagi aku dari Fakultas Ekonomi terus beralih ke Jurusan Fashion Design. Benar-benar suatu keputusan yang berat sekali, karena di sana aku harus adu mulut dulu sama orang tua," Ruby tertawa lalu melanjutkan ceritanya.

"Perjuangan banget masuk Fakultas Ekonomi tuh, tapi karena tiba-tiba aku berhenti di tengah jalan dan malah masuk ke jurusan fashion, Ibu aku marah banget, tapi untung saja papa aku pengertian. Selama aku kuliah, papa yang selalu dukung aku. Pokoknya banyak sekali pengorbanan aku hingga aku bisa sampai seperti sekarang. Terutama pas aku masuk ke jurusan fashion ini. Aku benar-benar belajar mandiri, deh."

Tawa renyah Ruby lagi-lagi terdengar mewarnai ruangan itu. Bola matanya tampak berkaca-kaca mengenang masa-masa silamnya.

"Ruby ini dulu kerjanya nangis terus, Al. Dia selalu bilang, kalau dia menyesal masuk kelas Fashion. Pokoknya setiap ada tugas atau apapun dia pasti menelepon aku sambil merengek dibuatkan tugas Mapel design." ungkap Margin.

"Aiih, Margin... kenapa kamu malah cerita yang bagian itu, sih? Malu tahu." Bibir merah Ruby mengerucut. Wanita berambut pendek kecokelatan itu menutup wajah Asianya dan menggelengkan kepala.

"Tapi aku jadi ingat, hari di mana aku ketemu sama Kak Gita. Kalau enggak salah waktu itu pas di acara fashion show pertamanya Kak Gita, deh."

Ruby mulai menceritakan semua pertemuan mereka dan pengalamannya menjadi seorang model.

Ketika mendengarkan cerita Ruby tentang masa lalu Dr. Gita, Aline mulai memberanikan diri untuk bertanya mengapa Dr. Gita beralih profesi menjadi seorang dokter spesialis kejiwaan.

"Yah, sebenarnya banyak sekali yang menyayangkan keputusan saya menjadi dokter. Padahal bisnisnya sedang maju pesat, kenapa malah berhenti menjadi perancang busana? Ah, saya sampai capek mendengar pertanyaan itu." Dr. Gita mendesah dan mengangkat bahu.

"Saya tidak semata-mata berhenti jika tidak ada alasannya. Hanya saja orang-orang tidak akan pernah menyadari dan mempercayai perkataan saya ini. Orang-orang di luar sana selalu memandang saya sebagai wanita karier yang sukses di usia muda. Mereka semua berpikir bahwa saya tidak mungkin mengalami depresi. Alasan apa yang dapat membuat saya stres? Saya wanita mapan, usaha saya sedang sukses besar bahkan saya berhasil mengembangkan bisnis saya ke pasar Internasional. Orang di luar sana semakin menilai bahwa hidup saya itu senang. Padahal di balik semua itu, ada kisah kelam yang mereka tidak tahu tentang kepribadian saya..."

Selagi Dr. Gita bercerita tentang dirinya, Aline mendengarkan dengan penuh kesungguhan. Terkadang Aline mangut-mangut. Terkadang Aline juga ingin menangis mendengar cerita Dr. Gita.

"Begitulah. Sesuatu yang terkadang ditakuti oleh manusia adalah kegagalan. Sebisa mungkin manusia selalu ingin melakukan segala hal dengan sempurna. Dan ketika mereka gagal, mereka akan terus kepikiran bahkan ada yang sampai mengalami depresi karena itu." Dr. Gita menarik napas panjang.

"Dulu, saya adalah salah satu manusia dengan tipikal yang seperti itu. Saya sangat membenci kegagalan. Makanya, setelah acara show saya di Milan beberapa tahun silam, di saat saya dituduh menjiplak ide rancangan dari salah seorang tokoh ternama, saya langsung melarikan diri dari dunia fashion. Saya tidak ingin membenarkan tuduhan mereka karena saya tidak merasa melakukan plagiarisme. Semua karya yang saya buat adalah murni hasil dari ide-ide saya, tapi malam itu..." Dr. Gita tidak meneruskan perkataannya.

"Apa yang terjadi pada malam itu?" Ruby bertanya.

Margin memegang lengan Ruby dan menggelengkan kepala.

Dr. Gita tersenyum kecil. "Saya benar-benar mengalami depresi hebat setelah mendapatkan kritik dan perkataan-perkataan kasar yang ditujukan kepada saya. Belum lagi komentar jahat dari netizen di sana."

Dr. Gita memandang Aline, Ruby dan Margin secara bergantian.

Ia melanjutkan. "... Saya hampir menghabisi nyawa saya sendiri karena saya merasa gagal menjadi manusia. Rancangan saya, yang saya sebut sebagai "Alter Ego, atau diri saya yang lain"—dianggap sebagai karya sampah. Semua orang yang mengikuti acara saya di Milan justru mencap diri saya sebagai seorang plagiarisme. Mereka bilang, saya telah menyontek ide dari Tjokro Barca. Secara kebetulan Miku-Mine merilis merek itu di tahun yang sama, hanya berbeda satu bulan saja. Tapi sungguh saya tidak tahu apa pun tentang karya Miku-Mine itu. Saya baru tahu semua itu setelah saya dinobatkan sebagai penjiplak karya-karyanya. Padahal desain kami jelas terlihat berbeda, hanya kebetulan saja tema yang dibuat oleh Tjokro Barca untuk Miku-Mine itu sama persis dengan tema koleksi saya pada waktu itu.”

Dr. Gita menelan ludah. Terlihat raut wajahnya begitu muram.

"Karena merasa frustrasi, malam itu saya benar-benar telah kehilangan pegangan dalam diri saya. Saya merasa hidup saya benar-benar akan hancur. Seluruh impian saya rasanya memudar begitu saja. Saya tidak ingin hancur. Tapi, mengingat semua yang terjadi di acara itu membuat saya tidak mau peduli lagi pada kehidupan saya. Dan, ketika itulah saya didorong oleh bisikan-bisikan gaib agar saya melakukan bunuh diri. Saya pergi dari rumah orang tua saya dan berlari ke apartemen saya. Sesampainya di sana, saya berjalan ke rooftop dan berniat untuk meloncat dari lantai empat apartemen saya. Namun ketika saya melakukan hal itu, saya justru ditolong oleh seorang pria. Melihat kondisi saya, pria itu langsung membawa saya ke rumah sakit. Lalu, sejak kejadian itu, saya pun memutuskan untuk berhenti berkarier di dunia mode untuk selamanya."

"Lalu apa yang terjadi setelah itu?" giliran Aline yang bertanya.

"Banyak sekali hal yang terjadi pada saya. Setelah saya meninggalkan dunia glamor itu, saya masih sering dihantui oleh berbagai bisikan-bisikan jahat. Entah itu ejekan yang saya dengar dari para panelis dulu, bahkan dari dalam diri saya sendiri. Pikiran buruk saya telah menciptakan delusi terkait insiden itu, dan saya tidak bisa lepas begitu saja."

Dr. Gita menggeser duduknya. Memandang ke arah matahari tenggelam. "Setiap hari saya hanya memikirkan cara untuk menghadapi masa depan saya selanjutnya. Saya terus bertanya-tanya dan mencoba menempatkan diri saya di kehidupan masyarakat lagi. Tapi semua itu tidak mudah. Meskipun jiwa saya terus meronta-ronta dan mendorong saya agar tidak berdiam diri dan terkurung dalam ketakutan dan kecemasan saya. Saya masih tidak bisa keluar dari keadaan itu. Lalu, saya mencari-cari cara agar daya bisa bangun dari keterpurukan itu. Dan, pada akhirnya, saya gagal lagi. Saya terkurung dalam kecemasan di masa lalu. Saat itu saya bertemu seseorang yang kemudian menyuruh saya untuk berobat dan menjalani konseling.

"Ketika itulah, saya baru bisa menerima seluruh kegagalan di masa lalu saya dan menjadikan itu semua sebagai kekuatan saya agar saya bisa berani menghadapi dunia luar. Saya juga tidak henti-hentinya terus berbicara pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak bisa terpaku pada masa lalu saya terus-menerus, saya harus segera bangkit.

"Jika saya tidak bisa mewujudkan impian saya sebagai perancang busana yang dapat menginspirasi kalangan muda, maka saya harus berupaya dengan segala macam cara agar hidup saya tetap dapat memberikan manfaat bagi bangsa ini. Khususnya untuk menginspirasi wanita di seluruh penjuru negeri. Saya terus mencari-cari bakat saya. Saya terus memikirkan bidang apa yang seharusnya saya geluti setelah semua yang pernah terjadi di kehidupan saya. Di tengah keresahan saya saat itu, saya melihat diri saya di depan cermin. Diri saya yang pernah gagal, dan tidak bisa kembali ke tempat di mana saya mengalami masa-masa yang buruk ..."

Suara Dr. Gita sedikit tersekat. Ia meraih gelas minumannya dan kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat menggantung tadi.

"Lalu, ketika saya melihat bayangan saya di cermin, saya berpikir, andai saja ada orang lain yang mengalami hal serupa dengan saya, pasti mereka akan sulit untuk keluar dari zona yang membuatnya merasa tertekan. Mereka pasti membutuhkan seseorang untuk berbagi. Dari sanalah, saya akhirnya menemukan jalan hidup saya. Saya ingin menjadi seorang psikiater. Saya ingin memahami banyak orang—menyalurkan energi positif saya untuk mereka, walaupun saya sendiri mungkin masih jauh dari kata sempurna. Tetapi jika saya menjadi dokter, saya bisa menyelamatkan orang-orang dari perasaan sedih dan rasa putus asa mereka. Saya ingin bermanfaat untuk banyak orang."

Dr. Gita tersenyum mengakhiri kisahnya. Aline merasa tersentuh. Tidak disangka, orang sehebat Dr. Gita juga pernah mengalami hal serupa dengan apa yang sudah dialami Aline.

Aline semakin terpacu untuk bisa bangkit seperti Dr. Gita.

"Aku akan melakukannya juga," Aline berdiri dari tempat itu.

Margin melirik Aline dengan heran. "Kamu mau melakukan apa?"

Aline memandang mereka satu per satu. Ia tersenyum. "Aku akan mencari tempat di mana aku dapat tinggal dengan nyaman, dan fokus pada tujuanku."

"Mantap." Ruby mengacungkan dua jempolnya.

"Terus bagaimana dengan kuliah kamu?" tanya Margin.

"Ya, seperti itulah." jawab Aline sekenanya.

Mendengar pertanyaan Margin tadi Aline seolah diingatkan kembali pada Luna Takahashi.

Ah, kesal! Kenapa tadi diundur, sih? 

Bibir Aline dimajukan. Aline berseteru dengan suara hatinya. Dr. Gita yang melihat tingkah Aline lantas menepuk bahu Aline dengan lembut.

"Apa ada masalah di kampusmu?"

Secepatnya Aline segera menggeleng. "Aku hanya sedikit kesal karena tadi tidak jadi bertemu Luna."

"Sebesar itukah rasa suka kamu terhadap Luna?" tanya Dr. Gita.

Aline mengangguk. "Sama besarnya dengan aku menyukai dunia fashion. Luna itu seperti cahaya bulan yang selalu menemani malam-malam penuh kegelisahan dalam hidup aku. Setiap kali aku merasa ragu, aku selalu menonton acara talk show Luna di Youtube. Aku mengulangnya sampai aku merasa bosan."

"Aku justru baru tahu kalau kamu itu suka sama Luna. Tahu begitu, waktu aku dan Ruby pergi ke Hokkaido dulu, aku minta tanda tangannya saja, ya."

"Benar."

Aline mendelik. "Jadi waktu kalian ke Hokkaido, kamu bertemu Luna, Mar?"

Margin mengangguk. "Kami juga pergi makan bersama."

"Curang!” Aline mengerucutkan bibirnya.

"Apanya yang curang? Besok kamu juga bakal bertemu Luna di kampus, kan?"

"Ya, aku tahu. Tapi sebelum bertemu Luna aku harus sibuk membuat desain."

"Memangnya kamu sudah mulai belajar?"

Aline mengangguk.

"Orientasi di kampus itu berbeda dengan di SMA dulu. Di sana tidak ada perpeloncoan. Kami semua langsung diajarkan ilmu dasar menggambar dan membuat sketsa selama orientasi." jawab Aline sembari bersandar ke dinding.

"Berarti kamu sudah pintar dong, ya." Ruby ikut bersandar di sebelah Aline.

"Tidak juga. Aku tidak pernah merasa pintar. Terlalu banyak kekurangan yang ada dalam kehidupan aku. Tapi, aku akan terus belajar lebih giat lagi. Aku ingin sukses seperti kalian."

"Ya, itu bagus. Sejatinya manusia itu adalah makhluk yang harus belajar. Bukan hanya belajar materi saja tapi mereka juga harus mempelajari tentang dirinya sendiri." sahut Dr. Gita.

Aline dan Ruby mengangguk setuju.

"Hemm... pemandangan sore ini indah, ya? Andai saja kita punya waktu lebih lama untuk berlibur." Margin bergumam sambil memajukan tangan kanannya, bergerak seolah telapak tangan itu akan menyentuh langit.

Aline memperhatikan sang surya yang akan terbenam itu.  Meskipun akan tenggelam, benda langit itu tetap terlihat menyilaukan. Mata Aline menyipit, menikmati pemandangan berwarna oren kekuningan. Memandang matahari membuat Aline jadi teringat pada bulan.

Ah, bulan ...

Lagi-lagi salah satu benda langit itu mengingatkan Aline kepada sosok desainer kondang kebanggaannya. Siapa lagi kalau bukan Luna Takahashi.

Andaikan saja besok Aline bisa bertemu Luna. Ia ingin sekali berterima kasih karena Luna sudah menjadi sumber inspirasi untuk Aline.

Tapi sebelum aku bisa bertemu Luna, aku harus memikirkan tugas-tugas kampusku dulu.

Benar juga... besok akan ada fashion show.

1
Ian
kenapa tuh
Ian
Bukan peres kan??
Ian
Bikin geregetan
Ian
/Panic/
Ian
Ikut kemana??!!
Ian
Pikirannya terlalu kolot /Smug/
Ian
Tertusuk
Ian
sending a virtual hug to Aline
Ian
Jadi kepikiran buat nulis ginian juga
Aimee
Terima kasih ya, Kak Eurydice sudah baca dan kasih dukungan di karya ini. Semoga nggak bosan buat terus mengikuti kisahnya Aline. Salam hangat dari Aline. (´∩。• ᵕ •。∩`) (*^3^)/~♡
Aimee
Sayangnya author nggak bisa menggambar, kalau nyomot gambar punya orang nanti kena pelanggaran hak cipta, Kak. Bikin gambar pakai AI aja ada hak ciptanya hiks
Eurydice
suka kesel sama orang yg suka nganggap urusan orang lain tuh enteng
Aimee: Hehe, betul. Aku juga begitu sebenarnya... (╥﹏╥)
total 1 replies
Eurydice
coba ditukar posisinya
Eurydice
gk peka dih
Eurydice
mental alind yg harus diperhatikan/Scream/
Eurydice
🥺😭
Eurydice
hebat bener kebalikannya aline
Eurydice
😭
Eurydice
akhirnya tau kenapa diawal pesimisbgt
Eurydice
dulu aku jga daftar di FD cuma gak keterima
Aimee: Wah, serius, Kak?
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!