Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Restu Ibu
Aku dan Monika tiba di depan rumahku. Kami berdua turun dari motor, Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku ke dalam rumah, Monika tiba-tiba menahan lenganku. Ketika aku menoleh, aku melihat ada ketakutan di mata Monika.
"Mas, aku takut," katanya dengan suara pelan.
"Takut kenapa?" tanyaku sambil mencoba membaca ekspresinya.
"Aku takut kalau nanti ibu nggak setuju dengan hubungan kita," ucapnya penuh kecemasan.
Aku tersenyum lembut, mencoba menenangkan hatinya. "Monika, Kamu tenang aja. Aku pasti akan berjuang sekuat buat yakinkan Ibu agar setuju dengan hubungan Kita. Percaya sama Aku, semuanya pasti akan baik-baik saja."
Monika hanya mengangguk kecil, masih terlihat ragu. "Ayo masuk," ajak ku sambil menggenggam tangannya dan menggandengnya masuk untuk menguatkannya dan memberikan semangat untuknya.
Dia mengikuti ku masuk ke dalam rumah, Dengan berjalan pelan di belakangku, seolah ingin menggunakan tubuhku untuk bersembunyi. Aku mengetuk pintu yang sudah terbuka dan memanggil ibu, "Assalamualaikum, Ibu. Ibu!"
Tak lama kemudian, ibu keluar dari arah dapur dengan senyuman hangat. Tatapan ibu langsung tertuju pada Monika yang bersembunyi di belakangku.
"Oh, ada Nak Monika! Ayo masuk, duduk dulu," sapa ibu dengan ramah, menyilakan Monika duduk di ruang tamu.
"Ih, ada tamu, Nak Monika mau makan apa atau minum dulu?" tawar ibu sambil tersenyum.
"Ngga usah, Bu, nggak perlu repot-repot," jawab Monika dengan sopan.
Namun, ibu tak memperdulikan jawaban itu. Ia bergegas ke dapur dan kembali dengan beberapa toples camilan serta dua gelas teh hangat.
"Silakan dimakan, Nak Monika. Maaf, cuma ada ini," kata ibu tulus.
"Ngerepotin aja, Bu," kata Monika dengan sedikit malu.
"Ah, nggak kok. Masa ngerepotin? Ibu malah seneng kalau Nak Monika main ke sini," ujar ibu dengan nada bercanda.
Setelah suasana cukup hangat, aku menatap Monika, memberikan isyarat bahwa aku akan memulai pembicaraan penting. Monika mengangguk pelan, memberikan tanda persetujuan.
"Ibu, ada yang mau Alan bicarakan sama Ibu" kataku serius.
Ibu menatapku dengan sorot mata yang sama seriusnya. "Ada apa, Nak?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Menyiapkan keberanian untuk berbicara "Bu, aku ingin menikah dengan Monika."
Ibu terkejut. Ekspresinya berubah seketika, tapi ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang kami bergantian.
"Kalian berdua sudah yakin akan menikah?" tanya ibu akhirnya, suaranya lembut tapi tegas.
"Insyaallah, Bu. Kami sudah yakin," jawabku mantap sambil melirik Monika yang tersenyum kecil meski tampak tangan Monika tidak ada hentinya mengusap pahanya dengan kedua tangannya karena gugup.
Ibu menghela napas pelan, lalu mulai memberikan nasihat. "Menikah itu ibadah yang berat, Nak. Setelah menikah, kalian berdua akan diuji dengan berbagai macam cobaan. Pernikahan bukan hanya soal cinta kalian berdua, tapi juga soal cinta kalian kepada Allah SWT."
Aku dan Monika terdiam, menyimak setiap kata ibu dengan serius.
"Bukan Ibu mau melarang Kalian untuk menikah," lanjut ibu dengan nada khawatir, "Ibu cuma khawatir sama kuliahmu. Kalau sudah menikah, apa kamu masih bisa fokus dengan kuliah Kamu? Apa nggak berat, Nak?"
Aku menggenggam tangan ibu dengan lembut. "Bu, Ibu tidak usah mengkhawatirkan kuliah Alan, Alan janji, Alan masih akan melanjutkan kuliah Alan sampai selesai. Menikah nggak akan mengganggu tanggung jawab Alan sebagai mahasiswa."
Ibu mengangguk, meski raut wajahnya masih menyimpan kecemasan. "Tapi, menikah itu nggak cuma soal kuliah. Kamu juga harus bisa mencukupi kebutuhan Monika nantinya. Kamu sudah pikirkan itu, Nak?"
Aku menatap ibu dengan yakin. "Iya, Bu, Alan sudah pikirkan semuanya dengan sangat matang. Alan akan berusaha keras untuk mencukupi kebutuhan Monika. Alan nggak akan membiarkan Monika hidup dalam kekurangan, insyaallah. Alan akan bekerja sambil kuliah kalau perlu."
Ibu terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil. "Baiklah kalau begitu. Ibu percaya sama Kamu. Kalau Kamu memang sudah yakin, ibu nggak akan menghalang-halangi niat baik Kalian. Tapi ingat pesan Ibu, Kamu harus bertanggung jawab sama istri Kamu dan anak Kamu nanti nya."
"Iya, Bu. Alan janji."
"Kalau begitu, kapan Kamu ingin membawa ibu untuk melamar Monika ke orang tuanya?" tanya ibu sambil menatapku serius.
"Ibu setuju?" tanyaku memastikan.
"Iya, ibu merestui kalian," jawabnya.
Aku dan Monika tak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajah kami. "Secepatnya, Bu. Aku ingin melamar Monika secepatnya."
Ibu tersenyum hangat, lalu mengelus kepalaku. "Semoga Allah mudahkan jalan kalian, Nak."
"Terima kasih Bu" Aku mencium tangan Ibu, Disusul dengan Monika yang juga mengikuti tindakanku.
"Udah Kita bahas hal itu, Ibu sudah masak ayam goreng sama sambel terasi, Kita makan dulu aja yah, Nak Monika mau kan makan di sini?" tanya Ibu sambil berjalan ke dapur menyiapkan makan.
Monika menatapku seolah meminta izin dari ku. Aku hanya mengangguk setuju.
"Iya Bu, Monika mau kok makan bareng disini" kata Monika sambil menyusul Ibu ke dapur.
"Ibu ada yang perlu Monika bantu?" tanya Monika.
"Ih, ngga usah, Nak Monika tamu masa mau bantuin ibu, Nak Monika duduk aja kasian kan pasti capek habis kuliah, Biar ini jadi tugas Ibu, Ibu bisa sendiri kok".
"Monika bukan tamu, Bentar lagi Monika jadi menantu Ibu, Jadi ini juga tugas Monika buat bantuin Ibu" ucap Monika dengan tersenyum.
"Oh gitu yah, Kalo begitu tolong bantu bawain ke meja makan ya" ucap Ibu sambil memberikan sebuah piring yang penuh dengan ayam ke Monika.
Siang itu Kami makan bersama dengan penuh canda tawa. Aku menatap Monika dan Ibu yang sedang makan sambil tertawa. Mereka adalah dua wanita yang sangat Aku cinta. Aku hanya berharap bisa melihat senyuman mereka berdua setiap harinya.