Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bicara Dari Hati : Afif
Hari itu aku sengaja pergi ke perpustakaan kampus untuk mencari ketenangan. Dengan buku di tangan, aku memilih meja di sudut yang sepi, berharap bisa melupakan sejenak segala hal yang membebani pikiranku, terutama tentang Salma. Hubungan masa lalu yang kupikir sudah selesai ternyata kembali menghantuiku, dan sekarang bahkan mulai mengganggu kehidupanku yang baru bersama Monika.
Saat aku asyik membaca, suara langkah mendekat mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat wajah, dan betapa terkejutnya aku melihat Afif berdiri di depanku. Afif, dosen sekaligus suami Salma, jarang sekali berbicara denganku kecuali dalam suasana kelas. Kehadirannya di sini jelas bukan kebetulan.
“Pak Afif,” sapaku dengan sopan, mencoba menyembunyikan kegugupanku. “Ada yang bisa saya bantu?”
Dia tersenyum tipis, tapi dari raut wajahnya aku bisa melihat ada sesuatu yang berat. “Boleh kita berbicara sebentar, Alan?” tanyanya.
Aku menutup buku di depanku, memberikan perhatian penuh. “Tentu, Pak. Ada apa?”
Afif duduk di kursi di depanku, terlihat ragu sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang membuatku terhenyak. “Bagaimana perasaanmu pada Salma?”
Aku hampir menjatuhkan buku yang kupegang. Pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba dan langsung menembus ke hatiku. Dia bertanya tanpa basa-basi terlebih dahulu. Aku menatapnya, mencoba menilai apakah dia serius atau hanya menguji. Tapi wajahnya penuh kejujuran, dan aku tahu ini bukanlah lelucon belaka.
“Pak, saya...” aku menarik napas panjang, menyampaikan diri dan mencari kata-kata yang tepat. “Hubungan Saya dan Salma sudah berakhir sejak lama, Dan sekarang Saya sudah tidak memiliki perasaan apapun pada Salma.”
Afif mengangguk pelan, seolah mencerna jawabanku. “Aku berharap itu benar, Alan. Karena akhir-akhir ini Salma... dia sering menyebut namamu. Dan aku tidak tahu harus bagaimana.”
Aku merasa seperti dihantam palu. Semua ini jelas bukan sesuatu yang kuinginkan. “Pak Afif, saya mohon anda percaya sama saya, saya tidak pernah sekali pun mencoba menghubungi Salma. Saya sudah lama melupakan itu semua.”
Dia mengangguk lagi, kali ini lebih dalam. “Aku tahu. Dan aku percaya padamu. Tapi masalahnya bukan hanya di situ.”
Afif mulai menceritakan keadaan rumah tangganya dengan Salma, dan semakin dia berbicara, semakin aku merasa bersalah. Hubungan mereka ternyata sudah lama retak, terutama karena Salma menolak menerima Afif sepenuhnya sebagai suaminya. Setiap kali Afif mencoba mendekat, Salma selalu menolaknya. Dan alasan yang diberikan Salma membuat hatiku semakin hancur. Yaitu karena dia masih mencintaiku.
“Malam itu, kami bertengkar hebat,” Afif melanjutkan dengan suara berat. “Aku hanya ingin tahu kenapa dia tidak bisa memberiku kesempatan. Tapi yang dia katakan hanya... ‘Aku mencintai Alan.’ Itu menghancurkanku.”
Aku menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. Rasa bersalah menguasai diriku. “Pak, saya benar-benar tidak tahu semua ini akan terjadi. Saya... saya benar-benar minta maaf.”
Afif menatapku dengan pandangan yang tidak marah, tapi penuh dengan keikhlasan. “Ini bukan salahmu, Alan. Aku tahu kamu tidak berbuat apa-apa. Aku hanya... tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin memperbaiki semuanya, tapi Salma tidak mau.”
Kata-katanya menyakitkan untuk didengar. Aku tahu rasa cinta tidak bisa dipaksakan, tapi aku juga tahu betapa hancurnya Afif mendengar pengakuan Salma. Aku tidak bisa membayangkan berada di posisinya.
“Pak, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu?” tanyaku akhirnya, meskipun aku tidak yakin apakah ada sesuatu yang benar-benar bisa kulakukan.
Dia tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Tidak ada, Alan. Hanya saja, aku ingin kamu tahu. Jika Salma mencoba menghubungimu lagi... tolong, jangan beri dia harapan. Bantu aku untuk membuatnya melihat ke depan, bukan ke masa lalu.”
Aku mengangguk, meskipun hatiku berat. “Saya akan lakukan yang terbaik, Pak.”
Kami berbincang cukup lama, lebih dari yang aku bayangkan. Afif adalah pria yang bijaksana, dan aku bisa merasakan betapa dia benar-benar mencintai Salma, meskipun keadaan tidak berpihak padanya. Saat dia melihat jam tangannya, dia tersentak.
“Aku harus pergi. Kelas berikutnya akan dimulai,” katanya sambil berdiri.
Aku juga berdiri, mengantarnya hingga pintu perpustakaan. “Pak Afif, terima kasih sudah berbicara dengan saya. Saya benar-benar berharap semuanya bisa menjadi lebih baik untuk Anda dan Salma.”
Dia menepuk bahuku dengan lembut. “Terima kasih, Alan. Aku juga berharap yang terbaik untukmu dan Monika.”
Aku melihatnya pergi, langkahnya terlihat berat. Aku kembali ke meja dan duduk, tapi pikiran tentang pembicaraan tadi terus menghantuiku. Salma adalah masa laluku, tapi sekarang bayangannya mengancam masa depanku dengan Monika. Aku tahu aku harus mengambil langkah tegas untuk memastikan semuanya tetap terkendali.