Fakultas peternakan x Fakultas Hukum
Nyambung nggak jelas ngak Nyambung bangetkan, bau sapi sama tumpukan undang-undang, jelas tidak memiliki kesamaan sama sekali. Tapi bagaimana jika terjalin asmara di dalam perbedaan besar itu, seperti Calista Almaira dan Evan Galenio.
Si pawang sapi dan Arjuna hukum yang menjalin hubungan dengan dasar rasa tanggung jawab karena Evan adalah pelaku tabrak lari kucing kesayangan Calista.
Kamu sudah melakukan tindak kejahatan dan masih bertanya kenapa?" Calista sedikit memiringkan kepala menatap Evan dengan tidak percaya, laki-laki yang memakai kaos putih itu pun semakin bingung.
"Nggak usah ngomong macen-macem cuma buat narik perhatian gue, basi tau nggak!" Hardik Evan emosi.
"Buat apa narik perhatian pembunuhan kayak kamu!"
Beneran kamu bakal ngelakuin apapun?" Tanya Calista yang gamang dan ragu dengan ucapan Evan.
Evan mengangguk pasti.
"Hidupin joni lagi bisa?"
"Jangan gila Lu, gue bukan Tuhan!" sarkas Evan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikmati peran
Langit sore perlahan berubah gelap, dihiasi bintang-bintang kecil yang mulai bermunculan. Di atas motor, Calista duduk diam di belakang Evan, memeluknya dengan ragu saat angin dingin mulai terasa menusuk.
"Pegangan aja, Ca. Gue nggak bakal jatuhin lo," celetuk Evan dengan nada santai, meski ada senyum kecil yang terselip di wajahnya.
Calista menghela napas, akhirnya mempererat pelukan di pinggang Evan. “Kalo aku jatuh, Epan tanggung jawab ya,” gumamnya pelan.
Hari ini Evan tidak langsung mebawa Calista pulang. entah kenama pria tampan ini akan membawanya, Calista sudah menolak ajakan Evan, Calista harus segera pulang. Banyak pekerjaan yang menumpuk yang menunggunya pulang, dia harus bekerja. Tapi tentu dia tidak memberi tahu Evan jka dia bekerja, tidak perlu juga rasanya.Toh, mereka cuma pacaran sesaat saja. calista hanya berlasan harus segera mengerjakan tugas, dan tentu saja Evan menolaknya mentah-mentah. Sekarang Calista hanya bisa pasrah kemana kuda besi hitam dan pengemudinya ini membawa dirinya.
“Masa gue biarin lo jatuh? Gue segitu jahatnya?” balas Evan, matanya fokus ke jalan. Tapi, ada kehangatan dalam suaranya, sesuatu yang membuat Calista tak bisa menahan senyum kecil.
Entah kenapa Evan terus menyunggingkan senyum di bibirnya, mungkin karena ini pertama kali tangan kecil itu melingkar di pinggangnya.
Mereka berhenti di sebuah taman kecil yang dihiasi lampu-lampu temaram. setelah Evan memarkirkan motornya mereka pun berjalan kearah bangku kosong. Calista mengedarkan pandangan, taman yang cukup ramai dengan pemuda-pemudi seperti mereka dengan aktifitas mereka masing-masing.
"Tunggu gue di sini, jangan kemana-mana." Evan berlari menjauh tanpa menunggu jawaban dari Calista.
Tak lama Evan kembali dengan dua cone es krim dan menyerahkan satu pada Calista.
Calista melirik Evan sambil mengerutkan dahi.
“Vanilla? Aku lebih suka stroberi,” ujar calista dengan bahu jatuh kecewa.
Evan tersenyum tipis, menggigit es krim cokelatnya. “Coba aja dulu. Kadang nggak semua berjalan sesuai keinginan kita, tapi akan tetap enak kalau kita bisa menikmatinya."
Calista diam, matanya menatap Evan yang berdiri di hadapannya, terlihat santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Sekilas, ia merasa suasana berubah lebih tenang—entah karena Evan atau karena es krim vanilla itu.
Evan tersenyum tipis saat tangan Calista terulur menerima es krim darinya. Ia pun duduk di samping sang pacar sambil menikmati dinginnya es krim vanila itu bersama.
Setelahnya, mereka berjalan pelan di sepanjang jalan taman, menikmati musik jalanan yang dimainkan oleh sekelompok anak muda. Gitar akustik dan suara penyanyinya melantunkan lagu cinta yang lembut, membuat atmosfer terasa lebih syahdu.
“Epan,” panggil Calista pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh musik.
“Hm?” jawab Evan, menoleh sedikit.
“Thanks, ya.”
Evan berhenti, menatap Calista. “Untuk?”
“Udah ngajak aku ke sini. Udah bikin aku ngerasa lebih baik,” jawab Calista sambil menunduk, memainkan ujung jaket Evan, jaket yang laki-laki itu kenakan padanya saat mereka masih di kampus tadi.
Evan menghela napas pelan, lalu mengangkat tangan, mengacak rambut Calista dengan lembut. “Gue cuma nggak mau lo terlalu keras sama diri Lu sendiri,Ca.”
Kalimat itu membuat Calista terdiam. Wajahnya memerah sedikit, tapi ia segera mengalihkan perhatian dengan menunjuk musisi jalanan.
“Eh, lagunya bagus ya. Dengerin, Van!”
Evan tersenyum kecil, membiarkan Calista pura-pura mengabaikan momen barusan. Tapi dalam hati, ia lega. Setidaknya untuk malam ini, Calista terlihat lebih ringan. Itu sudah cukup untuknya. Setelah puas menikmati malam di taman remaja, Evan pun mengantarkan Calista pulang. Dan seperti biasa, Calista meminta turun di pinggir POM bensin.
Di apartemen Evan sepulang dia jalan bersam Calista, Bobby dan Rian lagi-lagi nongkrong santai sambil menikmati keripik kentang dan kebab yang menjadi jajanan wajib saat mereka berkumpul. Evan duduk di kursi, sibuk mengetik tugas, tapi ia tahu dari caranya kedua sahabatnya bisik-bisik sambil senyum-senyum, pasti ada sesuatu yang bakal mereka bahas.
“Van, gue masih nggak habis pikir, Lu bisa pacaran beneran sama Calista. Maksud gue Lu bener-bener kagak orang pacaran yang normal gitu,” buka Bobby tiba-tiba, melirik Rian sambil cengengesan.
“Maksud Lu gue sama Caca pacaran nggak normal?” jawab Evan tanpa menoleh, matanya tetap fokus ke layar laptop.
Rian langsung nimbrung, “Lu itu, bro, pacaran sama Calista kan gara-gara Lu nggak sengaja nabrak kucing kampung itu kan, ya jelas nggak normal lah. Tapi gue lihat hubungan kalian tuh mulus gitu, kayak orang beneran pacaran."
Evan mendesah, menghentikan jarinya yang menari di keyboard. Ia menoleh dengan tatapan datar.
“Itu kucing kesayangan dia, oke? Gue cuma berusaha ngejalanin tanggung jawab gue dengan baik. Apa salahnya gue bersikap baik sama Caca, itu juga sebagai cara gue nebus dosa.”
“Tapi tetep aja, Van. Dari sekian banyak alasan buat pacaran, Lu milih yang paling absurd, dan gue rasa juga berlebihan banget sih kalau sampai tang jawab segitunya, atau jangan-jangan Lu emang suka sama cewek bawel itu.” Bobby ngakak sambil melempar keripik ke mulutnya.
"Yang di tabrak kucingnya, yang di sayang yang punya gitu kah. Halah-halah kalah ini mah drama FTV langganan emak gue, hahahaha," imbuh Bobby tertawa lepas.
Rian mengangguk sambil menahan tawa.
“Tapi gue lihat kayaknya Lu menikmati peran Lu, ya?Tiap hari kalian pulang pergi ke kampus bareng, bahkan saat nggak ada kelas Lu juga bela-belain nganterin Calista, Lu juga makan bareng. Jangan-jangan Lu uda ada rasa selain rasa tanggung jawab, Van?”
Evan menghela napas panjang, menyandar kepalanya di kursi dengan bertumpu pada lengannya.
“Lu berdua tau apa? Gue cuma nggak mau dia ngerasa sendirian. Dia kehilangan kucing kesayangannya gara-gara gue. Gue... ya cuma mau tanggung jawab. Nggak ada yang salah dengan nge-treat dia dengan baik selama gue jadi pacar dia, gue lagi nebus dosa gue,"
“Eh, tanggung jawabnya kok level dewa, ya?” goda Bobby.
“Gue rasa Lu nggak cuma nebus dosa tapi Lu emang suka dia, gue rasa kalian cocok, kenapa nggak sekalian jadi pacar beneran. Nanggung banget," imbuhnya lagi.
“Van, jujur aja. Sekarang lo nggak cuma mikirin tanggung jawab, kan?” tanya Rian, kali ini dengan nada lebih serius meski matanya tetap menyiratkan tawa.
Evan terdiam sesaat. Ia ingin membalas, tapi kata-kata mereka berdua entah kenapa menusuk di tempat yang tepat. Tanpa sadar, ia memikirkan Calista—senyum kecilnya saat ingatannya tiba-tiba muncul wajah manis Calista saat menikmati es krim, tatapannya yang berusaha terlihat tegar meski lelah. Evan hanya menggeleng pelan dengan senyum kecil.
Rian dan Bobby saling pandang, lalu tertawa lagi.
“Halah-halah si Bro ini denial rupanya,” ledek Bobby.
“Kita tunggu aja Bob. Sebentar lagi, bukan karena kucing lagi, tapi karena hati,” sambung Rian sambil menyeringai.
"Hahaha .... kita tunggu aja Tuan denial ini sadar," sahut Bobby, keduanya pun tertawa puas menyindir Evan.
Evan mendengus, mencoba kembali fokus pada tugasnya, meski dalam hatinya, ia tahu mereka nggak sepenuhnya salah.
Tentu saja, Evan belum mau mengakui kalau semua itu bukan cuma soal tanggung jawab. Setiap kali Bobby atau Rian meledek, ia selalu punya jawaban defensif.
“Gue cuma nggak enak, dia jadi korban kesialan gue.”
Padahal, semakin sering ia bersama Calista, semakin banyak sisi gadis itu yang membuat dia penasaran. Keberaniannya bicara apa adanya, cara dia peduli meski sering bawel, bahkan bagaimana dia tetap bisa bercanda meski dia sendiri lelah atau sedih.
Malam semakin larut, Bobby dan Rian menginap di apartemen Evan. Mereka berdua malas pulang padahal apartemen mereka ada di sebelah Evan, hanya berjarak 1 unit saja.
Malam yang hening Evan mencoba fokus baca buku, sedikit tambahan untuk persiapan praktikum besok. Tapi pikirannya terus melayang ke momen-momen kecil bareng Calista. Suara tawanya, caranya merengek saat ingin sesuatu, bagaimana gadis itu excited saat melihat kucing jalanan atau bahkan ekspresinya saat ngebahas tugas Fapet yang menurut Evan absurd.
Dia mendesah, menutup bukunya dengan kesal.
“Kenapa gue jadi mikirin dia terus?” gumamnya pelan.
Tapi jauh di dalam hatinya. Ia merasa ini bukan lagi soal tanggung jawab, bukan soal insiden kucing. Perlahan tapi pasti, Calista sudah jadi bagian penting dalam hidupnya. Bahkan mungkin, tanpa dia sadari, Evan mulai jatuh hati, mungkin.
lalu paman nya Calista mna knpa gk ada yg belain Calista
kasian km cal Malang sekali nasib km udah mah kurang tidur blum LG harus kuliah semoga km sehat selalu ya cal
kan jadinya kehilangan jejaknya Caca
fix sih Evan sama Calista gaakan cuma hubungan sementara 2bulan tapi lanjooot terus wkwk