Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesadaran Yang Terlambat
📍Pagi yang Hampa di Apartemen Arvin
Arvin duduk di sofa dengan tatapan kosong. Kemejanya berantakan, rambutnya kusut, dan wajahnya tampak pucat. Sejak seminggu lalu, apartemen yang ia tinggali bersama Melia terasa seperti kuburan. Semua sudut ruangan mengingatkan Arvin akan keberadaan Melia. Sisa-sisa kehidupannya masih ada di sana, mug favorit Melia, selimut lembutnya di sofa, dan aroma parfumnya yang samar-samar masih tercium.
Arvin menatap ponselnya yang masih diam. Ia sudah berkali-kali mencoba menelepon Melia, tetapi nomor itu selalu tidak aktif. WhatsApp-nya pun hanya centang satu. Arvin mulai merasa gelisah, ada sesuatu yang ia takutkan, tetapi ia berusaha menepisnya.
“Dia pasti cuma lagi ngambek,” gumam Arvin, mencoba meyakinkan diri sendiri. “Nanti juga balik.”
Namun, jauh di dalam hati, ia tahu ada yang tidak beres. Melia adalah wanita yang tegar, tetapi ketika hatinya benar-benar terluka, ia bisa pergi tanpa menoleh ke belakang. Arvin memegang kepalanya dengan kedua tangan, merasa sesak oleh pikirannya sendiri.
Sementara itu, Keyla datang ke kantor dengan senyum manis seperti biasa. Ia membawa secangkir kopi untuk Arvin dan masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu.
“Pagi, Pak Arvin. Saya bawakan kopi favorit Bapak.”
Arvin, yang masih tenggelam dalam pikirannya, hanya melirik sekilas dan bergumam, “Taruh aja di meja.”
Keyla terkejut. Biasanya, Arvin akan tersenyum atau setidaknya merespons lebih baik. Tapi kali ini, wajahnya dingin dan tidak peduli. Keyla mendekat, berusaha tetap ramah.
“Pak, Bapak kenapa? Kelihatan nggak enak badan.”
Arvin menatapnya tajam. “Kamu tahu di mana Melia sekarang?”
Keyla terdiam sejenak, tetapi dengan cepat memasang wajah polos. “Bapak belum ketemu dia?”
“Dia pergi. Barang-barangnya nggak ada,” ucap Arvin dengan suara berat.
Arvin menyipitkan mata, mencurigai sikap Keyla yang sedikit terlalu tenang. Namun, ia memilih untuk tidak membahasnya.
Siang itu, Arvin memutuskan untuk mencari tahu keberadaan Melia. Ia mulai dengan menelepon beberapa teman dekat Melia, termasuk Laura. Namun, Laura, yang sudah tahu apa yang terjadi, sengaja menghindari memberitahu Arvin.
“Laura, tolong bilang ke aku. Melia di mana?” tanya Arvin dengan suara memohon.
Laura menarik napas panjang di ujung telepon. “Arvin, kamu sadar nggak apa yang sudah kamu lakukan sama Melia? Kamu udah nyakitin dia berkali-kali, dan sekarang kamu malah nyari dia? Kenapa, Arvin? Baru sadar kalau dia berharganya?”
Arvin terdiam. Kata-kata Laura bagai tamparan keras baginya. “Aku... aku cuma mau bicara sama dia. Aku mau minta maaf.”
“Kalau kamu benar-benar menyesal, biarkan dia tenang. Dia sudah cukup menderita,” ucap Laura sebelum mematikan telepon.
Arvin menatap ponselnya dengan perasaan kacau. Kali ini, ia benar-benar merasa hampa. Ia menyadari betapa ia telah mengabaikan Melia selama ini. Semua momen ketika Melia mencoba bicara padanya, semua hari di mana ia merasa kecewa dan tersakiti, kini terputar jelas di kepala Arvin.
Sore harinya, Arvin kembali ke apartemen lama mereka. Begitu ia membuka pintu, ia disambut oleh keheningan yang mencekam. Sudut-sudut ruangan itu masih tampak sama, tetapi terasa kosong. Arvin berjalan ke kamar mereka dan melihat lemari pakaian Melia yang kini hanya berisi sebagian kecil barangnya—yang mungkin sengaja ditinggalkan.
Arvin duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke arah lantai. Ia menarik nafas panjang dan tanpa sadar, air matanya menetes.
“Melia... di mana kamu?” bisiknya pelan.
Dalam hati, Arvin merasa bersalah. Selama ini, ia selalu merasa Melia akan tetap berada di sisinya, apa pun yang terjadi. Namun sekarang, kenyataan bahwa Melia pergi membuatnya sadar bahwa cintanya tidak boleh dianggap remeh.
Sementara itu, di kota B, Melia duduk di taman belakang rumah orang tuanya bersama Gabriel. Gabriel membawa dua gelas teh hangat dan duduk di sampingnya.
“Kamu kelihatan lebih tenang sekarang,” ucap Gabriel sambil menyerahkan teh kepada Melia.
Melia tersenyum tipis. “Entahlah. Rasanya seperti... aneh. Aku sudah meninggalkan semua yang kubangun selama lima tahun terakhir.”
Gabriel menatapnya dengan penuh pengertian. “Tidak ada yang salah dengan melepaskan sesuatu yang menyakitimu, Melia. Kamu pantas mendapatkan lebih dari sekadar pengabaian.”
Melia menatap Gabriel, hatinya terasa lebih ringan mendengar kata-kata itu. Pria ini selalu tahu apa yang harus dikatakan. Ia melihat Gabriel sebagai sosok yang dewasa dan bisa diandalkan, sesuatu yang jarang ia rasakan dalam hubungannya dengan Arvin.
“Terima kasih, Gabriel. Kamu selalu ada di sini, meski aku tahu aku masih berantakan.”
Gabriel tersenyum lembut. “Kamu nggak berantakan, Melia. Kamu cuma butuh waktu untuk sembuh. Dan aku akan ada di sini untuk menemanimu, apa pun yang terjadi.”
Arvin di Titik Terendahnya
Malam itu, Arvin duduk di balkon apartemen sambil memandangi lampu-lampu kota N. Rokok di tangannya sudah habis setengah, tetapi pikirannya masih berkecamuk. Kenangan bersama Melia terus menghantuinya, tawa Melia, sikap penyayangnya, bahkan setiap kali Melia menyebut namanya dengan lembut.
Arvin merasa seperti pecundang. Ia telah kehilangan wanita yang selama ini selalu ada untuknya. Dan lebih buruknya lagi, ia tahu ini salahnya sendiri. Ia membiarkan Keyla masuk ke kehidupannya dan merusak hubungan yang seharusnya ia jaga.
Dengan panik, Arvin mencoba menelepon orang tua Melia. Namun, panggilannya tidak diangkat. Sekarang ia merasa semakin putus asa.
Di tempat lain, Keyla merasa ada sesuatu yang tidak beres. Arvin mulai menjauh darinya dan terlihat lebih banyak termenung. Ia menyadari bahwa ini semua karena Melia.
“Jangan-jangan dia beneran ninggalin Arvin?” gumam Keyla sambil menggigit bibirnya. Ia tak bisa membiarkan Arvin kembali kepada Melia, meski Melia sudah pergi. Bagi Keyla, Arvin adalah tiket menuju kehidupan nyaman yang selama ini ia idamkan.
Dengan liciknya, Keyla mulai memutar otak untuk mencari cara agar Arvin tetap berada di bawah kendalinya. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa berpura-pura manis dan seolah peduli pada Arvin.
Di penghujung malam, Arvin berjalan tanpa arah di tengah kota. Hujan rintik-rintik membasahi rambut dan pakaiannya. Namun, ia tidak peduli. Semua yang ada di pikirannya hanya Melia, wanita yang telah ia sia-siakan selama ini.
Dengan mata yang memerah, Arvin bergumam lirih, “Melia... maafkan aku. Aku akan menemukanmu.”
Langkahnya semakin lambat, sementara hujan turun lebih deras. Di dalam hatinya, Arvin berjanji untuk memperbaiki kesalahannya, meski ia belum tahu bagaimana caranya.
Namun, jauh di kota B, Melia sudah mulai menata ulang hidupnya bersama Gabriel. Tanpa Arvin sadari, waktu mungkin sudah terlalu terlambat baginya.
To be continued...