realita kehidupan seorang gadis yang dari kecil cacat akan kasih sayang yang sebenarnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penolakan!!
Aluna mengangkat wajahnya dan menatap kakaknya. Ada secercah kelembutan dalam pandangannya yang mungkin hanya sekilas tampak, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa Yuri berhasil meraih perhatian gadis itu. "Hm... Kalau begitu, aku akan ikut," jawabnya pelan, mencoba untuk bersikap santai.
Yuri tersenyum lega. Dia tahu betul betapa keras kepala Aluna, jadi mendapatkan respon semacam itu adalah langkah kecil menuju pemulihan bagi adiknya. Dengan nada yang lebih ringan, Yuri berdiri dan berkata, "Kalau begitu, aku akan kabari Elvanzo."
Aluna hanya mengangguk ringan, tanpa banyak berkata-kata, tetapi untuk beberapa detik, dia merasa seolah ada ketenangan yang masuk ke dalam dirinya. Setidaknya ada sedikit hal yang bisa diandalkan dalam kekalutan hatinya.
Yuri kemudian keluar dari ruangannya, mengambil ponselnya, dan mulai mengirim pesan kepada Elvanzo untuk mengabarkan rencana makan siang mereka.
Sementara itu, Aluna kembali ke pekerjaannya dengan wajah datar yang khas, tetapi entah mengapa, jauh di dalam hatinya, ada rasa lega yang perlahan muncul. Mungkin ia memang tidak bisa lari dari semuanya, tapi sekecil apapun momen kebersamaan yang bisa ia dapat, ia tahu itu sangat berarti baginya.
...~||~...
Jam istirahat akhirnya tiba. Aluna, Yuri, Elvanzo, dan Alendrox pergi bersama menuju tempat makan di dekat danau yang terkenal dengan suasananya yang sejuk dan pemandangannya yang menenangkan. Tempat itu selalu menjadi pilihan mereka untuk melepaskan penat, dan hari itu tampaknya tak berbeda. Tapi kali ini, ada ketegangan yang sangat terasa di udara antara Aluna dan Elvanzo.
Mereka memilih meja di luar, tepat di pinggir danau, dengan angin yang sepoi-sepoi menambah kesegaran suasana. Suara dedaunan yang bergesekan dengan lembut menambah keindahan pemandangan. Yuri dan Alendrox duduk dengan santai di sisi meja, seolah ingin menikmati waktu santai setelah berhari-hari sibuk bekerja. Namun, yang paling menonjol adalah keheningan yang menggelayuti antara Aluna dan Elvanzo.
Aluna berusaha untuk bersikap biasa, tetap tenang dan ramah seperti biasa, namun sikapnya tetap menjaga jarak. Ia sangat fokus memandang danau, seolah sangat tertarik dengan refleksi air yang memantulkan cahaya matahari. Sesekali ia tersenyum ringan saat Yuri dan Alendrox bercakap-cakap, tetapi matanya tetap terfokus pada air, menghindari kontak langsung dengan Elvanzo.
Elvanzo, yang duduk di sampingnya, menyadari betul bahwa gadis itu seolah membangun tembok besar di antara mereka. Tembok yang bahkan lebih terlihat sekarang dibanding sebelumnya. Sejak kejadian beberapa hari lalu, meskipun ada sedikit kemajuan di antara mereka, Aluna kembali dengan keras memisahkan dirinya dari Elvanzo, seolah memulai semuanya dari awal lagi.
Elvanzo mencoba beberapa kali untuk membuka percakapan, namun selalu mendapatkan jawaban yang singkat dan datar dari Aluna. Setiap kali ia mulai berbicara, Aluna dengan cepat mengalihkan pembicaraan, melibatkan Yuri dan Alendrox dalam percakapan yang lebih banyak. Seolah ia ingin menghindar darinya, enggan memberi ruang untuk pembicaraan lebih lanjut antara mereka berdua.
"Aluna, kau belum mencicipi hidangan ini, coba deh," ujar Yuri, sambil memindahkan piring kecil berisi makanan khas setempat ke arah adiknya.
"Ah, baiklah," jawab Aluna tanpa ada rasa antusiasme, namun ia menyuap makanannya, tetap menjaga jarak antara dirinya dan Elvanzo yang duduk dekat.
Sementara itu, Elvanzo hanya bisa menatapnya, terkadang berusaha mencerna perasaannya yang kini dipenuhi oleh kebingungannya sendiri. Ada rasa kecewa yang hadir dalam hatinya karena dia merasa seperti seorang asing di depan Aluna—seseorang yang pernah begitu dekat, namun sekarang merasa begitu jauh. Rasa keterasingan itu benar-benar menusuk hatinya lebih dalam dari yang dia kira.
Yuri dan Alendrox, yang memperhatikan situasi ini, hanya bisa saling pandang sejenak, merasakan ketegangan yang tak terucapkan di antara keduanya. Mereka berdua sudah cukup lama mengenal Aluna dan Elvanzo, dan tahu persis apa yang sedang terjadi.
"Aluna, bagaimana kampusmu? Apakah ada yang baru yang menarik di sana?" tanya Alendrox dengan senyum ramah, berusaha memecahkan kebisuan itu.
Aluna, yang merasa tak nyaman dengan pertanyaan itu karena perasaan yang ia pendam, hanya menjawab dengan suara yang terdengar sangat datar, "Tidak ada yang baru, kak."
Suasana semakin kaku, dan Elvanzo merasa seperti terabaikan begitu saja. Ia tidak tahu apakah ia harus terus mencoba, ataukah lebih baik memberi Aluna ruang, meskipun ia merasa sangat ingin berbicara dengan gadis itu tentang banyak hal yang mengganjal di hatinya.
Ketika makan selesai dan mereka semua berdiri untuk meninggalkan meja, Aluna sepertinya kembali tertutup lebih dalam dari sebelumnya. Elvanzo ingin menepuk pundaknya, atau sekedar mengajak berbicara, tetapi entah mengapa dia merasa berat. Gadis itu tidak memberi sinyal apapun untuk membuka percakapan lebih jauh. Keputusan Elvanzo untuk tetap diam, meskipun tidak ingin begitu, akhirnya membuatnya merasa terputus dari hubungan yang pernah terasa begitu dekat.
Yuri dan Alendrox memimpin perjalanan kembali ke klinik dengan obrolan ringan, sementara Elvanzo dan Aluna berada di belakang, dalam keheningan yang semakin mengental. Sinar matahari sore yang semakin redup seolah mencerminkan suasana hati Elvanzo—hampa dan tak berdaya, dengan rasa bersalah dan kebingungannya yang semakin mengganggu.Hari-hari berlalu dengan suasana yang semakin kaku. Aluna, yang sebelumnya sedikit terbuka terhadap Elvanzo, kini sangat menjaga jarak. Ia bersikap dingin dan terkadang menjawab dengan singkat setiap kali Elvanzo mencoba membuka percakapan. Keadaan itu membuat Elvanzo semakin bingung dan bertanya-tanya apa yang salah, apa yang ia perbuat untuk membuat Aluna berubah begitu drastis.
Ia duduk sendiri di ruang istirahat, memandangi jam yang bergerak perlahan. Keinginan untuk memahami Aluna, untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi, membuatnya merasakan kegelisahan yang semakin dalam. Ia merasa seperti berada di ujung hubungan yang rapuh, di mana hal-hal yang selama ini terasa dekat kini terasa begitu jauh.
"Apakah ini semua salahku?" gumamnya pelan, pikirannya bergelayut pada berbagai kemungkinan. Tiba-tiba, ia merasa ada kebutuhan mendesak untuk berbicara langsung dengan Aluna, untuk mendengar penjelasannya. Ia memutuskan untuk mengajaknya ke taman, di mana suasana lebih tenang dan mereka bisa lebih bebas berbicara tanpa gangguan.
Namun, saat ia mendekati meja Aluna di klinik, menawarkan ajakan untuk berjalan ke taman, gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku tidak mau," jawabnya singkat, suara itu penuh kekakuan yang sudah sering terdengar akhir-akhir ini.
Elvanzo terdiam, terkejut oleh penolakan langsung itu. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya memandangi Aluna yang sedang sibuk menatapi layar ponselnya, seolah enggan memberikan perhatian apapun kepadanya.
"Kenapa?" tanya Elvanzo, suara hampir terdengar putus asa. "Aku hanya ingin kita bicara, Aluna. Tentang apa yang terjadi."
Namun Aluna menghela napas pelan, lalu meletakkan ponselnya. Matanya bertemu dengan mata Elvanzo, tapi bukan dengan rasa yang biasanya ada di antara mereka. Aluna keluar, meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Beberapa detik kemudian, Elvanzo mendengar suara mobil berhenti di luar, dan Aluna memasuki mobil yang disiapkan oleh Yuri untuknya, tanpa sepatah kata pun.
Elvanzo berdiri terpaku, melihat mobil itu pergi dengan cepat. Perasaan hampa mulai mengisi dirinya, lebih dari sebelumnya. Dia tahu, ada sesuatu yang besar yang disembunyikan Aluna. Sesuatu yang lebih dalam daripada yang ia duga sebelumnya. Tetapi bagaimana caranya untuk memecahkan dinding itu jika gadis itu enggan memberi ruang untuk mereka berbicara?
Dengan langkah berat, Elvanzo kembali ke ruangannya. Sementara itu, pikiran-pikirannya berputar-putar, mengingat momen-momen di mana Aluna begitu dekat dengannya—dan bagaimana sekarang semuanya terasa seolah hilang begitu saja. Apa yang membuatnya berubah? Kenapa sikap dingin ini begitu menyakitkan?
Tapi di satu sisi, Elvanzo menyadari satu hal: dia harus sabar. Tidak semua yang terjadi dapat dipahami begitu saja. Seperti biasanya, Aluna menyembunyikan luka dalam diam, dan hanya waktu yang bisa mengungkap apa yang sebenarnya tersimpan di dalam hatinya.
Tapi dengan rasa penasaran yang semakin tumbuh, Elvanzo merasa bahwa apapun itu, dia takkan berhenti untuk mencari tahu apa yang terjadi—terutama karena perasaannya semakin dalam terhadap gadis itu.