Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Belas
Akhir-akhir ini, Karin sering menghabiskan waktu dengan Beni. Mereka bekerja di ruangan yang sama dan Beni tak ragu untuk membantunya. Tindakan itu membuat Karin merasa sedikit bersalah, terutama karena dia tahu Beni selalu berusaha keras.
Hubungan antara Raka dan Karin tetap dingin. Karin bersikap acuh tak acuh, apalagi Raka jarang kembali ke vila. Di dalam hatinya, Karin meyakinkan diri bahwa Raka pasti sudah punya wanita lain atau lebih memilih istri pertamanya.
Saat ini, Karin dan Beni tengah membersihkan ruangan yang cukup luas. Mereka membutuhkan kerja sama agar semua dapat selesai dengan cepat.
“Biarkan aku yang bersihkan kamar mandi,” kata Beni saat Karin hendak masuk ke dalam.
“Ah, tidak perlu. Aku bisa melakukannya. Kau pasti lelah selalu mengerjakan semua,” jawab Karin, merasa bersalah karena Beni sering membersihkan kamar mandi sendirian.
“Aku suka melakukan ini. Selama aku bisa bersamamu, semua terasa ringan,” sahut Beni dengan nada sedikit canggung, menyentuh rambutnya sendiri karena merasa kata-katanya terdengar aneh.
“Oh, benar?” tanya Karin sambil tertawa kecil, merasa suasana mulai ceria.
Saat mereka mengerjakan tugas, canda tawa pun mulai menghiasi ruangan. Namun, tanpa disadari, Raka mendengar suara tawa mereka dari balik pintu yang terbuka sedikit. Ia merasa penasaran dan mengintip ke dalam. Betapa terkejutnya dia saat melihat Karin dan Beni berkejar-kejaran sambil bermain air. Karin tampak sangat bahagia, seolah beban di pundaknya menghilang.
“Kenapa kamu hanya bersikap begitu pada orang lain? Kenapa kamu sangat membenciku?” gumam Raka, menggenggam jarinya dengan kesal.
Ia pun mendengar rencana Karin dan Beni untuk menonton film malam ini. Padahal, kemarin Raka sudah mengajaknya makan malam, tapi Karin menolak. Dengan napas yang dalam, Raka meninggalkan tempat itu, takut jika keduanya memergokinya.
---
Beni dan Karin tiba di bioskop untuk membeli tiket. Sayangnya, rencana Jean harus berantakan karena tiba-tiba ia tidak bisa ikut akibat sakit perut. Karin pun terpaksa membuang tiket yang seharusnya untuk Jean ke lantai.
“Apakah kamu ingin sesuatu?” tanya Beni saat mereka memasuki ruangan.
“Hmm, aku hanya ingin minuman dan makanan ringan,” jawab Karin. Rasanya aneh menonton film tanpa camilan.
“Baiklah, tunggu di sini sebentar! Aku akan segera kembali.” Beni segera melesat ke kerumunan, meninggalkan Karin sendiri.
Karin duduk di bangku panjang, terus memeriksa jam tangannya. Setengah jam berlalu, tetapi Beni belum juga kembali. Film sebentar lagi akan dimulai.
“Kenapa dia lama sekali?” gumam Karin sambil mondar-mandir, menggigit bibir bawahnya.
Lima menit lagi film akan dimulai. Karin merasa ragu untuk mencari Beni, khawatir dia masih mengantre. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk dan menunggu di dalam. Lagipula, mereka sudah memiliki tiket.
Di dalam ruangan yang masih terang, Karin melihat sekeliling. Hampir semua orang duduk berpasangan, membuatnya merasa sedikit kesepian. Seharusnya mereka menonton film romantis, tetapi film horor yang mereka pilih ternyata diputar lebih awal.
Karin menonton film horor.
Sudah sepuluh menit film dimulai, tetapi Beni belum juga muncul. Karin mulai merasa tidak fokus. Ia terus memikirkan keberadaan Beni, sementara ketakutan menyelip ke dalam pikirannya saat menonton beberapa skenario horor. Ia duduk di tengah bangku kosong, yang semakin membuatnya cemas.
Tangan Karin menutupi wajahnya, melihat dari celah jarinya yang sedikit terbuka karena takut. Ketika tangannya bersentuhan dengan sesuatu yang dingin, ia meloncat kaget, meraih dadanya yang berdebar kencang. Dengan hati-hati, ia menoleh dan terkejut melihat seorang pria duduk di sampingnya.
“Raka?” ucap Karin, mengenali wajahnya meski Raka mengenakan kacamata dan topi untuk menyembunyikan diri.
Raka membuka kacamata dan topi yang dikenakannya satu per satu.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Karin, suaranya sedikit meninggi.
Suara gadis itu menarik perhatian penonton di sekitarnya, yang langsung menoleh ke arah mereka.
Karin hanya bisa tersenyum sambil meminta maaf dengan melambaikan tangannya.
“Kenapa kamu di sini? Bukankah lelaki tua seperti kamu tidak suka nonton film?” sindir Karin, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
“Aku tidak ingin kamu menonton sendirian,” jawab Raka dengan santai, menumpangkan satu kaki di atas kaki lainnya.
“Aku pergi dengan Beni, jadi kamu tidak perlu khawatir,” kata Karin sambil memutar matanya, berusaha bersikap dingin.
“Dia tidak akan kembali karena aku menyuruhnya pulang,” Raka menjawab santai sambil menikmati popcorn yang diambilnya dari kantong.
“Dasar kau menyebalkan!” Karin memukul lengan Raka dengan keras, tidak suka dengan kenyataan itu.
“Bisakah kau diam?” protes seorang pemuda yang duduk di sebelah Raka.
“Maaf,” kata Karin dengan cepat, kembali duduk seperti semula.
Meskipun keberadaan Raka di sampingnya tak terduga, Karin mencoba untuk fokus menonton film. Dia menutup diri dari Raka, berharap bisa merasakan sensasi menonton yang lebih tenang.
Para penonton berteriak hampir bersamaan saat sosok-sosok menyeramkan muncul di layar. Tanpa sadar, Karin mencengkeram pergelangan tangan Raka, meremasnya saat dia benar-benar takut. Terkadang, dia juga menggunakan tangan Raka untuk menutupi wajahnya.
“Kalau takut, kenapa harus nonton?” bisik Raka di telinga Karin.
“Pergi! Tidak ada yang menyuruhmu tinggal di sini!” Karin menoleh dan dengan kasar melepaskan tangan Raka.
Raka hanya tersenyum melihat tingkah Karin. Begitulah cara remaja zaman sekarang menghabiskan Sabtu malam—berbondong-bondong ke bioskop.
Setelah hampir dua jam menonton, film akhirnya berakhir. Lampu menyala kembali, dan penonton satu per satu mulai pergi. Karin mengerutkan kening melihat sepasang kekasih yang berpegangan tangan.
Andai saja orang di sampingnya adalah Beni, pasti suasananya lebih seru. Dihantui rasa kesal, Karin melirik Raka.
Beberapa pasangan memperhatikan mereka, berbisik-bisik satu sama lain sambil sesekali melirik ke arah Karin dan Raka.
“Lihat gadis itu! Dia nonton film horor tapi ditemani kakaknya,” bisik seorang wanita berpakaian merah kepada rekannya, sambil menunjuk Karin.
“Dia pasti tidak diizinkan keluar, jadi saudaranya mengikutinya,” jawab rekannya sambil tertawa.
“Wajahnya cemberut, jelas-jelas tidak suka diikuti oleh kakaknya,” komentar wanita lainnya.
“Meski begitu, lelaki di sampingnya tampan juga, terlihat lebih dewasa,” celetuk seorang wanita, memuji penampilan Raka.
“Bisa jadi pria itu sudah beristri dan gadis itu simpanannya. Pelakor, lebih tepatnya.” kata dua wanita yang seusia dengan Karin, membuat mereka tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Karin menggenggam erat jemarinya, emosi dalam dirinya seperti gelembung yang siap meledak. Keinginannya untuk melabrak kedua wanita yang menuduhnya semakin membara.
Raka, yang duduk tak jauh, merasakan ketegangan yang menyelimuti Karin. Saat Karin mulai melangkah ke arah mereka, ia segera memegang pergelangan tangannya, berusaha menahannya.
“Lepaskan aku!” teriak Karin, berusaha meronta dari cengkeraman Raka.
“Dengarkan aku, Karin. Jangan pedulikan omongan mereka,” Raka mencoba menenangkan, suaranya lembut namun tegas. Ia tahu betapa marahnya Karin saat ini, tetapi ia ingin agar ia tidak terjebak dalam keributan yang tak perlu.
“Biarkan aku yang merobek mulut mereka!" Karin menggigit bibirnya, keberaniannya mengalahkan akal sehatnya. Dengan secepat kilat, ia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Raka dan berlari ke arah dua wanita itu.
Karin menatap tajam seorang wanita berambut keriting yang terlihat sangat percaya diri. Dengan sekuat tenaga, ia mencengkeram rambut keritingnya.
“Aduh! Rambutku!” jerit wanita itu, sambil memegangi kepalanya yang sakit. Raut wajahnya berubah dari percaya diri menjadi ketakutan. Karin hanya memutar matanya, merasa sedikit puas melihat reaksi wanita itu.
Di tengah keributan itu, orang-orang di sekitar mulai memperhatikan, beberapa di antaranya berbisik dan mengeluarkan ponsel untuk merekam. Suasana menjadi semakin tegang, dan Raka hanya bisa menghela napas, tahu bahwa keadaan ini bisa semakin memburuk.
“Berani sekali kau bilang aku ini simpanan!” teriak Karin sambil terus mengacak-acak rambut wanita itu, membuatnya menjerit kesakitan.
Raka, yang tak jauh dari mereka, berusaha menenangkan situasi. Ia dan teman wanitanya mencoba melepaskan tangan Karin dari rambut wanita tersebut. Namun, Karin justru menarik seorang wanita lain yang berusaha menghalanginya.
Kekuatan Karin sungguh mengejutkan Raka; ia kewalahan menghadapi semangatnya yang membara. Suasana semakin ramai, orang-orang berdatangan melihat pertikaian ini. Hingga akhirnya, petugas keamanan datang berusaha melerai keributan.
Raka mengeluarkan sejumlah uang untuk kedua wanita itu, berharap masalah ini tidak meluas dan agar Karin bisa pulang dengan tenang. Ia menghela napas dalam-dalam, mengusap dahi yang mulai berkeringat saat memikirkan kekacauan yang baru saja terjadi.
Dalam perjalanan menuju vila, Raka memilih diam. Ia tak berani membuka suara, membayangkan betapa marahnya Karin. Rambutnya berantakan, matanya memerah dengan sorot tajam yang membuat Raka merinding.
Karin mengepalkan tangan, kukunya menusuk telapak tangannya. Jika saja mereka tidak berada di dalam mobil, ia mungkin sudah melampiaskan amarahnya kepada Raka.
Setibanya di halaman vila, Karin langsung keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Ia melangkah cepat menuju kamar mandi dan kembali membanting pintu. Beruntung, pintu itu terbuat dari bahan yang kokoh, jadi tidak rusak.
Duduk lemas di lantai kamar mandi, Karin menutup telinga dengan kedua tangan, mencoba mengusir kata-kata menyakitkan yang terngiang di kepalanya.
“Dia adalah anak dari simpanan Ardi.”
“Tak ada harapan dia bisa bertahan hidup, pasti akan mengikuti ibunya ke dalam kubur.”
“Yuk kita lihat, apakah dia bisa tumbuh besar.”
“Aku yakin, saat besar nanti, dia akan seperti ibunya yang merebut suami orang lain.”
Meskipun saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar, Karin jelas mengingat setiap hinaan dari keluarga ayahnya. Mereka selalu menyebut ibunya telah merebut Ardi dari istri pertamanya.
Hingga kini, ia tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, merasa tak bisa membela ibunya. Setiap kali ejekan terlontar, air mata Karin tak bisa dibendung.
Ketika ia berani bertanya kepada ayahnya, hanya satu jawaban yang didapat: “Jangan peduli dengan apa yang orang katakan.”
Di masa SMP, Karin juga pernah dihina oleh saudara perempuan salah satu neneknya. Seluruh siswa di sekolah mengejeknya, membuat hatinya hancur.
Sekarang, mengenang semua itu, Karin menutup wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. Luka lama yang nyaris terlupakan kini kembali teringat, dan rasa sakit itu mengoyak hatinya.
Itulah sebabnya ia menyimpan kebencian terhadap Raka; pria itu membuatnya dianggap sebagai simpanan.
Tok..tok..tok..
“Karin!” panggil Raka, mengetuk pintu kamar mandi. Ia bisa mendengar suara Karin yang terisak di dalam.
“Karin, keluarlah!” ucap Raka dengan nada lembut.
Tak ada jawaban, dan kekhawatiran mulai menyelimuti hatinya. “Sayang, maafkan aku,” katanya sambil terus menggedor pintu.
Karin menyeka air matanya dan perlahan membuka pintu kamar mandi. Tangannya mengepal, amarah yang terpendam bergejolak. Sudah saatnya untuk melampiaskan semuanya.
Raka merasa lega saat melihat pintu kamar mandi terbuka perlahan. Namun, Karin tampak seperti harimau yang siap menerkam. Matanya memerah, menatap Raka dengan sorot tajam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Kau senang semua orang bilang aku seorang simpanan!” teriak Karin marah, air mata mengalir di pipinya.
“Mereka juga bilang aku pelakor!” Karin terus meluapkan kemarahannya dengan meninju dada Raka.
Raka hanya diam, membiarkan Karin mengeluarkan semua emosinya.
“Karin, maafkan aku,” ucap Raka lirih, memegang pergelangan tangan Karin yang masih melukainya.
Karin berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Raka. “Kau sudah puas sekarang!” kata Karin lemah, suaranya pecah.
“Hentikan, Karin! Aku mencintaimu! Kau bukan perampas suami orang lain; aku yang memintamu untuk menikah denganku,” kata Raka tegas, berusaha meyakinkan Karin.
“Mereka tidak akan percaya apa yang kau katakan!” Karin membalas dengan suara penuh penolakan.
“Percayalah, aku mencintaimu,” Raka bersikeras, memegang dagu Karin, tapi ia dengan cepat menepis tangannya.
“Pergi! Aku tidak ingin melihatmu,” ucap Karin lembut, tangannya menepuk dada Raka pelan, tetapi ada ketegasan di baliknya.