Maula, harus mengorbankan masa depannya demi keluarga.
Hingga suatu saat, dia bekerja di rumah seorang pria yang berprofesi sebagai abdi negara. Seorang polisi militer angkatan laut (POMAL)
Ada banyak hal yang tidak Maula ketahui selama ini, bahkan dia tak tahu bahwa pria yang menyewa jasanya, yang sudah menikahinya secara siri ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Ini pertama kalinya aku dan pria yang sudah tiga bulan menikahiku secara siri, berada dalam satu mobil untuk bepergian.
Bukan bepergian ke mana-mana, hanya ke sekolah anak-anak untuk mengecek Hazel.
Rasanya canggung, gugup, sekaligus senang meski sedikit.
Entah sebagai istri siri atau pengasuh untuk anak-anaknya, yang jelas untuk sementara ini aku lebih memilih menjadi pengasuh Naka dan Hazel.
Tadi bik Ninik dan pak Sholeh melihat kami pergi, tapi mereka pasti mengira kami hanya sepasang bos dan pengasuh, bukan suami istri.
Sementara di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan rendah, tak ada percakapan di antara kami selama perjalanan, kami sama-sama diam dengan fokus masing-masing.
Dia dengan kemudinya, sedangkan aku dengan kekhawatiran yang kian mencekik. Pikiranku seolah terus bergelut dengan situasi ini.
Menurut persepsiku, pak Aril sepertinya bimbang harus bagaimana dengan pernikahan siri kami. Aku sendiri merasa takut seandainya pak Aril memilih untuk membuka rahasia kami pada keluarganya.
Takut kalau hubunganku dengan bu Ella yang sudah sedekat ini akan renggang, takut juga kalau anak-anak tidak mau menerimaku..
Ah terlalu PD juga akunya, belum tentu juga pak Aril mau menerimaku. Bisa jadi dia hanya menjadikanku pelampiasan hasratnya saja. Untuk di jadikan istri, aku sama sekali tidak masuk kriterianya.
Apapun itu, Aku hanya bisa pasrah, jika pak Aril memilih cerai dariku, its ok. Dari awal memang hubungan kami hanya sebatas utang piutang, tapi jika dia memilih mempertahankanku, dan bersedia mendaftarkan pernikahan siri ini supaya mendapatkan pengakuan negara, rasanya aku pun belum siap.
Tapi... kalaupun pak Aril menerimaku, belum tentu keluarga serta anak-anaknya mau menerimaku.
Semua keputusan ternyata tidak ada yang lebih baik.
Mendesah pelan, ku tolehkan kepala ke jendela sebelah kiri. Menatap pepohonan yang ada di pinggiran jalan.
Aku dilema, antara cinta, hutang dan ketakutan.
Mengingat bagaimana percintaan kami malam lalu, aku yang sedang dalam masa subur, sangat kerasa bahwa sentuhannya benar-benar ngena sampai ke dinding rahim, apalagi kami melakukannya hingga dua kali.
Kalau saja bisa, aku ingin menghilang dari dunia ini sekarang juga.
Hanyut dalam pemikiran serta terkaan, tahu-tahu mobil sudah berada di halaman sekolah, tepatnya di pelataran para penjemput.
Ku buka sabuk pengaman, kemudian menoleh ke samping kanan.
"Mau ikut turun?" Tanyaku ragu-ragu.
"Hmm" Sahutnya.
Kami sama-sama turun, melangkah menuju kelas milik Hazel.
Dari kejauhan, Hazel yang sedang asik bermain dengan teman-temannya, kepalanya menòleh ke arahku.
Anak itu langsung berlari menghampiriku yang berjalan bersisian dengan ayahnya.
Anak itu pasti sangat merindukan pak Faril.
"Ayaah!" Teriaknya kencang.
Jarak kami kian terkikis, ketika tinggal lima langkah mendekat, anak itu merentangkan tangannya, sementara sang ayah seketika berlutut.
Tak kurang dari lima detik, kini anak dan ayah itu sudah saling berpelukan.
"Kangen banyak, ayah!" Ucap Hazel.
"Ayah juga kangen, sayang"
"Ayah baik-baik aja, iya! Jangan pergi kayak bunda"
"Enggak nak!"
"Kalau pergi-pergi harus pulang lagi, harus telfon juga"
"Iya, sayang" Pak Aril mengusap punggung Hazel di tengah-tengah pelukannya.
Pemandangan mengharukan di depanku ini sungguh membuatku ingin menangis. Dan ya, saat aku mengedipkan mata, seketika bulir bening pun jatuh.
"Ayah masih ingat pesan Hazel, kan?" Tanya anak yang rambutnya ku gulung menjadi dua bagian.
"Masih"
"Apa?"
"Nggak boleh telat makan, harus jaga diri baik-baik, dan nggak boleh banyakin merokok"
"Ada lagi" Kata Hazel.
Kening pak Aril mengerut. "Apa?"
"Kan nggak boleh dekat-dekat tante Airin"
"Ayah nggak ketemu tante Airin malah"
Ngomong-ngomong soal Airin, aku kembali teringat akan ucapan Hazel. Tapi jika apa yang Hazel katakan itu benar, aku nggak akan biarkan dia melenyapkan pak Aril.
Kasihan anak-anaknya nanti.
Pertanyaan yang masih sama, yang belum aku ketahui jawabannya. Apa yang membuatnya ingin membunuh pak Aril? Dan siapa yang sudah dia bunuh sebelumnya?
Karena cinta? Dendam? Atau ada hal yang lain?
Mbak Dewi, jika mbak mengetahui semuanya, tolong beri tahu aku. Beri aku petunjuk, mbak! Aku nggak sanggup kalau harus masuk ke labirin sendirian untuk memecahkan teka-teki ini.
"Ibu Maumau. Ini ayahku" Tiba-tiba Hazel bersuara seraya mendongakkan kepala ke arahku.
"Ibu sudah kenalan, tadi"
"Ini ibu Maula, yah"
Pak Aril yang sudah kembali berdiri, hanya tersenyum merespon putrinya, lalu mengusap puncak kepala Hazel.
"Hazel sudah makan?" Tanyaku.
"Sudah, tadi baru aja selesai terus main sama teman-teman"
"Senang nggak hari ini?"
"Senang, besok mau sekolah lagi, bu"
"Iya" Sahutku menoel pipi chubynya dengan gemas.
"Ayah yang antar, iya!" Kali ini Hazel beralih menatap ayahnya.
"Siap!"
Selang hampir lima belas menit, obrolan kami di interupsi oleh suara bel sekolah tanda istirahat telah berakhir.
Aku memperingatkan Hazel kalau jam pelajaran akan kembali di lanjutkan. Anak itu pun mengangguk paham.
"Habis istirahat biasanya nonton tv bu. Nanti habis nonton tv lanjut belajar lagi"
"Okay, nanti ibu datang lagi buat jemput mas Naka dan Hazel, iya"
"Jemputnya sama ayah juga, iya!"
"Iya, nanti pulang sekolah kita langsung jalan-jalan, sekalian makan malam di luar" Pak Aril menjawabnya.
"Yey... Jalan-jalan" Seru Hazel girang. "Sama ibu Maula juga, iya ayah?"
Pak Aril melirikku sekilas sebelum kemudian mengangguk.
Sepertinya apa yang bu Ella Ceritakan semuanya benar. Pak Aril tipikal orang yang boros, dan loyal. Buktinya dia langsung memberiku uang dua puluh lima juta kemarin. Itu menandakan kalau pria ini memang nggak perhitungan.
"Mas Naka nggak tahu ayah pulang, iya?" Pertanyaan Hazel ke ayahnya memantik sepasang netraku untuk memindai dirinya.
"Belum tahu, nak"
"Tadi selesai makan siang katanya mau lanjut sholat dzuhur di mushola sekolah, kata mas Naka langsung di lanjut belajar di dalam mushola"
"Ya udah nggak apa-apa, nanti bisa ketemu pas jemput"
"Hazel ke kelas dulu, iya" Pamitnya.
Sang ayah mengangguk untuk mengiyakan.
****
Tak tahu rasa canggung ini akan bertahan, yang pasti aku akan menunggu pak Aril mengambil keputusan.
Sambil menunggu jam pulang anak-anak, kami sengaja tidak langsung kembali ke rumah. Kami akan membicarakan masalah ini bagaimana baiknya.
semoga cepet ada petunjuk buat menjebloskan Airin ke penjara
biar ga makin banyak korban dari keiblisan Airin
semoga kebusukan Airin cepet ke bongkar